Matahari bersinar terik tanpa ampun di atas kepalaku. Lautan manusia bergerombol di tepi jalan. Trotoar tepatnya. Satu-dua orang di belakangku mendorong-dorong tubuhku. Berseru-seru dengan wajah merah padam.
Aku paham, bapak atau ibu sekalian. Aku juga ingin masuk ke dalam, ke bawah tanah untuk menikmati alat perusak ozon meraung, menghantarkan hawa dingin. Selama tubuh sendiri merasakan kenikmatan pun, siapa peduli dengan alam.
Setelah perjuangan panjang mengantri dengan segala macam bentuk rupa manusia, aku akhirnya sampai di dalam. Tidak seperti yang aku bayangkan, pendingin ruangan rupanya tidak sanggup untuk memberikan hawa dingin. Terlalu banyak hawa negatif. Terlalu banyak aura panas. Terlalu banyak nafsu. Terlalu banyak manusia.
Dhuk.Â
"Kalau jalan hati-hati dong! Punya mata gak!?" Tepat di sebelahku, seorang ibu terjatuh. Pelakunya? Wajahnya merah padam dan menyeringai. Seolah siap menerkam siapapun yang menghalangi jalannya. Dan aku rasa ibu itu sudah menjadi santapannya.
Dia tenggelam dalam lautan manusia beberapa detik setelah mengucap bahasa binatang. Meninggalkan seorang ibu yang kini sedang bersusah payah untuk bangkit. Tangannya mengelus-elus kakinya.
Ya ampun. Terkilir, toh?
Aku menoleh ke sekeliling. Manusia berlalu lalang seolah tidak terjadi apa-apa. Langkah mereka justru makin cepat. Kebanyakan menyumpal telinganya dengan benda berkabel. Sedangkan lainnya mempunyai penyakit kepala menunduk. Sisanya, kepala mereka tegak ke atas, mata mereka tajam, memandang luas lautan manusia di hadapannya, senyum mereka merekah dan tak segan menabrak siapapun di depannya.
Di kota besar seperti ini dan di tempat seperti ini. Hal seperti itu adalah hal yang lumrah.
Oi. Oi. Yang benar saja.
Aku menghembus napas berat dan mengeluh untuk yang kesekian kalinya.
Apa tidak ada satupun yang menolong ibu itu? Apa kalian tidak punya rasa empati? Bersimpati lah minimal?Â
Aku rasa tidak.
Ya, aku rasa tidak.
Dan aku juga tidak.
Suara sirine berbunyi. Gesekan antara roda dan rel berdecit keras. Dilanjutkan dengan bujukan manis dari pengeras suara, memberitahu bahwa kereta telah tiba.
Lautan manusia kembali berombak, saling dorong, saling sikut dengan wajah merah padam, berseru sumpah serapah dengan bahasa binatang. Aku terbawa arus. Berhimpit-himpitan.
Aku tidak yakin ibu itu bisa selamat. Ah, tapi selama aku bisa menginjakan kaki di kereta overdo ini, siapa peduli dengan manusia yang bahkan aku sama sekali tidak mengenalnya.
Aku nyaman, dengan berada di ruang lingkup sangkarku sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI