Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Mantan Guru • S1 Bahasa dan Sastra Indonesia • Bergiat di Kembara Rimba dan Salam Semesta • Warga Gg. Mangga Garis Lurus

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tentang Batu

5 Agustus 2018   15:55 Diperbarui: 5 Agustus 2018   16:12 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MALAM DAN HUJAN BATU

Hujan melontarkan batu

ke tengah kotamu. Batu menderas,

lalu ledakan-ledakan batu, bergemuruh

dan meledak, petir berdebam

dari kepalamu. Sesudah itu bulan berbayang

di lampu-lampu. Batu mengendap

ke dalam matamu. Pohon-pohon beku

berdiri di tepi jalan panjangmu.

Waktu tak pernah lagi bicara padamu,

ia memelihara batu dan melemparkannya

melalui hujan di dalam kepalamu.

Malam mengira bahwa hujan batu

di dalam kepalamu adalah doa-doa

yang keras membatu.

 

MIMPI BATU

Batu itu hampir menimpuk tidurnya.

Tapi mimpi memberi payung

selebar kasih sayang ibu yang bisa

melindunginya dari hujan batu di kota.

Kota itu menumpuk batu-batu

dari mimpi yang tak sengaja meledak.

Kerikil kecil yang luruh dari matanya

belum juga menghalus, meski telah berubah

menjadi jalan bercabang yang mengarah

ke segala penjuru. Aku tahu, itu jalan batu. 

Bukan, kataku, lalu terbang

sambil menangis batu. Jangan jatuh, batu! 

Aku membentangkan sayap

yang terbuat dari kabut pagi, tapi

belum sampai menembus langit-langit,

tubuhku meledak jadi bongkahan batu-batu,

dan batu-batu itu hampir menimpuk tidurnya

yang tergeletak di atas kerikil.

BATU DALAM API

Aku membatu, katanya.

Aku baru menyadari kalau

arus rambut di kepalanya

bergelombang ke belakang

dan membeku. Di kotanya

matahari yang membatu

telah meledak dan

membutakan matanya.

Aku melangkah dengan 

sinar lampu yang menggantung

di dadamu. Sementara aku

tak pernah percaya pada api

yang membuatnya jadi batu---

yang membakar tubuhnya

menjadi abu abu.

BULAN BIRU

Di atas sebuah bangku

dia menyusun botol-botol

air mineral di sekitar kaleng biskuit

dan piring kosong. Lalu dia

duduk di hadapanku, wajahnya

terbuka seperti pintu yang

tak pernah tertutup. Udara dingin,

bulan biru membatu di atas kota.

Dia menopang dagunya di pundakku

seperti bertopang pada kesepian.

Kota kita semakin batu, katanya.

Di sisi lain, mataku beku menatap

 bulan biru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun