Hal ini menunjukkan betapa kuatnya peran kebiasaan dalam membentuk resistensi terhadap perubahan, terutama dalam hal yang melibatkan aspek teknis yang berbeda. Sebuah studi sebelumnya oleh Furneaux dan Wade (2011) memperkirakan bahwa sekitar 25% organisasi mengalami kegagalan transisi teknologi karena faktor kebiasaan pengguna.
Kedua, peran bridging muncul ketika kebiasaan lama sebenarnya membantu pengguna dalam menyesuaikan diri dengan sistem baru. Di perusahaan telekomunikasi dalam penelitian ini, ditemukan bahwa beberapa kebiasaan teknis lama, seperti mengevaluasi risiko atau merancang perangkat keras, masih relevan di sistem baru.Â
Meskipun sistem baru menggunakan pendekatan desain tingkat tinggi yang berbeda, pengguna tetap dapat menggunakan beberapa kebiasaan lama mereka dalam konteks yang lebih modern. Ini menciptakan "jembatan" antara sistem lama dan baru, yang membantu mempercepat proses transisi. Menurut Polites dan Karahanna (2013), kebiasaan pengguna dapat menjadi faktor pendukung apabila ada kesamaan antara sistem lama dan baru.
Ketiga, peran deterring terjadi ketika pengguna mulai merasa bahwa kebiasaan lama mereka tidak lagi produktif atau bahkan kontraproduktif. Di perusahaan hipotek, misalnya, beberapa pengguna mulai menyadari bahwa kebiasaan mereka dalam mengelola seluruh siklus hipotek di sistem lama justru membuat proses lebih rumit di sistem baru yang lebih terfokus pada tugas-tugas khusus.Â
Mereka akhirnya lebih terbuka untuk mengadopsi metode kerja yang lebih efisien. Ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama bisa berubah menjadi penghalang yang membuat pengguna ingin segera berpindah ke sistem yang lebih baik. Sebuah studi oleh Bhattacherjee dan Sanford (2009) menunjukkan bahwa ketika pengguna merasa terbebani oleh kebiasaan lama, mereka lebih mungkin untuk menerima sistem baru, terutama jika sistem baru menawarkan solusi yang lebih baik.
***
Dari sudut pandang organisasi, menghentikan sistem informasi lama bukan hanya tentang mengganti perangkat lunak, tetapi juga bagaimana menghadapi kebiasaan yang sudah tertanam kuat di kalangan pengguna. Seperti yang ditunjukkan dalam penelitian Rezazade Mehrizi et al. (2021), peran kebiasaan dalam proses penghentian sistem tidak boleh diabaikan. Kebiasaan lama dapat menghambat transisi, tetapi di sisi lain, bisa juga membantu mempercepat proses jika dikelola dengan tepat.Â
Mengelola perubahan tidak hanya soal memperkenalkan teknologi baru, tetapi juga soal membantu pengguna melepaskan atau mentransformasikan kebiasaan lama mereka.
Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi organisasi untuk mengantisipasi resistensi dari pengguna yang mungkin merasa terikat pada sistem lama. Pelatihan yang komprehensif, komunikasi yang jelas, dan pendekatan yang bertahap dapat membantu meredakan kekhawatiran pengguna, serta memberikan waktu bagi mereka untuk beradaptasi. Selain itu, menciptakan lingkungan yang mendukung, di mana kebiasaan yang bermanfaat dari sistem lama dapat dijembatani ke sistem baru, akan mempercepat penerimaan teknologi baru.
Akhirnya, implikasi dari penelitian ini jelas: organisasi yang ingin sukses dalam transisi teknologi harus melihat lebih jauh daripada sekedar aspek teknis, dan lebih fokus pada aspek manusiawi dari kebiasaan. Dengan pendekatan yang tepat, kebiasaan yang tadinya menghambat dapat diubah menjadi kekuatan yang mendukung perubahan.
ReferensiÂ
Rezazade Mehrizi, M. H., van den Hooff, B., & Yang, C. (2021). Breaking or keeping the habits: Exploring the role of legacy habits in the process of discontinuing organisational information systems. Information Systems Journal, 32(1), 192-221. https://doi.org/10.1111/isj.12341