Mohon tunggu...
Ramadhana Bagus
Ramadhana Bagus Mohon Tunggu... Freelancer - Observer

Mencoba merubah hati manusia melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sangkar di Tengah Lautan Manusia

25 November 2020   19:24 Diperbarui: 25 November 2020   19:33 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari bersinar terik tanpa ampun di atas kepalaku. Lautan manusia bergerombol di tepi jalan. Trotoar tepatnya. Satu-dua orang di belakangku mendorong-dorong tubuhku. Berseru-seru dengan wajah merah padam.

Aku paham, bapak atau ibu sekalian. Aku juga ingin masuk ke dalam, ke bawah tanah untuk menikmati alat perusak ozon meraung, menghantarkan hawa dingin. Selama tubuh sendiri merasakan kenikmatan pun, siapa peduli dengan alam.

Setelah perjuangan panjang mengantri dengan segala macam bentuk rupa manusia, aku akhirnya sampai di dalam. Tidak seperti yang aku bayangkan, pendingin ruangan rupanya tidak sanggup untuk memberikan hawa dingin. Terlalu banyak hawa negatif. Terlalu banyak aura panas. Terlalu banyak nafsu. Terlalu banyak manusia.

Dhuk. 

"Kalau jalan hati-hati dong! Punya mata gak!?" Tepat di sebelahku, seorang ibu terjatuh. Pelakunya? Wajahnya merah padam dan menyeringai. Seolah siap menerkam siapapun yang menghalangi jalannya. Dan aku rasa ibu itu sudah menjadi santapannya.

Dia tenggelam dalam lautan manusia beberapa detik setelah mengucap bahasa binatang. Meninggalkan seorang ibu yang kini sedang bersusah payah untuk bangkit. Tangannya mengelus-elus kakinya.

Ya ampun. Terkilir, toh?

Aku menoleh ke sekeliling. Manusia berlalu lalang seolah tidak terjadi apa-apa. Langkah mereka justru makin cepat. Kebanyakan menyumpal telinganya dengan benda berkabel. Sedangkan lainnya mempunyai penyakit kepala menunduk. Sisanya, kepala mereka tegak ke atas, mata mereka tajam, memandang luas lautan manusia di hadapannya, senyum mereka merekah dan tak segan menabrak siapapun di depannya.

Di kota besar seperti ini dan di tempat seperti ini. Hal seperti itu adalah hal yang lumrah.

Oi. Oi. Yang benar saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun