"Ya mau bagaimana lagi, seperti tidak tahu saja kalau banyak takdir Allah yang tidak bisa ditebak. Bisa jadi hari ini terus-menerus pasang, tapi siapa tau besok tiba-tiba surut. Kalaupun Allah belum memberikan kejutan besok, masih ada lusa, masih ada hari esok." Jelas abah panjang lebar sambil membetulkan antena radio.
"Bukan begitu, Abah. Maksud Hikam, bagaimana uang bulanan sekolah yang sudah ditagih sejak kemarin?"
Abah menarik napas dalam-dalam, "Tenanglah, Hikam. Berdoalah yang banyak. Mintalah keajaiban pada Allah. Terkadang, hal yang tidak terduga justru muncul di akhir pengharapan, saat kita benar-benar pasrah pada yang kuasa." kemudian tersenyum. Meneduhkan. Dalam hati aku mengiyakan kata-kata abah.
Aku kembali menatap ke arah laut yang gelombangnya semakin lama semakin tinggi. Tak mungkin aku memaksa abah untuk melaut, apalagi menggantikan beliau.
Tubuh jangkungku akan langsung dihempas ombak, seperti Anom, sahabatku yang nekat melaut hanya karena ingin membeli mobil radio kontrol dengan uangnya sendiri.
Ia tidak mengindahkan larangan abahnya dan malah nekat melaut diam-diam.
Untunglah ketika perahunya terbalik dihempas gelombang, ada nelayan lain yang melintas dan langsung menolongnya sehingga Anom bisa selamat.
Aku tidak seberani Anom. Jangankan sampai ke laut, menyentuh perahu abah saja rasanya sudah berdebar-debar.
Dari kejauhan, terlihat jelas ombak yang meninggi tetap berkejar-kejaran dengan irama tak beraturan, sedangkan matahari tampaknya akan membiarkan sang ombak berkejar-kejaran dalam kegelapan.
Matahari memilih kembali ke tempat peraduannya. Pemandangan langit di pantai Sabtu sore ini indah dan romantis, kontras dengan gelombang laut yang semakin beringas.
Barangkali benar kata abah, sebaiknya malam ini banyak-banyak berdoa pada Allah dan segera tidur. Masih ada hari Minggu. Semoga Allah memberikan keajaibanNya agar abah bisa melaut.