Mohon tunggu...
Ramadhan Arifal
Ramadhan Arifal Mohon Tunggu... Politisi - Student/Padjadjaran University

S1 Political Science

Selanjutnya

Tutup

Cryptocurrency

Cryptocurrency dan Kedaulatan Moneter: Analisis Pengaruh terhadap Kebijakan Fiskal Nasional

31 Desember 2024   18:55 Diperbarui: 31 Desember 2024   18:41 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cryptocurrency. Sumber ilustrasi: FREEPIK

I. Pendahuluan

Perkembangan pesat teknologi dalam beberapa dekade terakhir telah melahirkan inovasi besar di bidang keuangan, salah satunya adalah cryptocurrency. Sebagai mata uang digital yang didesentralisasi, cryptocurrency menawarkan alternatif baru di luar kendali institusi keuangan tradisional, seperti bank sentral dan bank komersial. Bitcoin, sebagai pionir cryptocurrency, telah membuka jalan bagi ratusan mata uang digital lainnya yang kini mulai diadopsi secara luas oleh masyarakat global. Cryptocurrency bukan hanya sekadar alat transaksi, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap otoritas keuangan tradisional yang sering dianggap tidak transparan dan rentan terhadap manipulasi.

Namun, kehadiran cryptocurrency juga menimbulkan tantangan besar bagi sistem keuangan tradisional, terutama dalam hal kedaulatan moneter. Dengan kemampuan untuk beroperasi lintas negara tanpa regulasi ketat, cryptocurrency dapat melemahkan kendali negara atas kebijakan moneter dan fiskal. Sebagai contoh, penggunaan cryptocurrency yang tidak terdeteksi oleh pemerintah dapat mengurangi efektivitas pengumpulan pajak dan mengancam stabilitas ekonomi nasional. Di sisi lain, pengadopsian cryptocurrency oleh masyarakat mencerminkan keinginan akan sistem keuangan yang lebih inklusif dan bebas dari intervensi negara.

Isu ini menjadi semakin relevan. Kedaulatan moneter, yang selama ini dianggap sebagai salah satu pilar utama negara modern, kini menghadapi ancaman dari desentralisasi sistem keuangan berbasis teknologi. Hal ini mengundang pertanyaan mendalam: bagaimana cryptocurrency memengaruhi kedaulatan moneter suatu negara? Apakah fenomena ini membawa dampak positif atau justru menciptakan ketimpangan baru dalam kebijakan fiskal nasional?

Berdasarkan latar belakang tersebut, esai ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh cryptocurrency terhadap kedaulatan moneter suatu negara. Dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik, tulisan ini juga akan menghubungkan fenomena cryptocurrency dengan teori-teori yang relevan, seperti konsep kekuasaan, regulasi, dan distribusi sumber daya. Melalui analisis ini, diharapkan dapat ditemukan pemahaman yang lebih mengenai tantangan dan peluang yang dihadirkan cryptocurrency bagi kebijakan ekonomi dan politik global.

II. Pembahasan

1. Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Politik

Cryptocurrency adalah mata uang digital yang menggunakan teknologi blockchain untuk memastikan transparansi, keamanan, dan desentralisasi dalam transaksi. Berbeda dengan mata uang tradisional yang dikendalikan oleh bank sentral, cryptocurrency beroperasi secara independen dari institusi keuangan. Desentralisasi ini memungkinkan transaksi dilakukan langsung antarindividu tanpa memerlukan perantara, sehingga mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi. Selain itu, sifat anonimitasnya menarik perhatian banyak pihak, baik untuk tujuan positif seperti melindungi privasi, maupun negatif seperti penghindaran pajak atau pendanaan ilegal (Nakamoto, 2008).

Dari perspektif ekonomi politik, cryptocurrency dapat dianalisis melalui berbagai teori. Materialisme Historis yang diperkenalkan Karl Marx memberikan landasan untuk memahami perubahan struktur ekonomi akibat teknologi. Dalam pandangan Marx, setiap transformasi ekonomi didorong oleh perubahan alat produksi. Cryptocurrency, sebagai inovasi teknologi, dapat dilihat sebagai alat baru yang menggantikan peran tradisional lembaga keuangan. Hal ini berpotensi menciptakan dinamika kelas baru, di mana kontrol atas teknologi keuangan menjadi sumber kekuasaan. Dengan kata lain, mereka yang memiliki akses dan penguasaan terhadap teknologi cryptocurrency dapat mendominasi pasar keuangan, sementara kelompok yang tertinggal dalam akses teknologi akan semakin terpinggirkan (Harvey, 1982).

Pendekatan institusional juga relevan dalam menganalisis cryptocurrency. Institusi negara, yang selama ini memegang kendali atas kebijakan moneter, menghadapi tantangan besar dari mata uang digital ini. Negara harus menemukan cara untuk mengatur cryptocurrency tanpa menghambat inovasi. Sebagai contoh, beberapa negara seperti Amerika Serikat telah mulai mengembangkan kerangka regulasi untuk mengintegrasikan cryptocurrency ke dalam sistem ekonomi mereka. Sementara itu, negara seperti China memilih pendekatan yang lebih ketat dengan melarang transaksi cryptocurrency dan memperkenalkan mata uang digital bank sentral (CBDC) sebagai alternatif (IMF, 2023). Pendekatan ini menunjukkan bagaimana institusi negara beradaptasi terhadap disrupsi yang ditimbulkan oleh cryptocurrency.

2. Pengaruh Cryptocurrency terhadap Kedaulatan Moneter

Kedaulatan moneter adalah kemampuan suatu negara untuk mengontrol kebijakan moneter dan keuangannya secara independen, termasuk mencetak uang, mengatur suku bunga, dan mengelola stabilitas ekonomi. Kedaulatan ini menjadi pilar penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kekuatan negara dalam menghadapi dinamika global. Namun, perkembangan cryptocurrency menimbulkan tantangan serius terhadap kontrol negara atas aspek-aspek tersebut.

Salah satu tantangan utama adalah mengurangi kontrol negara terhadap kebijakan moneter. Cryptocurrency seperti stablecoin, yang nilainya dipatok terhadap mata uang fiat, menciptakan sistem keuangan alternatif yang tidak berada di bawah kendali bank sentral. Penggunaan stablecoin dalam transaksi internasional, misalnya, dapat mengurangi ketergantungan pada mata uang nasional dan mempersulit negara untuk mengatur aliran modal atau nilai tukar mata uang mereka. Hal ini berdampak pada efektivitas kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas ekonomi (IMF, 2023).

Lebih jauh, cryptocurrency memiliki potensi untuk menggantikan peran bank sentral sebagai otoritas moneter. Dengan teknologi blockchain, individu dan perusahaan dapat melakukan transaksi tanpa melalui lembaga perantara. Hal ini dapat menghilangkan kebutuhan akan sistem perbankan tradisional. Akibatnya, bank sentral kehilangan pengaruh dalam mengendalikan sirkulasi uang, yang merupakan fungsi inti mereka. Jika penggunaan cryptocurrency semakin meluas tanpa regulasi yang memadai, negara dapat kehilangan kontrol atas sistem keuangan mereka (Nakamoto, 2008).

Studi kasus negara-negara menunjukkan bagaimana tantangan ini terwujud. El Salvador, misalnya, menjadi negara pertama yang mengadopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan dan memanfaatkan keuntungan teknologi, tetapi juga menimbulkan kritik. Banyak ahli menilai bahwa kebijakan ini dapat melemahkan kedaulatan moneter El Salvador karena negara kehilangan kendali atas nilai Bitcoin, yang sangat volatil (World Bank, 2022).

Sebaliknya, China mengambil langkah berbeda dengan mengembangkan yuan digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Yuan digital dirancang untuk melawan pengaruh cryptocurrency asing seperti Bitcoin dan memodernisasi sistem keuangannya. Dengan yuan digital, pemerintah China dapat mempertahankan kendali penuh atas aliran uang digital dan transaksi domestik, sekaligus memperkuat posisi mereka di pasar global (IMF, 2023).

3. Dampak terhadap Kebijakan Fiskal Nasional

Cryptocurrency membawa dampak signifikan terhadap kebijakan fiskal nasional, khususnya dalam hal pendapatan negara dan regulasi. Sifat cryptocurrency yang anonim memberikan tantangan besar bagi pemerintah dalam memantau dan mengenakan pajak pada transaksi digital. Dengan anonimitas tersebut, banyak individu dan perusahaan memanfaatkan cryptocurrency untuk menghindari pajak. Sebuah laporan dari Tax Justice Network (2023) menunjukkan bahwa transaksi cryptocurrency tanpa pengawasan dapat menyebabkan potensi kehilangan pendapatan pajak hingga miliaran dolar setiap tahunnya di banyak negara. Hal ini memperburuk defisit anggaran negara dan mengurangi dana untuk program pembangunan.

Selain itu, pemerintah menghadapi dilema besar dalam merumuskan regulasi cryptocurrency. Di satu sisi, regulasi yang longgar dapat mendorong inovasi dan menarik investasi di sektor teknologi keuangan. Di sisi lain, kurangnya pengawasan dapat meningkatkan risiko seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, dan penghindaran pajak. Pendekatan regulasi yang terlalu ketat dapat menekan pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi, sementara pendekatan yang terlalu lemah dapat menimbulkan instabilitas ekonomi. Dilema ini terlihat dalam kebijakan di Amerika Serikat, di mana regulator mencoba menyeimbangkan antara mendorong inovasi di Silicon Valley dan memitigasi risiko keuangan global (IMF, 2023).

Perspektif teori ekonomi politik membantu menjelaskan tantangan ini. Teori Public Choice menunjukkan bagaimana kepentingan elit memengaruhi regulasi cryptocurrency. Perusahaan besar di sektor teknologi memiliki pengaruh besar dalam proses legislasi melalui lobi politik dan kontribusi kampanye. Sebagai contoh, beberapa perusahaan seperti Coinbase dan Binance telah aktif melobi pemerintah untuk regulasi yang lebih menguntungkan bagi bisnis mereka. Hal ini mencerminkan bahwa regulasi sering kali dirancang bukan hanya untuk kepentingan masyarakat luas, tetapi juga untuk melindungi kepentingan elit tertentu (Buchanan & Tullock, 1962).

Sementara itu, pendekatan Neogramscian menyoroti bagaimana hegemoni perusahaan teknologi mendominasi pasar kripto. Dalam pandangan ini, perusahaan besar yang mengendalikan infrastruktur cryptocurrency, seperti platform perdagangan dan teknologi blockchain, menciptakan dominasi atas sistem ekonomi digital. Hegemoni ini memungkinkan mereka untuk memengaruhi tidak hanya pasar, tetapi juga kerangka regulasi, sehingga menciptakan keuntungan bagi diri mereka sendiri sambil melemahkan kontrol negara (Gramsci, 1971).

Respons Pemerintah terhadap Cryptocurrency

Cryptocurrency telah memaksa pemerintah di seluruh dunia untuk merumuskan kebijakan yang responsif terhadap dinamika teknologi keuangan ini. Pendekatan regulasi yang diambil bervariasi antara negara, tergantung pada prioritas nasional dan persepsi risiko terhadap cryptocurrency. Strategi regulasi global dan domestik menunjukkan bahwa pemerintah berupaya menyeimbangkan antara mendorong inovasi dan mengelola risiko ekonomi.

Salah satu pendekatan yang populer adalah sandbox regulation, yaitu pengaturan regulasi ringan yang memungkinkan perusahaan teknologi keuangan untuk menguji produk atau layanan mereka dalam lingkungan yang terkontrol. Singapura, misalnya, telah mengadopsi pendekatan ini melalui Monetary Authority of Singapore (MAS). Pendekatan ini bertujuan untuk mendorong inovasi di sektor teknologi keuangan sambil memastikan bahwa risiko yang timbul tetap terkendali (MAS, 2023). Di sisi lain, beberapa negara memilih pendekatan yang lebih ketat. Contohnya, China melarang perdagangan cryptocurrency secara total dengan alasan untuk melindungi stabilitas keuangan dan mengurangi risiko pencucian uang. Langkah ini mencerminkan pendekatan regulasi yang mengutamakan kontrol negara atas sistem keuangan (IMF, 2023).

Selain regulasi domestik, kerjasama internasional juga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan global yang ditimbulkan oleh cryptocurrency. Karena sifat cryptocurrency yang lintas negara, regulasi yang tidak terkoordinasi dapat menciptakan celah hukum yang dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal seperti pencucian uang atau pendanaan terorisme. Organisasi internasional seperti Financial Action Task Force (FATF) telah menetapkan standar global untuk mengatur cryptocurrency, termasuk penerapan prinsip "know your customer" (KYC) untuk meningkatkan transparansi transaksi digital (FATF, 2023).

Selain regulasi, inovasi mata uang digital bank sentral (CBDC) menjadi respons penting negara terhadap tantangan cryptocurrency. CBDC adalah bentuk digital dari mata uang fiat yang dikeluarkan dan diatur oleh bank sentral. China menjadi pelopor dalam hal ini dengan meluncurkan yuan digital. Yuan digital dirancang untuk menggantikan peran cryptocurrency dan memberikan pemerintah kontrol penuh atas aliran uang digital. Di negara-negara lain, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, pengembangan CBDC sedang dalam tahap eksplorasi, dengan fokus pada efisiensi sistem pembayaran dan pengurangan biaya transaksi (World Bank, 2022).

Kesimpulan                     

Cryptocurrency telah menjadi fenomena global yang menghadirkan tantangan besar terhadap kedaulatan moneter dan kebijakan fiskal nasional. Sifat desentralisasi dan anonimitasnya tidak hanya mengganggu kontrol negara atas sistem keuangan, tetapi juga berpotensi merusak stabilitas ekonomi. Di sisi lain, cryptocurrency membuka peluang inovasi dalam sektor teknologi keuangan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, pemerintah harus mengambil langkah strategis dengan mengadopsi regulasi yang seimbang, mendorong inovasi melalui pendekatan seperti sandbox regulation, serta mengembangkan mata uang digital bank sentral (CBDC) sebagai alternatif yang mendukung kontrol negara sekaligus menjaga inklusivitas teknologi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cryptocurrency Selengkapnya
Lihat Cryptocurrency Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun