Sesungguhnya bila anies kembali jadi pendukung Jokowi, kemungkinan cercaan dan umpatan akan hilang sendirinya. Sekarang anda paham kan?
Kesimpulannya, perilaku seperti ini dapat terjadi pada pihak manapun baik kelompok agama, sosial, politik dan budaya. Tinggal bagaimana kita menyikapi perbedaan itu agar tidak menjadi perpecahan.
------------------------
Proses demokrasi menciptakan beberapa pilihan partai dan calon yang berkontestasi dalam merebut hati publik.
Pilihan bagi setiap individu adalah hal wajar dan perlu dihargai. Sebagai makhluk individu, kita memiliki kecenderungan subjektif maupun objektif.
Dalam mendukung pilihan dan menginginkan agar calon yang didukungnya menang, pilihan 1 suku, 1 daerah, 1 keyakinan dan ideologi tidak dapat dinafikan. Ini terjadi di negara manapun dan bangsa manapun di dunia.
Penulis menilai itu kerap terjadi dan tidak masalah selama dalam memperjuangkan keyakinan dan aspirasi itu, tidak menabrak norma, etika, nilai kepatutan dan hukum.
Sebagai contoh misalnya, kaum santri lebih menghendaki calon dari kalangan kiai dan kaum sarungan. Ada juga kaum akademisi dan intelektual lebih tertarik calon yang mengunggulkan nilai dan gagasan, bahkan bisa jadi memilih calon yang 1 almamater sewaktu kuliah.
Contohnya ketika Jokowi yang lulusan UGM secara kebetulan atau tidak, memilih rektor dan akademisi dari UGM menjadi pembantunya di kabinet ihwal beliau sendiri berasal dari kampus tersebut.
Nilai kepercayaan karena pengalaman dan referensi pribadi alias subjektif dapat dibenarkan dan itu lumrah terjadi.
Yang perlu digarisbawahi adalah apakah kemampuan ybs memenuhi syarat untuk menduduki jabatan tersebut. Unsur subjektifitas tidak menghilangkan syarat lain yaitu objektifitas.