Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Mantan Guru • S1 Bahasa dan Sastra Indonesia • Bergiat di Kembara Rimba dan Salam Semesta • Warga Gg. Mangga Garis Lurus

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Saat Aku Tidak Peduli pada Malam dan Rokok

15 Oktober 2017   21:48 Diperbarui: 17 Oktober 2017   01:04 2199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pinimg.com

Aku sedang tidak peduli pada malam dan rokok. Aku hanya duduk di taman dan melihat kunang-kunang mendenyutkan sinar bulan, memendar dan bersarang di kacamataku. Seolah aku baru saja minum tuak dan melihat sebuah kota meledakkan warna biru di hadapanku.

Kota itu telah membanjiri tubuh dan isi kepalaku dengan, lebih dari 26 musim hujan. Isinya perempatan dan rel kereta, kelahiran dan kematian, musik pop dan sekantong besek, junkfood dan rasa lapar dan binatang. Saat aku tinggal di sana, aku lupa pelajaran tentang pohon dan kesehatan jasmani. Tapi di sudut lain di kota itu aku belajar menanam bunga sambil menghela kabut dan melamun. Dulu masih tong sampah dan gorong-gorong, tempat makan dan kawin bagi sekawanan anjing liar, sekarang rumah. Pelukan ibu yang hangat, selimut dari api yang menjalar tipis ke dalam tenda-tenda perkemahan di Buffalo Hills, bohlam 15 watt di atas telur ayam. biar gimana pun aku butuh tidur dan masih ingin bermimpi jadi penguasa hutan. tidur di antara musik dan kesepian.

Agar tuli dari suara-suara yang digerakkan waktu.

Tapi kota itu mirip gambar telanjang;

Aku berjalan di antara sapi dan kuda nil

Melihat monyet dan buaya

Lebih banyak lalat, anjing dan ulat

Dan kupu-kupu langka di tempat paling tersembunyi

Dan aku punya kaki ukuran 45 sepatu boots

Mata merah

Dan perut putih yang bulat, tong sampah

Kulitku basah oleh kegelisahan yang diturunkan langit

Dan perut yang tak pernah menemukan

Arti kedamaian dan kesepian

Selalu begitu sejak aku tahu pohon-pohon di sini telah ditebang. Aku lihat hantunya di persimpangan jalan dan buku lembar kerja siswa dan cetak, di antara pilihan-pilihan dari apa yang mereka inginkan. Terimakasih, hidup! Tapi aku mau tidur. sebagian kenyataan mesti disimpan di laci mimpi, di bawah surat cinta yang tak pernah kubalas dan menjadi hantu.

Lagi-lagi aku kehilangan malam musim kemarau terakhir. Gelak tawa dan erangan bayi bergetaran di balik saku baju. Sebenarnya suara itu rahasia, tapi kita tahu dan merasakannya. Setiap pagi aku melihat motor mengarungi jalan yang sama dan sampai di depan gerbang yang berbeda. Sementara itu kamar tidur lupa dirapikan. Dan mimpi membentuk sebuah pulau.

Bekasi, 1245151017

----------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun