Bonus demografi adalah suatu keadaan dimana penduduk dalam usia produktif sangat besar jumlahnya apabila dibandingkan dengan penduduk tidak produktif. Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi pada tahun 2020-2030. Adanya bonus demografi telah membantu Korea Selatan bangkit dari kemiskinan hingga saat ini dijuluki “Macan Asia” bersama Jepang. Namun, seperti yang dikatakan mantan presiden Habibie bahwa bonus demografi layaknya “bom waktu” jika Indonesia tidak mampu menyikapinya dengan baik. Salah satu hal yang diperlukan untuk mengoptimalkan bonus demografi adalah SDM yang berkualitas sehingga dapat bekerja secara produktif di pasar tenaga kerja yang penuh dengan persaingan.
Namun sayangnya hingga kini, kualitas SDM Indonesia masih terbilang rendah, Indonesia ada di urutan ke 121 dari 187 negara berdasarkan Human Development Index. Rendahnya kualitas SDM ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat di Indonesia pada umumnya.
Oleh karena itu, dengan adanya bonus demografi, Indonesia harus menerapkan orientasi pembangunan manusia yang dapat dilakukan melalui peningkatan asupan gizi, kualitas kesehatan, terjangkaunya fasilitas pendidikan maupun redistribusi ekonomi sehingga bisa menjadikan bonus demografi sebagai peluang bukan Bencana.
Apabila mendengar kata “bonus”, maka yang pertama kali tersirat di benak kita adalah keuntungan ekonomis yang berupa uang. Kabar baiknya, berdasarkan penelitian oleh para ahli, Indonesia diprediksi akan mendapatkan suatu bonus yang luar biasa. Tetapi, bonus ini bukan bonus yang seperti kita bayangkan karena bonus ini bukan berupa uang. Bonus ini disebut bonus demografi (bonus dividend) yaitu suatu keadaan dimana penduduk dalam usia produktif sangat besar jumlahnya apabila dibandingkan dengan penduduk yang tidak produktif. Dalam ekonomi kependudukan, bonus demografi dimaknai sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan semakin besarnya jumlah tabungan dari penduduk produktif sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
Menurut Surya Chandra, anggota DPR Komisi IX dalam Seminar Masalah Kependudukan di Indonesia di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Indonesia diperkirakan akan mengalami bonus demografi gelombang pertama pada tahun 2017-2019 dan gelombang kedua pada tahun 2020-2030. Diperkirakan, jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada tahun 2020-2030 mencapai 70% sedangkan sisanya 30% adalah penduduk yang tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun. Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekitar 180 juta sementara non-produktif hanya 60 juta. Hal ini berarti, angka ketergantungan di Indonesia akan menurun, yaitu diperkirakan mencapai 44 per 100 penduduk produktif (Lampiran 1: Jendela Peluang Bonus Demografi Indonesia). Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia dan dengan jumlah angkatan kerja mencapai 70% dari jumlah penduduk serta kekayaan alam yang melimpah, maka diharapkan pertumbuhan ekonomi akan meningkat secara drastis seperti yang telah dialami oleh negara-negara maju lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan.
Adanya bonus demografi yang dialami Jepang pada tahun 1950 menyebabkan Jepang menjadi negara di kekuatan ekonomi ketiga setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet, meskipun Jepang baru saja mengalami kekalahan pada Perang Dunia II. Begitu pula dengan Korea Selatan. Pada tahun 1950, Korea Selatan termasuk negara termiskin di Asia dan sering dilanda perang saudara yang membuat situasi perekonomiannya semakin terpuruk. Namun, Korea Selatan berhasil bangkit dan sekarang dijuluki “Macan Asia” bersama Jepang.
Apa yang membuat Jepang dan Korea Selatan berhasil menjadi negara maju padahal memiliki latar belakang yang sama dengan Indonesia? Ternyata, Jepang dan Korea Selatan berhasil memanfaatkan bonus demografi dengan baik. Mereka sadar mereka tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah oleh karena itu mereka fokus terhadap pengembangan sumber daya manusia yang mereka miliki dengan strategi capital intelectual yang menekankan pendidikan dan inovasi ke penduduknya. Akibatnya, saat ini Jepang dengan Toyotanya dan Korea Selatan dengan Samsungnya berhasil menguasai pasar otomotif dan elektronik di dunia.
Akan tetapi, hal baik ini tidak bertahan selamanya karena bonus demografi hanya terjadi sekali dalam beratus-ratus tahun. Misalnya, Jepang setelah mengalami bonus demografi dihadapkan oleh ageing population yang menyebabkan angka ketergantungan bertambah sehingga akan memberi beban kepada masyarakat yang berusia produktif. Indonesia diprediksi juga akan mengalami hal serupa pada tahun 2035 setelah bonus demografi usai. Oleh karena itu, bonus demografi ini harus dimanfaatkan secara maksimal karena berdasarkan hipotesis siklus hidup dari ekonom Franco Modigliani penduduk berusia produktif yang aktif bekerja akan menabung (saving) sehingga pada saat di usia tua mereka pensiun dan akan menghabiskan tabungan mereka (dissaving) sehingga pada saat terjadi ageing population tidak akan memberatkan pemerintah maupun penduduk yang produktif.
Tapi ibarat Bencana, bonus demografi malah dapat menyerang Indonesia apabila kita tidak mampu menyikapinya dengan baik. Mantan Presiden Habibie melalui bkkbn.go.id mengatakan bahwa bonus demografi layaknya “bom waktu” karena apabila penduduk produktif tidak berkualitas seperti yang dimiliki negara berkembang, maka akan menimbulkan berbagai masalah sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Menurut Habibie, bonus demografi yang sudah dinikmati Indonesia selama 20 tahun hanya menyebabkan pengangguran dan tidak memberi dampak positif yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Namun, bonus demografi merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari oleh negara manapun termasuk Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya Indonesia mengganggap bonus demografi sebagai windows of opportunity untuk membuat Indonesia menjadi negara maju. Untuk mengoptimalkan bonus demografi yang dimiliki ada beberapa hal yang diperlukan: harus terdapat kesempatan pekerjaan yang memadai untuk tenaga kerja yang banyak (labour demand harus mencukupi labour supply), jumlah anak sedikit sehingga perempuan dapat diikutsertakan dalam pasar tenaga kerja, tabungan masyarakat harus diinvestasikan secara produktif, dan yang terakhir SDM yang berkualitas sehingga dapat bekerja secara produktif di pasar tenaga kerja yang penuh dengan persaingan.
Berdasarkan Human Development Index, Indonesia berada di peringkat 121 dari 187 negara di dunia yang diukur, sedangkan di Asia Tenggara, Indonesia ternyata mempunyai nilai HDI paling rendah dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lain (Singapura berada di peringkat 18 dunia, Brunei 30, Malaysia 64, Thailand 103, Filipina 114). Hal ini menunjukkan rendahnya SDM Indonesia apabila dibandingkan dengan negara lain di dunia. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi HDI adalah pendidikan dan kesehatan yang merupakan faktor utama dalam membentuk tenaga kerja yang berkualitas.