Namun, dengan campur tangan Angel, akhirnya Gilang setuju untuk tampil di acara tersebut. Sejak saa titulah Agnes makin gencar mendekati Gilang—meski Gilang sama sekali tidak tertarik.
Kebahagiaan seakan mulai menghilang ketika Angel dinyatakan mengidap penyakit kanker. Awalnya, Gilang tidak mengetahui hal itu. Ia sering kali mengajak Angel pergi berdua, hingga kemudian menyatakan perasaannya. Angel sempat menghindari Gilang karena merasa usianya tak akan lama lagi. Namun, ketika pada akhirnya Gilang mengetahui kondisi Angel, mereka pun tetap saling menyemangati. Bahkan, Gilang menciptakan “Sebuah Lagu untuk Tuhan” yang ia dedikasikan untuk Angel.
***
Film merupakan media promosi dan sarana komunikasi yang cukup efektif. Lewat film, masyarakat dapat teredukasi tanpa merasa digurui. Barangkali, inilah salah satu alasan utama saya tertarik menyaksikan film “Sebuah Lagu untuk Tuhan”. Sebagai seorang penggiat isu disabilitas, saya penasaran bagaimana film ini menyampaikan pesan edukasi kepada penontonnya.
Awalnya, ada sedikit kekhawatiran yang saya rasakan. Pasalnya, kebanyakan film atau sinetron Indonesia acap kali memberikan pemahaman yang keliru tentang disabilitas. Alhasil, terbentuklah stigma negatif kepada penyandang disabilitas sebagaimana terjadi saat ini—dianggap mahluk cacat yang pantas dikasihani. Akan tetapi, setelah menyaksikan “Sebuah Lagu untuk Tuhan”, justru banyak sekali hal positif yang saya dapatkan.
Dari segi cerita, “Sebuah Lagu untuk Tuhan” memberikan gambaran kehidupan penyandang disabilitas yang baik kepada masyarakat. Tokoh Angel yang meski tunarungu bersekolah di sekolah umum—bukan di SLB. Bahkan, ia digambarkan cukup mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Fakta yang terjadi saat ini, masih sangat banyak anak-anak disabilitas yang ditolak dari sekolah umum karena alasan disabilitas. Padahal, jika diberikan kesempatan dan fasilitas pendukung, anak-anak disabilitas juga dapat mengikuti pendidikan di sekolah umum—sebagaimana digambarkan oleh tokoh Angel.
Selain itu, masih banyak pula masyarakat kita yang menganggap penyandang disabilitas sebagai “mahluk aneh”. Jika bertemu penyandang disabilitas di tempat umum, tak jarang mereka dipandangi dari ujung kaki sampai ujung kepala. Padahal, penyandang disabilitas juga punya kehidupan yang “normal” seperti orang lain—bersekolah, belajar, berteman, bahkan jatuh cinta dan merasakan sakit.
Soal para pemainnya, saya salut pada Eriska Rein. Meski bukan seorang tunarungu, ia memerankan tokoh Angel dengan cukup apik. Angel banyak menggunakan bahasa isyarat di sepanjang cerita. Ini berarti, Eriska mempelajari bahasa kaum tuli tersebut terlebih dahulu agar bisa berakting sesempurna mungkin. Selain itu, cara bicara Angel yang terpatah-patah juga terdengar natural dan tidak dibuat-buat.
Tiap kali Angel berbicara, saya teringat seorang teman saya yang tunarungu—suara dan cara bicaranya mirip sekali dengan cara Eriska memerankan tokoh Angel. Bukan hanya itu. Ucapan selamat pastinya saya ucapkan untuk kawan saya, Panji Surya—satu-satunya pemain di film ini yang benar-benar seorang tunarungu. Meski masih menjadi tokoh figuran, tapi saya rasa ini awal yang baik untuk pelibatan penyandang disabilitas di dunia hiburan.
Apresiasi tertinggi saya berikan untuk Film One Production. Bagaimana tidak. “Sebuah Lagu untuk Tuhan” merupakan film Indonesia pertama yang menyajikan subtitle bahasa Indonesia. Dengan demikian, jalinan ceritanya pun dapat dinikmati oleh semua orang, termasuk mereka yang memiliki hambatan pendengaran. Tentu saja, ini adalah terobosan baru bagi dunia perfilman tanah air. Semoga, hal serupa bisa diikuti oleh production house lainnya di Indonesia.
Sebaik apapun sebuah karya, tentu tidak lepas dari kekurangan. Pada beberapa adegan, saya sempat mendapati tokoh Gilang dan Maria berbicara terlalu cepat pada Angel, disertai pula dengan rangkaian kalimat yang agak rumit. Pada adegan lain, Angel tidak focus menatap Gilang, tetapi agaknya ia dapat menangkap apa yang dikatakan pemuda itu. Padahal, para tunarungu dapat mengikuti tuturan lawan bicaranya dengan membaca gerak bibir. Dengan kata lain, kita perlu bicara perlahan dengan artikulasi jelas, serta rangkaian kalimat yang sederhana dan tidak bertele-tele. Di samping itu, saya merasa agak janggal dengan begitu mudahnya Gilang jatuh cinta pada Angel.