Ketika hitam dan putih bertemu, apa yang terjadi? Lebih dominan hitam kah? Atau justru putih?
Awan hitam melanda segala penjuru kampus. Angin kala itu sedang mengamuk, disertai dengan hujan yang cukup lebat. Dia memorakporandakan tenda-tenda yang tadinya berdiri kokoh. Dalam hitungan detik, tenda-tenda tersebut segera terlepas atapnya. Tiang-tiang penyangganya pun juga berjatuhan. Orang-orang yang berteduh di bawah tenda tersebut panik berlari kalang kabut ke salah satu gedung yang tak jauh dari sana.
Aku yang daritadi sudah lebih dahulu berteduh segera sebelum badai tersebut mengamuk hanya bisa menggeleng miris.
"Sudah aku bilang pada mereka. Harusnya mereka tutup lebih awal."
Aku melihat teman-teman satu fakultasku berlarian sambil mendekap barang-barang untuk pameran. Beberapa dari mereka saling bekerja sama untuk membawa setumpuk laporan dan sebuah papan besar yang berisikan semacam peta konsep.
Fyi, fakultas kami, fakultas hukum sedang melakukan pameran karya.
Fakultas kami memang berbeda dari kebanyakan fakultas hukum yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini. Kami memiliki sebuah kebijakan yang mengharuskan seluruh mahasiswa dengan secara berkelompok untuk membuat karya berupa apapun. Selama itu masih ada sangkut pautnya dengan hukum. Dengan begitu kami bisa melatih pola pikir kritis dengan cara kreatif sekaligus memenuhi tugas akhir kami.
Ya, paling tidak itulah apa yang dikatakan salah satu dosen mata kuliahku di kelas beberapa minggu lalu.
"Dit, bantuin sini dong! Mawar lagi ke toilet."
Seorang laki-laki memanggilku. Dia adalah Surya, teman satu kelompokku dan sahabatku.
"Bantuin bawa ke dalam. Kalau basah bisa kacau! Nanti kita bisa dapat nilai E!" seru Surya diujung kiri sambil mengangkat sebuah triplek berukuran 100 x 175 cm yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi peta konsep tentang kasus-kasus hukum fenomenal yang telah terjadi selama tahun 2017.
"Tunggu Sur, masih belum seimbang. Nanti kertas-kertasnya jatuh semua!" seruku di ujung kanan, repot membenarkan tempelan kertas yang mulai berjatuhan karena terkena air hujan.
Kami berdua membawa tugas akhir kami ke gedung fakultas hukum dengan susah payah. Gedung fakultas kami telah disulap sehingga terdapat sekat-sekat pembatas berwarna putih yang diperuntukkan bagi setiap kelompok untuk menaruh barang-barang mereka. posisi bagi kelompok kami terletak di dekat tangga.
Di dalam gedung itu sudah banyak mahasiswa-mahasiswa lain yang sedang repot menyelamatkan tugas akhir mereka. Ada yang mendata, membersihkan dan sibuk mondar-mandir membawa tugas akhir mereka. Atau yang hanya sekedar bersantai pun ada.
"Dit, tunggu di sini sebentar ya, aku mau ambil sesuatu yang ketinggalan." Ujar Surya setelah meletakkan tugas akhir kami di pojok ruangan yang bersekat itu.
Aku menganggukkan kepalaku, tanda setuju. Lalu aku segera duduk bersandar dan menyelonjorkan kakiku. Rasanya kakiku ini mau copot saja. Ke mana Dewi dan Sandy? Dua anggota kelompokku yang lain. Saat dibutuhkan mereka malah menghilang. Apakah mereka remote tv, yang bisa hilang begitu saja ketika dibutuhkan?
"Nih Dit, awas panas."
Surya yang baru saja kembali dengan dua gelas kecil berwarna putih di tangannya tiba-tiba menyodorkan salah satu satunya yang berisi air berwarna hitam pekat dengan uap yang mengebul.
"Apa ini?" tanyaku sambil menerima sebuah gelas kecil darinya. Panas.
"Anggur Arab."
"Hmm.. Anggur Arab dengan rasa kearifan lokal ya?" ujarku setelah menyesap anggur arab yang pasti dia beli di kantin fakultas tadi.
Hening. Setelah kami saling menyesap minuman masing-masing.
"Sur" ujarku mencoba membuka kembali pembicaraan.
"Hmm.."
"Menurutmu, jika kamu sudah lulus dan akan menjadi penegak hukum nanti. Hitam atau putih? Berada di pihak mana kamu?"
Hitam atau putih? Tiba-tiba pertanyaan klasik tersebut muncul di benakku.
Surya terlihat berpikir, tatapannya terpaku pada gelas plastik putih berisikan kopi hitam itu.
"Aku memilih abu-abu."
"Maksudmu?" tanyaku bingung.
"Karena tidak ada jaminan kamu bisa menjadi salah satu dari warna tersebut, Dit. Kamu hitam, cepat atau lambat pasti akan terbongkar dengan jelas. Atau jika kamu putih, tidak ada jaminan kamu bisa bertahan dari sistem bobrok ini. Salah-salah kamu bisa menjadi orang munafik. Jadi aku memilih untuk abu-abu, beradaptasi dengan lingkungan."
Aku tidak terlalu terkejut dengan jawaban Surya. Beberapa orang memang memilih untuk menjadi abu-abu. Itulah fakta umum dari sistem di negeri ini.
"Kalau aku lebih memilih putih."
"Kenapa?" tanya Surya.
"Memang benar katamu. Tidak ada jaminan aku masih bisa tetap menjadi putih. Ada kalanya mungkin aku akan menjadi abu-abu, atau mungkin berubah menjadi hitam sepenuhnya. Tapi, apakah aku salah mengharapkan putih di atas segala fakta menyedihkan yang terjadi di negeri kita ini?"
Ingatlah satu hal ini Sur. Kalau memang putih tidak sesuai dengan jalannya sistem ini, tinggal ubah saja sistem itu menjadi putih, sesuai dengan keinginganmu. Memang sulit, tapi tidak ada yang tidak mungkin bukan, selama niatan kita itu baik."
Aku memandangi hujan yang semakin deras saja mengamuk di seberang sana setelah mengutarakan pendapatku.
Tatapan kosong. Pahit. Kecewa. Pada kenyataan di negeri ini.
"PERJUANGKAN!" seruku tiba-tiba.
Aku tersenyum kecut pada Surya, yang seolah terlihat ikut tersenyum dengan paksa setelah terkejut dengan seruanku.
Di ujung ruangan sana, terihat hujan yang lebat tadi sudah mulai mereda. Awan-awan hitam mulai berpindah, dan mentari mulai menyinari sudut-sudut kampus dengan cahayanya.
Seperti senyuman yang dibuat-buat, seperti gelapnya awan dan terangnya mentari. Tersimpan rasa miris, tidak puas, cacat, harapan... dan tentu saja... PERJUANGAN.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H