Setiap pagi, seperti biasa, kami olahraga pagi dengan berjalan santai mengelilingi perumahan. Sambil menenteng koran Kompas, saya menghembuskan nafas dan membatin, berita hari itu sedikit membosankan. Perihal terorisme, yang tak pernah ada habisnya di bumi Nusantara ini. Membosankan karena sebanyak itu kita berantas maka sebanyak itu pula yang akan datang lagi. Terorisme seperti narkoba yang tidak ada habisnya. Belum lagi saling cekcok antar tetangga yang berbeda agama membuat suasana semakin meresahkan. Juga ulah beberapa ormas yang senang melipir sambil membawa alat pukul, lalu mengibas-ngibaskan alat pukulnya ke kaca-kaca beberapa gedung yang menyediakan hiburan. Sasaran mereka pada umumnya tempat-tempat keramaian yang menyediakan hiburan atau sekedar tempat ngopi, atau di taman seperti yang terjadi di Bandung.
Jika dibilang tidak sepakat, saya juga tidak sepakat dengan mereka para penjaga warung yang menyediakan berbagai minuman keras atau hunian singkat yang memberikan fasilitas yang hanya bisa dinikmati manusia karbitan yang panas karena nafsunya.
Mereka memandang bahwa kerusakan moral atau tempat-tempat yang merusak moral itu merupakan kesalahan, dan yang benar adalah mereka sendiri, selainnya salah. Saya juga berpikir demikian, tidak salah menganggap diri kita paling benar dan selainnya salah jika kita memang benar-benar memegang dan berada pada rel kebenaran. Seperti kita menganggap bahwa satu ditambah satu sama dengan dua, lalu menganggap orang yang mengatakan satu tambah satu sama dengan sebelas. Justru hanya orang kurang sehat yang menganggap bahwa satu tambah satu adalah selain dua.
Tapi ada satu perbedaan antara saya dengan mereka, dan ini cukup substansi saya pikir. Yakni pada pandangan tentang kebinekaan.
Pandangan mereka tentang perbedaan, kebinekaan, kemajemukan merupakan hal yang harus disikapi. Dari pengamatan saya, mereka berpandangan bahwa perbedaan harus dihapuskan.
Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Inilah bedanya saya dengan mereka. Saya tidak mengafirkan (mengingkari) adanya perbedaan ini. Tapi saya tetap pada pandangan saya bahwa kebenaran hanya ada satu. Bukan dua bukan tiga. Dalam berbagai ilmu, bahkan ilmu sosial sekalipun yang sering dicemooh sebagai bukan ilmu pasti. Mereka yang berpandangan bahwa kebenaran itu relatif barangkali mainnya kurang jauh, temannya hanya itu-itu saja, gurunya juga hanya blio-blio saja.
Antara kemajemukan dengan kebenaran saya analogikan seperti berikut, anda bayangkan di depan anda ada tiga buah botol air mineral. Satu botol berisi air mineral bermerek, jernih, terbukti menyehatkan, botol kedua berisi air mentah yang dimasak di panci hingga matang, botol ketiga berisi air comberan. Manakah air yang layak minum dan baik bagi kesehatan tubuh anda? Tepat sekali, air pada botol pertama adalah jawaban yang benar dan menjawab selain botol pertama adalah keliru.
Lalu ada tiga mahasiswa yang butuh kesehatan badan agar tetap bisa berpikir dengan baik. Mahasiswa pertama memilih air pertama, mahasiswa kedua memilih air kedua, mahasiswa ketiga memilih air ketiga. Mahasiswa pertama sudah memberi tahu dengan pendasaran yang logis, dampak baik-buruk, manfaat dan mudhorotnya dengan pembuktian empiris. Ternyata kedua mahasiswa yang lain tetap memilih air selain di botol pertama. Apakah kedua mahasiswa itu salah? Iya salah. Mereka salah.
Tapi apakah penyikapan terhadap dua mahasiswa itu harus dibumihanguskan? Seluruh pekerjaan skripsinya dibakar, kosannya dirobohkan, makanannya dikasih racun? Alangkah lebih bijak bila kita terus mengajak, membimbing dan mendakwahi mereka dengan bil hikmah, dengan pendekatan rasional dan empiris. Memberikan bukti-bukti konkret. Dan mengajak melihat realitas dampak kerusakan organ tubuh dari meminum air di botol dua dan tiga dengan melihat masyarakat yang terkena penyakit akibat melakukan kesalahan yang mereka lakukan.
Begitulah Islam. Islam begitu indah. Kanjeng Nabi Muhammad juga begitu woles dengan perbedaan namun tegas dalam kebenaran.
Saya teringat satu kisah, Nabi Muhammad selalu memberikan makan pada orang yahudi yang buta. Yahudi tersebut berada di pinggir jalanan ramai dan mengemis. Di saat nabi memberikan makan, di saat itu juga Yahudi tersebut menyumpahi Kanjeng Nabi dengan berbagai hinaan. Namun kanjeng nabi hanya mesem, sambil terus memberinya makan setiap hari. Hingga satu saat nabi wafat lalu digantikan oleh Abu Bakar, si Yahudi heran, bau wangi yang biasanya dia hirup di depannya saat ia diberikan makan tercium sedikit berbeda saat itu.
Lalu si Yahudi menanyakan, siapa engkau dan di mana gerangan orang yang selalu memberiku makan? Abu Bakar menjawab enteng, orang yang biasa memberinya makan adalah Rasulullah, dan ia telah wafat. Seketika Yahudi itu memukul-mukul kepalanya meratapi penyesalannya lalu menyatakan masuk Islam.
Suatu ketika diceritakan juga dalam sebuah hadis, bahwa Nu’aim mendatangi nabi dan hendak memberinya hadiah, namun Nu’aim justru mengatakan pada nabi, “Nabi, bayarlah hadiah ini”, lalu Rasulullah menimpali, “bukankah benda itu untukku?”. Nu’aim pun menjawab enteng, “Iya, tapi aku tidak punya uang untuk membelinya, jadi akan kuberikan setelah engkau membayarkannya”. Nabi tersenyum lebar hingga gigi gerahamnya terlihat.
Begitulah junjungan kami selaku umat muslim. Perangainya bukanlah orang yang sukanya memukul. Menghardik. Bayangkan jika nabi Muhammad adalah sosok yang kaku, menghindari perbedaan dan mudah tersinggung dengan bercandaan. Tentu Islam tidak akan sejauh ini.
Peperangan yang dilakukannya pun selalu dimulai setelah musuh menyatakan akan meyerang. Apabila musuh tidak menyerang, Rasulullah hanya mengirimkan utusannya untuk berdakwah di tempat itu.
Jika anda pikir bahwa di Jazirah tempat di mana Islam lahir merupakan daerah sangat homogen, anda keliru. Di Madinah saat nabi pertama kali hijrah saja sudah ada tiga agama besar, yakni Yahudi Nasrani dan Penyembah Berhala, dengan masing-masing Agama terdiri dari beberapa suku. Dan setiap suku khususnya para penyembah berhala memiliki cara penyembahan yang berbeda-beda, tapi semua itu justru membuat Madinah menjadi kota yang maju. Tidak berbeda dengan Indonesia yang terdiri dari berbagi macam suku, agama, dan budaya.
Kebenaran adalah kemutlakan, tapi perbedaan adalah keniscayaan. Setiap individu memiliki kebebasan untuk bersikap. Sebagai bagian dari kesatuan bangsa yang bineka ini, baik atau buruk sikap kita akan selalu memberi dampak bagi bangsa kita. Kita memilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H