Aku sedang tidak peduli pada malam dan rokok. Aku hanya duduk di taman dan melihat kunang-kunang mendenyutkan sinar bulan, memendar dan bersarang di kacamataku. Seolah aku baru saja minum tuak dan melihat sebuah kota meledakkan warna biru di hadapanku.
Kota itu telah membanjiri tubuh dan isi kepalaku dengan, lebih dari 26 musim hujan. Isinya perempatan dan rel kereta, kelahiran dan kematian, musik pop dan sekantong besek, junkfood dan rasa lapar dan binatang. Saat aku tinggal di sana, aku lupa pelajaran tentang pohon dan kesehatan jasmani. Tapi di sudut lain di kota itu aku belajar menanam bunga sambil menghela kabut dan melamun. Dulu masih tong sampah dan gorong-gorong, tempat makan dan kawin bagi sekawanan anjing liar, sekarang rumah. Pelukan ibu yang hangat, selimut dari api yang menjalar tipis ke dalam tenda-tenda perkemahan di Buffalo Hills, bohlam 15 watt di atas telur ayam. biar gimana pun aku butuh tidur dan masih ingin bermimpi jadi penguasa hutan. tidur di antara musik dan kesepian.
Agar tuli dari suara-suara yang digerakkan waktu.
Tapi kota itu mirip gambar telanjang;
Aku berjalan di antara sapi dan kuda nil
Melihat monyet dan buaya
Lebih banyak lalat, anjing dan ulat
Dan kupu-kupu langka di tempat paling tersembunyi
Dan aku punya kaki ukuran 45 sepatu boots
Mata merah
Dan perut putih yang bulat, tong sampah