Mohon tunggu...
Ramadhan Dwi Prasetyo
Ramadhan Dwi Prasetyo Mohon Tunggu... Dosen - UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Karena kau menulis suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Demokrasi Rasa Oligarki

16 Januari 2022   01:46 Diperbarui: 16 Januari 2022   07:45 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang tak kalah penting juga ada perbedaan oligarki di masa sekarang dengan masa orde baru. Di masa orde baru itu sifatnya sangat tersentralisir dan ini memuncak kepada "Genk Cendana". Kalau oligarki sekarang sifatnya sangat terdesentralisasi sehingga tidak ada yang dapat didedikasi sebagai puncaknya. Puncaknya banyak dan bisa berpindah-pindah sifatnya lebih cair, beraliansi sesuai kepentingan. Bisa dibilang sekarang semacam kompetitif oligarki dimana oligarki terdesentralisasi sehingga terjadi intra oligarki kompetition  konflik, dimana mereka saling bersaing untuk menguasai intrumen-instrumen yang mengatur alokasi sumber daya politik dan ekonomi terutama terjadi di masa-masa pemilu.

Itupun bisa kita amati di Indonesia, sekarang loyalitas terhadap identitas kepartaian praktis tidak ada. Walaupun retorikanya sedikit berbeda tapi pada dasarnya mereka adalah himpunan dari aliansi-aliansi ekonomi politik dan mengorganisirnya lalu berkompetisi di arena poltik formal. Sangat memungkinkan sesorang pindah dari satu partai ke partai lain dengan sangat singkat dan tanpa ada kontradiksi yang jelas. Itu refleksi dari process concern of interest. Itu nampak ketika di tingkat nasional partai politik bisa beraliansi, tapi bisa saja di tingkat daerah mereka bermusuhan ataupun sebaliknya. Karena konstelasi di tingkat daerah berbeda dengan di tingkat nasional. Apa yang menjadi isue menyatukan atau bercerai berai juga berbeda. Motif paling dasar adalah untuk menguasai intrumen sumberdaya politik itu. Masalah nilai-nlai politik dan ideologis dinomor sekiankan. 

Jika kita refleksikan kebelakang, ideologi partai politik di tahun 50 an sangat kuat, ada Komunis, Islam, Nasionalis. Kemudian masa orde baru terjadi depolitisasi dengan dalil jangan banyak partai karena biar harmonis. Lalu apa yang ideal secara konseptual untuk menembus oligarki yang terjadi di Indonesia sekarang?

Pertama, pasca ambruknya kolonialisasi hingga tahun 65 an, di Indonesia terjadi dimana masa-masa belum mengalami rekonsolidasi nasional sehingga muncul banyak ideologi. Berbagai kepentingan masih bisa berkompetisi untuk mencoba membentuk negara sesuai dengan kepentingannya. Masa orde baru tidak bisa lagi, karena militer, aliansi politik birokrasi dan ekonominya sudah di integralkan. Orde baru sebenernya representasi dari rekonsolidasi negara dari jaman kolonial. Dan partai-partai sehabis tahun 98 mewarisi struktur orde baru. Itu yang melandasi kenapa perilaku politik berbeda pasca 98 dengan masa orde lama 50 an. 

Kedua, krisis 98 itu sebenernya memberikan peluang untuk reorganisasi dalam ekonomi dan politik secara fundamental. Karena pada masa itu sebenernya oligarki goyah, tetapi tidak ada yang mengambil moment itu. Diantara waktu itu kekuatan oligarki kalang kabut tetapi tidak ada civil society yang koheren, yang mempunyai visi ideologis dan agenda masa depan yang bisa menyatukan dan mengisi kevakuman itu. Akhirnya bisa dikatakan seluruh hasil reformasi dibentuk sedemikian rupa sehingga sedikit banyak masih dikendalikan oleh kekuatan oligarki dan oligarki tetap bisa bertahan dan langgeng sampai sekarang. Mereka menguasai demokrasi Indonesia. Bisa dilihat saja partai-partai politik yang besar sekarang, diakui tidak diakui dikuasai oleh kepentingan oligarki. Pemilu di Indonesia itu mahal dan partai menjadi jembatan dunia politik dan dunia bisnis. Disitu ada donatur dan penyokong untuk kepentinganya. 

Sehingga kita berada disuasana dimana kita demokrasi, tapi demokrasi yang oligarkis. Omnibuslaw ini adalah cerminan baru dari mentalitas lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun