Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Sales - Karyawan Swasta

Pemerhati Politik Sosial Budaya. Pengikut Gerakan Akal Sehat. GOPAY/WA: 081271510000 Ex.relawan BaraJP / KAWAL PEMILU / JASMEV

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Yuk Cek Prestasi Anies Baswedan (2), Menguji Nalar Kompasianers

9 Juni 2019   08:55 Diperbarui: 9 Juni 2019   11:42 4260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: tangkapan layar pada Kompasiana.com

Dan ..janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil   Al-Maidah (5) 

 

Hadis riwayat Abu Bakrah ra., ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Seseorang (hakim) tidak boleh memutuskan perkara antara dua orang, ketika ia sedang marah. (Shahih Muslim No.3241)

Ijinkan penulis meng-quote sumber diatas. Tidak ada niat memaksakan pemahaman keagamaan yang penulis anut untuk anda yang belum tentu semua sama keyakinan dengan penulis.

Pada ayat pertama, Qur'an menjelaskan janganlah sekali-kali kebencianmu pada suatu kaum mendorongmu berbuat tidak adil.

Ini menunjukkan, Allah SWT Tuhan Maha Esa memberitahukan kita bahwa rasa kebencian cenderung membuat kita tidak adil. Itu mengapa mesti turun ayat yang melarang rasa kebencian ekstrim karena menjadikan sikap tidak adil.

Penulis tidak menafikan adanya rasa alami yang bernama 'benci', karena rasa benci kadang adalah lawan dari suka dan secara umum diterima sebagai sikap manusiawi.

Hanya saja kita jangan hanya memandang hanya ada kedua opsi tadi. Benci dan suka. Kita pun lupa masih ada opsi ketiga. Netral. 

Penulis dapat memberikan contohnya: "apakah anda suka rambut keriting"?. Maka kita dapat memilih, 1. suka, 2.tidak begitu suka, 3. biasa saja, 4.kurang suka, 5.lebih suka rambut lurus. Tanpa memilih kata #benci. 

Ketika manusia dapat mengatasi sikap dan cara pandangnya pada suatu objek dan bersikap netral, bijak, nalar maka kedewasaannya telah mencapai taraf kematangan secara psikologi.

Pada Hadist HR Muslim di quote ke-2, menjelaskan pelarangan pada hakim untuk memutuskan perkara ketika sedang marah.

Karena ketika seseorang marah, impuls yang mengalir dari reseptor ke otak cenderung cepat dan mengacaukan aspek pertimbangan. Ini mengakibatkan kecenderungan tidak objektif dalam tindakan memutuskan sesuatu.

Kalau pembaca ragu, coba ingat2 ketika anda marah. Pernah kah perilaku anda melewati sikap asli anda? Makanya kita sering kali menyesal pasca marah dan meminta maaf pada subjek yang menerima perilaku kita.

Hakim yang berada pada level bijak dan dianggap adil saja dilarang memutuskan perkara ketika marah, apalagi manusia biasa.

Agar dapat objektif, kita seyogyanya menunggu rasa marah dan benci reda ketika menyikapi keadaan apapun. Bila itu dapat kita atasi, sikap dan kedewasaan kita berkembang pada taraf yang lebih tinggi.

Tidak ada keuntungan yang didapat bila rasa benci dan marah menguasai diri, karena dapat membuat timbulnya penyakit kejiwaan seperti rasa cemas, rasa iri, dan bila pada taraf extreme dapat memicu ke perilaku psikopat.

---------benci/hate-----------

#Jika kebencian telah menguasai diri, maka apapun yang dilakukan oleh yang dibenci akan terasa salah dan tidak ada kebaikannya sama sekali#

#Bila dikuasai sikap benci, semua akan menjadi serba salah dan tak memberikan nilai positif walaupun mengenai nilai kebenaran umum#

Ketika memandang individu atau pemangku kebijakan dalam bidang pemerintahan dimana person tersebut tidak disukai. Berikutnya yang akan terjadi setiap pernyataan dan kebijakan yang dilakukan direspon dengan komentar yang menghujat, mencaci-maki, menghakimi, dan selalu berprasangka buruk.

"Kebencian merupakan sebuah emosi yang sangat kuat dan melambangkan ketidaksukaan, permusuhan, atau antipati untuk seseorang, sebuah hal, barang, atau fenomena. Hal ini juga merupakan sebuah keinginan untuk, menghindari, menghancurkan atau menghilangkannya. Kadangkala kebencian dideskripsikan sebagai lawan daripada cinta atau persahabatan; tetapi banyak orang yang menganggap bahwa lawan daripada cinta adalah ketidakpedulian.

Dalam ilmu psikologi, Dr. Sigmund Freud mendefinisikan benci sebagai pernyataan ego (ke-akuan) yang ingin menghancurkan sumber-sumber ketidak bahagiaannya.

Definisi benci yang lebih baru menurut Penguin Dictionary of Psychology adalah "emosi yang dalam dan bertahan kuat, yang mengekspresikan permusuhan dan kemarahan terhadap seseorang, kelompok, atau objek tertentu.

(Wiki)

Penulis memahami rasa benci (hate) adalah salah satu sifat dasar manusia. Namun jadi masalah bila berkembang menjadi suatu sikap yang dipupuk berketerusan, terfokus dalam fikiran, dan menjadi tolok ukur dalam memandang semua persoalan.

Pada akhirnya yang terjadi adalah hilangnya sikap dan kemampuan nalaristik. Semua hal positif pun dapat menjadi negatif dalam pandangan si pelaku.

Sekarang mari kita urai penyebab dari perilaku kebencian. Perilaku ini tidak serta merta diduga karenaafaktor genetis. Pendidikan dalam keluarga dan pergaulan sosial berpengaruh pada sikap dan mental terkait psikologi yang bersangkutan.

Psikolog humanistik carl rogers berkeyakinan bahwa emosi negatif berasal dari kurangnya penghargaan positif dalam kehidupan individu,khususnya yang diberikan oleh orang tua selama masa kanak-kanak. (Wiki)

Abraham maslow(1968) juga memperlihatkan bahwa berbagai ketakutan keraguan kita mengenai diri sendiri berakar dari ketidak matangan dan kebencian.ia berfokus pada berbagai kebutuhan akan keamanan yang tidak terpenuhi sebagai penyebab terjadinya orang dewasa yang neurotik. Seperti rogers maslow bersikeras berpendapat bahwa kejahatan dan kebencian bukan lah sisi mendasar dari kepribadian seseorang melainkan merupakan akibat dari defisiensi lingkungan. (Sumber:Belajarpsicology)

Terkait lingkungan, ilmuwan tersebut menjelaskan teori berdasarkan kehidupan sosial di masa dia hidup. Secara umum teori ini benar dan tidak ada yang membantahnya.

Penulis punya berpendapat lain bahwa ada gejala perilaku sosial baru dijaman kemajuan dunia teknologi seperti jaman sekarang semisal: penyebaran informasi hoaks dan hatespeech yang dilakukan lalu diterima person lain secara kontiniu dan tidak mampu disaring akibat kurangnya informasi atau kecerdasan.

Bila terus berulang maka dampaknya adalah pelaku dan penerima akan berubah sikap dan paradigma yang dimiliki sehingga terjebak pada sikap 'kebencian akut'.

Misalnya kebencian pada simbol 'iluminati'. Ketika Ridwan Kamil merancang masjid dengan segitiga dan bundaran, haters langsung mengaitkan beliau dengan jaringan iluminati dan yahudi.

Walaupun bisa saja diyakini secara teori dan fakta, namun terkadang hal2 yang tidak bersangkut paut akhirnya dikait2kan. Ini dapat menambah rasa permusuhan akibat kebencian pada lawan politik dan kelompok yang berbeda.

Contoh lainnya adalah ketika Anies Baswedan memberi izin Monas terbuka untuk kegiatan ibadah dan Anies menggelar takbiran keliling. Haters menghajar dengan tuduhan Anies sedang mempolitisasi agama dan hanya berpihak pada 1 kelompok saja.

Tangkapan layar kompasiana. Prestasi2 anies yang tidak dilihat. Mungkin karena like and dislike. Lengkapnya baca: https://www.kompasiana.com/ramadhanhadysyahputratambunan/5cfb7a960d823007db66d4f5/melulu-dihujat-cebongers-yuk-cek-prestasi-anies-baswedan
Tangkapan layar kompasiana. Prestasi2 anies yang tidak dilihat. Mungkin karena like and dislike. Lengkapnya baca: https://www.kompasiana.com/ramadhanhadysyahputratambunan/5cfb7a960d823007db66d4f5/melulu-dihujat-cebongers-yuk-cek-prestasi-anies-baswedan
Mereka menuduh sambil pura2 buta akan fakta ketika pada Hari Raya Natal dan Tahun Baru Anies pun memberi perhatian yang sama. Anies memastikan rasa aman juga kelancaran perayaan keagamaan tersebut.

Sesungguhnya bila anies kembali jadi pendukung Jokowi, kemungkinan cercaan dan umpatan akan hilang sendirinya. Sekarang anda paham kan?

Kesimpulannya, perilaku seperti ini dapat terjadi pada pihak manapun baik kelompok agama, sosial, politik dan budaya. Tinggal bagaimana kita menyikapi perbedaan itu agar tidak menjadi perpecahan.

------------------------

Proses demokrasi menciptakan beberapa pilihan partai dan calon yang berkontestasi dalam merebut hati publik.

Pilihan bagi setiap individu adalah hal wajar dan perlu dihargai. Sebagai makhluk individu, kita memiliki kecenderungan subjektif maupun objektif.

Dalam mendukung pilihan dan menginginkan agar calon yang didukungnya menang, pilihan 1 suku, 1 daerah, 1 keyakinan dan ideologi tidak dapat dinafikan. Ini terjadi di negara manapun dan bangsa manapun di dunia.

Penulis menilai itu kerap terjadi dan tidak masalah selama dalam memperjuangkan keyakinan dan aspirasi itu, tidak menabrak norma, etika, nilai kepatutan dan hukum.

Sebagai contoh misalnya, kaum santri lebih menghendaki calon dari kalangan kiai dan kaum sarungan. Ada juga kaum akademisi dan intelektual lebih tertarik calon yang mengunggulkan nilai dan gagasan, bahkan bisa jadi memilih calon yang 1 almamater sewaktu kuliah.

Contohnya ketika Jokowi yang lulusan UGM secara kebetulan atau tidak, memilih rektor dan akademisi dari UGM menjadi pembantunya di kabinet ihwal beliau sendiri berasal dari kampus tersebut.

Nilai kepercayaan karena pengalaman dan referensi pribadi alias subjektif dapat dibenarkan dan itu lumrah terjadi.

Yang perlu digarisbawahi adalah apakah kemampuan ybs memenuhi syarat untuk menduduki jabatan tersebut. Unsur subjektifitas tidak menghilangkan syarat lain yaitu objektifitas.

Yang menjadi cikal bakal masalah adalah ketika pilihan subjektif ataupun objektif berkembang liar melewati batasnya. Ini dapat penulis gambarkan pada contoh sebagai berikut.

Suatu pilkada ada calon yang berasal dari suku asli mayoritas daerah itu. Dilain pihak ada calon lain yang berasal dari suku pendatang. Apakah aneh bila pemilih tradisional memilih yang 1 suku/kelompok dengannya?. Tidak lah aneh.

Memang secara psicology ada orang2 yang merasa nyaman dan kesepehaman dengan yang sesuku, sekaum, seagama, seadat istiadat, sehoby, se-lain2nya. Ini juga terjadi didaerah lain di dunia. 

Penulis menilai itu hal biasa. ada rasa bangga ketika orang yang 'sama' dalam beberapa hal menang dan jadi pemimpin bagi mereka, ada rasa klik ketika berurusan dengan orang yang 1 kelompok dengannya. Subjektifitas berkembang karena publik menilai orang itulah yang sudah paham akan kebiasaan dan mengerti isi batin publik yang akan dipimpinnya.

Yang mesti dihindarkan adalah analogi "suka vs benci". Bila calon A yang 1 suku, agama, adat istiadat lebih di suka, maka tidak serta merta menjadi calon B menjadi dibenci. Ada opsi lain seperti "lebih suka vs suka, atau "suka vs biasa saja". Pilihan sikap yang salah dapat jadi penentu berkembangnya subjektifitas tadi berkembang menjadi sikap'hate'.

Menyikapi kemungkinan pilihannya kalah, sikap dan kedewasaan diperlukan agar tidak menimbulkan rasa ketidaksukaan pada pihak yang menang walaupun dia 'berbeda'. Karena sejatinya sikap itu muncul dari penjabaran penulis diatas. Ini penulis sampaikan karena berdasar 16 tahun bekerja di lapangan, bergaul dan bertemu dengan semua kelopok, etnis, dan entitas.

-----mengatasi sikap kebencian----

Rasa benci harus dikendalikan. Bila tidak, dapat menyebabkan gangguan psikologi yang merugikan diri sendiri seperti rasis, phobia, dan psikopatik.

Mengatasi kebencian dapat dilakukan pada mindset kita sendiri. Sikap awal adalah jangan berlebihan cinta terhadap apapun dan jangan terlalu benci pada yang kurang berkenan.

Bila berhadapan pada 2 pilihan, semestinya jangan menjadikan salah 1 kita sukai dan yang lain yang tidak kita sukai menjadikan antipati terhadapnya.

Penulis  coba beri contoh akan manisnya persamaan dan indahnya perbedaan bila diolah dengan baik.

1. Penulis tujual awal bergabung di Kompasiana adalah menghajar pihak sebelah yang penulis anggap semuanya memiliki pandangan yang sama tentang pilihan dan orang2 yang sama dengan penulis.

Memang ada pendukung 01 yang extrim dalam menilai semua pendukung 02. Ternyata di perjalanan penulis melihat penulis lain seperti opa tjiptadinata, bung johans, dll ternyata menerima perbedaan pendapat dan krtikan dengan santai.

Kompasiana lulus uji disini. Walaupun 60% penulis cenderung ke 01, 25% netral dan tidak nampak afiliasi politik, namun tidak penulis dapati komentar negatif berlebihan. Ada 1,2 atau 3 orang yang cendrung fanatik dalam berkomentar namun wasih dalam kewajaran.

Pendukung 01 fanatik penulis perhatikan cenderung diam dan enggan masuk ke kolom komentar. Mungkin menghindari perdebatan walaupun diam2 mereka juga membaca artikel penulis.

2. Penulis walaupun mayoritas artikel tendensius mendukung 02 secara militan, admin tidak menghapus dan membiarkan tulisan terpampang di kolom popular.

Memang ada kedapatan admin yang cepat saja meng-HL-kan tulisan pro 01, namun ternyata artikel penulis ada juga yang jadi "pilihan admin" walaupun kontra terhadap 01.

3. Admin kompasiana subjektif namun objektif. Pada artikel penulis yang berjudul "melulu dihujat cebongers" yuk cek prestasi anies baswedan, ada admin yang menjadikan "pilihan admin".

Dokpri: kiri judul sekaran, kanan judul asli pertama.
Dokpri: kiri judul sekaran, kanan judul asli pertama.

sumber: tangkapan layar pada Kompasiana.com

Artikel dengan judul seperti ini bertahan selama 2 jam. Walaupun pada akhirnya di edit menjadi "yuk cek prestasi anies baswedan", penulis yakin ada admin lain yang menilai judul pertama tidak tepat. Penulis apresiasi penuh kompasiana. Bahwa kompasiana memang plural dan bermacam pandangan. Sesuai prinsip demokrasi.

Tangkapan layar kompasiana.Bahkan pilihan admin pun bisa diedit pada waktu yang berdekatan oleh admin lain hehe
Tangkapan layar kompasiana.Bahkan pilihan admin pun bisa diedit pada waktu yang berdekatan oleh admin lain hehe
-------------------------

Sekarang untuk beberapa penulis kompasiana yang bermain pada narasi kebencian dengarlah.. silakan anda menulis apapun tentang Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Anies Baswedan, Dahnil Anzar Simanjuntak, Habib Rizieq dsb.

Saran penulis, dalam menulis kritikan agar anda hindarkan dulu rasa kebencian akut mendalam pada mereka, agar nalar dan objektifitas anda tetap hidup. Ini penting agar tulisan anda enak dibaca dan tidak menimbulkan kebencian baru.

Ini juga penulis lakukan pada pembenci Jokowi dan Ahok. Dalam hal kebijakan, penulis tetap mengapresiasi hal mana yang positif di jaman pemerintahan mereka. Penulis mengkritik mereka yang benci semua hal yang berkaitan dengan Jokowi dan ahok.

Jika kompasiana diisi dengan tulisan yang isi2nya tentang narasi yang selalu sama, framimg yang itu itu saja, nanti pembaca kompasiana pun hanya member2 lama.

Semoga kompasiana tetap jaya dan semakin berkembang.

R.Hady Syahputra, karyawan swasta. Aktif di LSM, admin media online juga pemerhati politik dan budaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun