Herannya, sekelas pasar pinasungkulan, para pemangku kebijakan tidak bisa merealisasikan sebagai pasar tradisional modern. Justru sikap acuh tak acuh pemerintah kota akan masa depan pasar pinasungkulan menjadi tanda tanya besar bagi roda perekonomian kota bitung.
Upaya relokasi pasar yang tak lagi memenuhi syarat dari sisi estetika kota ke pasar pinasungkulan hanya menjadi umpan segar bagi para pencari dukungan politik. Sungguh miris sekaligus ironis.
Seharusnya pemerintah berpikir lebih jauh ke depan tanpa harus terjepit oleh kepentingan-kepentingan segelintir orang. Namun pada kenyataannya banyak pemimpin terjebak oleh dinamika yang dibuatnya sendiri.
Maka tak mengherankan jika nanti pasar pinasungkulan akan menjadi ikon baru kota bitung, sebagai monumen kematian ekonomi kota bitung akibat kepentingan politik semata. Ini harus segera direspon melalui kebijakan yang nyata bukan semu.
Tahun politik akan segera tiba, isu-isu sentral mulai dinyanyikan oleh segelintir oknum. Sebagai wujud keprihatinan yang dibalut ribuan kepentingan. Seperti banjir, agraria, ketimpangan sosial, hingga relokasi-relokasi pusat ekonomi strategis.
Mudah-mudahan pasar pinasungkulan menjadi objek teratas dalam kompetisi para elit partai yang sekedar meraup suara serta dukungan politik semata.
Paling tidak, pasar pinasungkulan tetap menjadi primadona meskipun hanya sebagai lokasi tambang suara pemilu nanti. Termasuk pasar-pasar lainnya, seperti pasar Winenet dan pasar Girian yang memerlukan peremajaan dan penataan kembali.
Atau pasar pinasungkulan hanya akan menjadi pertanda kemunduran ekonomi dan kuatnya kebijakan populis yang mementingkan rating elektabilitas parpol. Semua tergantung warga dan pemerintah kota bitung. Kalau bukan kita siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H