Mohon tunggu...
Ramadhan Angga Notonegoro
Ramadhan Angga Notonegoro Mohon Tunggu... Human Resources - Sejatine urip iku gawe urup

Pelajar di Sekolah Kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terorisme, Radikalisme, dan Sikap Menghadapi Kebinekaan

1 Maret 2017   09:34 Diperbarui: 1 Maret 2017   09:40 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lalu si Yahudi menanyakan, siapa engkau dan di mana gerangan orang yang selalu memberiku makan? Abu Bakar menjawab enteng, orang yang biasa memberinya makan adalah Rasulullah, dan ia telah wafat. Seketika Yahudi itu memukul-mukul kepalanya meratapi penyesalannya lalu menyatakan masuk Islam.

Suatu ketika diceritakan juga dalam sebuah hadis, bahwa Nu’aim mendatangi nabi dan hendak memberinya hadiah, namun Nu’aim justru mengatakan pada nabi, “Nabi, bayarlah hadiah ini”, lalu Rasulullah menimpali, “bukankah benda itu untukku?”. Nu’aim pun menjawab enteng, “Iya, tapi aku tidak punya uang untuk membelinya, jadi akan kuberikan setelah engkau membayarkannya”. Nabi tersenyum lebar hingga gigi gerahamnya terlihat.

Begitulah junjungan kami selaku umat muslim. Perangainya bukanlah orang yang sukanya memukul. Menghardik. Bayangkan jika nabi Muhammad adalah sosok yang kaku, menghindari perbedaan dan mudah tersinggung dengan bercandaan. Tentu Islam tidak akan sejauh ini.

Peperangan yang dilakukannya pun selalu dimulai setelah musuh menyatakan akan meyerang. Apabila musuh tidak menyerang, Rasulullah hanya mengirimkan utusannya untuk berdakwah di tempat itu.

Jika anda pikir bahwa di Jazirah tempat di mana Islam lahir merupakan daerah sangat homogen, anda keliru. Di Madinah saat nabi pertama kali hijrah saja sudah ada tiga agama besar, yakni Yahudi Nasrani dan Penyembah Berhala, dengan masing-masing Agama terdiri dari beberapa suku. Dan setiap suku khususnya para penyembah berhala memiliki cara penyembahan yang berbeda-beda, tapi semua itu justru membuat Madinah menjadi kota yang maju. Tidak berbeda dengan Indonesia yang terdiri dari berbagi macam suku, agama, dan budaya.

Kebenaran adalah kemutlakan, tapi perbedaan adalah keniscayaan. Setiap individu memiliki kebebasan untuk bersikap. Sebagai bagian dari kesatuan bangsa yang bineka ini, baik atau buruk sikap kita akan selalu memberi dampak bagi bangsa kita. Kita memilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun