Film Jingga sangat menggambarkan warna-warni kehidupan tunanetra. Mulai dari ikut kompetisi band, nongkrong di kafe, sampai nonton film. Tunanetra juga bisa merasakan jatuh cinta, getirnya rasa sakit, bahkan kesedihan mendalam ketika ditinggalkan oleh orang terdekat. Semua detail kehidupan yang mencerminkan sosok tunanetra yang manusiawi, dengan jalinan kehidupan yang “normal” seperti orang-orang pada umumnya.
Soal para pemainnya, saya paling terkesan dengan Hany Valery yang memerankan tokoh Nila. Meski bukan tunanetra, Hany memerankan tokoh Nila dengan amat natural. Tidak mudah mengikuti ekspresi wajah tunanetra saat berbicara, apalagi ia sangat sering menjungkirbalikkan bola matanya seperti tunanetra sesungguhnya.
Bagi saya yang tunanetra, jalinan cerita film Jingga terasa “gue banget”. Apresiasi saya untuk Lola Amaria—yang sudah melakukan riset mendalam tentang tunanetra sebelum menggarap film ini, serta memperoleh pandangan yang tepat tentang kehidupan tunanetra yang sesungguhnya. Meski konflik terasa kurang klimaks, jalinan cerita film Jingga memberikan edukasi yang positif kepada masyarakat. Saya rekomendasikan film ini bagi siapapun yang ingin mengenal dunia tunanetra lebih dalam—khususnya para orang tua dari anak tunanetra, pendidik, serta para pemangku kebijakan di tanah air yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. * (RR)
Depok, 05032016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H