Mohon tunggu...
Ramadhani Ray
Ramadhani Ray Mohon Tunggu... -

writing | Literature | disability | Human Rights | Youth | Leadership

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film Jingga: Gambarkan Kehidupan Tunanetra Sesungguhnya

5 Maret 2016   22:59 Diperbarui: 6 Maret 2016   10:53 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Film Jingga http://www.pusatsinopsis.com/2016/01/jingga.html"][/caption][caption caption="Film Jingga http://www.pusatsinopsis.com/2016/01/jingga.html"][/caption]

 

Judul Film: Jingga

Genre: drama

Produksi: Lola Amaria Production

Sutradara: Lola Amaria

Penulis Skenario: Gunawan Raharja, Lola Amaria

Pemain film:

·         Aufa Dies Asegaf

·         Ray Sahetapy

·         Keke Soeryokusumo Hawadi

·         Hifzane Bob

·         Hany Valery

·         Qausar Harta Yudana

·         Isa Raja Loebis

·         Joshua Pandelaki

·         Nina Tamam

 

Setelah film berkisah tentang kehidupan tunarungu yang beredar beberapa bulan lalu, kembali lagi hadir film layar lebar tentang penyandang disabilitas. Yups, film berjudul “Jingga” karya sutradara Lola Amaria yang berkisah tentang kehidupan tunanetra, jelas menarik perhatian saya. Sebagai seorang penyandang low vision, pastinya saya penasaran sejauh mana film tersebut menggambarkan kehidupan kami. Terlebih, para pemain film ini sempat belajar Braille terlebih dulu dari para pengurus Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia), organisasi kemasyarakatan tunanetra tingkat nasional di mana saya juga terlibat aktif di dalamnya.

Hari itu, 4 Maret 2016, atas undangan sutradara Lola Amaria, Pertuni bersama sekitar 40 orang tunanetra berkumpul di Jakarta Teater sekitar pukul 16:00 WIB. Kami akan melakukan kegiatan nonton bareng sutradara, pemain serta crew film Jingga. Bukan hanya itu, acara nobar kali ini juga dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama. Sutradara Lola Amaria memang sengaja mengundang Bapak Ahok untuk nonton bareng tunanetra sebagai bentuk sosialisasi dan edukasi kepada jajaran Pemprov DKI Jakarta. Bagaimanapun, pejabat negara seperti beliau sangat perlu mengenal kehidupan tunanetra agar kelak dapat lebih memahami dan memenuhi aspirasi warga negaranya yang tunanetra.

Menjelang pukul 17:00 WIB, saya memasuki Studio 1, tempat film Jingga ditayangkan, bersama seorang relawan pembisik. Ya, di acara nonton bareng ini setiap tunanetra diberikan satu orang relawan pembisik. Relawan tersebut akan mendeskripsikan kepada tunanetra jika ada adegan-adegan tanpa dialog (silent scene). Artinya, relawan pembisik tersebut bertugas sebagai “pengganti mata”, sehingga para tunanetra dapat menikmati jalannya cerita secara utuh, sebagaimana orang-orang pada umumnya.

Relawan membimbing saya menaiki anak tangga studio, menuju tempat duduk kami. Sebagian tempat duduk sudah dipadati penonton, meski masih ada sebagian lain yang masih tampak kosong. Sejumlah wartawan berkerumun di deret bangku tengah yang saya duga dekat dengan tempat duduk Bapak Ahok. Benar saja. Relawan membisikkan pada saya, para wartawan itu tengah berebut memotret Bapak Ahok yang duduk diapit oleh ibu Aria Indrawati, Ketua Umum Pertuni, serta Bapak Tri Bagio, salah satu pengurus Pertuni yang juga bermain pada sebuah adegan di film Jingga.

Saya dan relawan pembisik menemukan tempat duduk kami. Tidak lama, lampu studio padam dan film pun dimulai. Segera, saya terlarut pada jalannya cerita. Meneliti adegan demi adegan selama film berlangsung.

Suatu hari, Jingga mulai merasakan daya pengelihatannya menurun. Semua tampak buram dalam pandangan, hingga ia selalu menabrak benda-benda saat berjalan. Jingga memang telah divonis menyandang low vision—salah satu katagori tunanetra yang masih punya sisa pengelihatan. Akan tetapi, akibat pukulan pada mata yang dilayangkan oleh seorang siswa di sekolahnya, kondisi low vision Jingga menurun drastis hingga menjadi totally blind.

Putus asa, jelas Jingga rasakan. Terlebih sang ayah tidak bisa menerima begitu saja kenyataan tersebut. Meski begitu, ibunda Jingga terus menguatkan dan mengupayakan jalan keluar bagi putra sulungnya. Frustasi, namun Jingga tidak ingin terus tenggelam. Bagaimanapun, ia ingin kembali melanjutkan sekolah, bahkan sampai ke perguruan tinggi seperti anak-anak seusianya. Terenyuh dengan keinginan putranya, akhirnya sang ibunda mengantar Jingga memasuki sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB).

Di SLB tersebut, kehidupan baru Jingga dimulai. Bukan hanya belajar membaca huruf Braille atau teknik kemandirian mobilitas, di sekolah itu Jingga menemukan semangat hidup baru, bahkan sahabat-sahabat baru. Marun, Magenta, dan Nila adalah tiga sahabat yang mewarnai hari-hari Jingga. Mereka berempat tergabung dalam sebuah band. Saat masih bisa melihat, Jingga memang sudah pandai bermain drum. Ternyata bakat itu dapat terus ia gunakan setelah menjadi tunanetra. Maka, jadilah Jingga drummer andal dalam band yang diikutinya  bersama ketiga sahabatnya.

Sebagai tunanetra, tentu saya sangat mengapresiasi kehadiran film Jingga. Adegan demi adegan yang ditayangkan benar-benar mencerminkan kehidupan kami—bahwa gelap tak lantas memupuskan suka cita dalam hidup kami. Tokoh Marun yang terkesan konyol berkali-kali membuat penonton tergelak karena dialog yang diucapkannya. Salah satu adegan yang saya sukai, yaitu ketika keempat sahabat sedang berjalan bersama menyebrang jalan. Kurang lebih dialognya seperti ini:

Marun: “Ayo nyebrang!” (Marun melangkahkan kaki ke zebra cross diikuti ketiga sahabatnya yang saling berpegangan pada pundak seperti sedang bermain kereta-keretaan).

Jingga: “Kok kamu tahu kalau lampunya merah?”

Marun: “Dengar tuh pakai kupingmu. Kalau bunyi kendaraan berhenti, berarti lampunya merah. Jadi kita bisa nyebrang. Kalau masih ada bunyi kendaraan, ya jangan nyebrang. Nanti ditabrak.”

Jingga: “Memang kamu pernah ditabrak?”

Marun: “Kalau ditabrak ya nggak pernah. Tapi kalau nabrak mah sering” (dituturkan dengan nada santai dan jenaka).

Dari dialog tersebut, penonton dapat memahami bahwa para tunanetra memang gemar mengasah ketajaman indera pendengaran sebagai pengganti fungsi mata. Kami juga dapat mengenal situasi meski tanpa pengelihatan yang sempurna. Selain itu, bagaimana cara tokoh Marun bertutur mencerminkan bahwa kondisi ketunanetraan tak lantas membuat kami terus larut dalam kesedihan--justru acap kali dijadikan bahan candaan satu sama lain.

Film Jingga sangat menggambarkan warna-warni kehidupan tunanetra. Mulai dari ikut kompetisi band, nongkrong di kafe, sampai nonton film. Tunanetra juga bisa merasakan jatuh cinta, getirnya rasa sakit, bahkan kesedihan mendalam ketika ditinggalkan oleh orang terdekat. Semua detail kehidupan yang  mencerminkan sosok tunanetra yang manusiawi, dengan jalinan kehidupan yang “normal” seperti orang-orang pada umumnya.

Soal para pemainnya, saya paling terkesan dengan Hany Valery yang memerankan tokoh Nila. Meski bukan tunanetra, Hany memerankan tokoh Nila dengan amat natural. Tidak mudah mengikuti ekspresi wajah tunanetra saat berbicara, apalagi ia sangat sering menjungkirbalikkan bola matanya seperti tunanetra sesungguhnya.

Bagi saya yang tunanetra, jalinan cerita film Jingga terasa “gue banget”. Apresiasi saya untuk Lola Amaria—yang sudah melakukan riset mendalam tentang tunanetra sebelum menggarap film ini, serta memperoleh pandangan yang tepat tentang kehidupan tunanetra yang sesungguhnya. Meski konflik terasa kurang klimaks, jalinan cerita film Jingga memberikan edukasi yang positif kepada masyarakat. Saya rekomendasikan film ini bagi siapapun yang ingin mengenal dunia tunanetra lebih dalam—khususnya para orang tua dari anak tunanetra, pendidik, serta para pemangku kebijakan di tanah air yang bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. * (RR)

 

Depok, 05032016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun