Judul : Menjadi Nelayan
Penulis : Ramadhan
Suasana pesisir pantai tampak lengang. Dari jendela rumah, aktivitas pedagang yang biasanya tumpah ruah di tepi pantai sedang tak tampak, hanya terlihat beberapa pedagang ikan yang membereskan terpal untuk tempat menggelar ikan hasil tangkapan.
Sudah belasan tahun aku hidup di pesisir, mengamati aktivitas warga Kampung Kalongan yang tidak pernah surut. Namanya Kampung Kalongan.
Dijuluki begitu karena aktivitas warga, terutama para nelayan, dimulai malam hari, bak kalong atau kelelawar yang aktif di waktu malam.
Ketika pagi menjelang, iring-iringan kapal nelayan tradisional yang masih mengandalkan angin berebut menepi di pesisir disambut anak istri mereka yang siap menjual hasil tangkapan pada tengkulak atau pembeli yang jauh-jauh datang dari kota.
Berbeda dengan nelayan tradisional, nelayan dengan perahu bermotor dapat melaut kapan saja, asalkan cuaca mendukung. Sayangnya beberapa hari ini suasana tampak berbeda.
Gelombang sedang pasang. Tidak ada nelayan yang berani menantang maut, termasuk abah, sekalipun bulan ini ikan-ikan yang harganya melambung di pasaran sedang melimpah.
Abah memilih menyeruput kopi panas sambil mendengarkan lagu lawas dari radio tuanya yang sering dibawa melaut.
"Abah, kalau besok gelombang tidak juga surut, bagaimana?" tanyaku. Abah melirik sebentar, kemudian menyeruput kembali kopi panasnya.