Berbicara mengenai alam, pasti tidak akan lepas dari hewan, tumbuhan, dan manusia yang mendiaminya. Makhluk hidup yang tinggal bersama-sama dalam satu tempat pasti akan menjalin komunikasi yang melahirkan suatu hubungan antara satu komponen dengan komponen yang lainnya.Â
Walau komunikasi antara manusia dengan hewan ataupun manusia dengan tumbuhan tidak terjadi secara harfiah akan tetapi komunikasi tersebut kita sadari atau tidak tetap terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
 Komunikasi tersebut tentu mewujudkan suatu hubungan, baik hubungan yang positif atau saling menguntungkan maupun hubungan yang negatif atau salah satu mendapatkan keuntungan sementara satu pihak mendapatkan kerugian.
Cara komunikasi dan bentuk-bentuk hubungan antar komponen ekosistem inilah yang kemudian harus dipahami dengan baik oleh manusia selaku puncak rantai makanan. Selaku puncak rantai makanan sekaligus satu-satunya makhluk yang diberi akal budi sudah tentu manusia harus bisa mengatur agar rantai makanan yang ada di alam tetap berjalan seimbang.Â
Akan tetapi, kenyataan yang ada di lapangan, tidak semua manusia paham bagaimana harus bersikap kepada hewan dan tumbuhan. Hal ini yang akhirnya memicu terjadinya miskomunikasi di alam sehingga hubungan antar manusia, hewan, dan tumbuhan yang seharusnya berjalan harmonis menjadi terganggu. Hubungan yang rusak inilah yang menjadi penyebab terganggunya kelestarian alam.Â
Sebagai contoh, penebang pohon yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup terkait kelestarian alam mungkin mengira bahwa tindakannya yang menebang pohon di hutan hanya akan berdampak pada kelestarian pohon spesies tersebut.Â
Sementara, penebang pohon yang memiliki bekal pengetahuan yang cukup terkait kelestarian alam akan berpikir bahwa ketika dia menebang satu pohon yang merasakan dampak bukan hanya pohon tersebut, namun juga hewan yang tinggal di dalamnya ataupun organisme lain yang hidupnya bergantung dengan pohon yang telah ditebang.Â
Contoh lainnya adalah, seorang pemuda yang tidak memahami pola hubungan antara alam, tumbuhan, dan hewan akan mengira bahwa ketika dia membuang sampah di sungai, dirinya hanya menyebabkan menurunnya kualitas air karena tercemar oleh sampah yang dia buang.Â
Akan tetapi, jika pemuda tersebut memahami pola hubungan antara alam, tumbuhan, dan hewan, dirinya tidak lagi berpikir bahwa tindakannya hanya berdampak pada kualitas air, namun juga memiliki dampak terhadap organisme yang hidup di lingkungan tersebut.
Dari hal-hal yang telah dituturkan, terlihat pentingnya memahami pola-pola hubungan yang terjadi dalam ekosistem. Kampanye-kampanye mengenai gaya hidup go green memang sudah marak dilakukan. Akan tetapi, yang tidak kalah penting untuk digalakkan adalah edukasi mengenai pola-pola hubungan antar komponen ekosistem yang diajarkan sejak dini.Â
Hal ini agar manusia sebagai puncak rantai makanan sekaligus khalifah di muka bumi memiliki pemahaman yang baik mengenai pola hubungan antar komponen ekosistem sehingga harapannya manusia akan berpikir dan bertindak dengan lebih hati-hati di alam.
Selama ini jika dilihat, edukasi mengenai dampak-dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan memang sudah banyak dilakukan di media sosial. Namun, edukasi yang dilakukan di media sosial dengan edukasi yang dilakukan oleh guru ataupun orang tua di rumah sudah pasti akan membawa dampak yang berbeda pada diri anak.Â
Edukasi yang dilakukan di media sosial memang perlu namun mungkin informasi yang diserap oleh anak tidak akan seoptimal jika edukasi tersebut diberikan langsung oleh guru dan orang tua. Hal ini dikarenakan, aktivis lingkungan di media sosial tentu tidak akan bisa melakukan monitoring seoptimal guru dan orang tua.Â
Di sekolah dan di rumah tentu guru dan orang tua selain bisa memberikan edukasi juga bisa disertai dengan penanaman kebiasaan untuk memperlakukan alam dengan baik di lingkungan rumah ataupun sekolah.Â
Apabila edukasi dan monitoring ini dilakukan sejak manusia masih berusia dini, harapannya pengetahuan, nilai, dan kebiasaan tersebut akan terbawa hingga manusia tumbuh menjadi individu dewasa.Â
Hal yang terjadi kemudian, manusia tidak akan lagi memperlakukan hewan, tumbuhan, dan alam dengan sembrono karena sadar bahwa perbuatan sekecil apapun yang berpotensi mencederai lingkungan akan membawa dampak terhadap organisme yang hidup di lingkungan tersebut termasuk juga manusia.
Dari paparan di atas, dapat ditarik suatu opini dan masukan untuk guru ataupun mahasiswa keguruan yang akan berkarir di bidang pendidikan. Berkaca dari manfaat dan urgensi materi ekosistem utamanya hubungan saling ketergantungan dalam ekosistem, guru hendaknya menyampaikan materi ini dengan menghadirkan contoh-contoh yang terjadi di lapangan.Â
Pemberian pembelajaran dengan model problem based learning, project based learning, konstruktivisme atau perpaduan antara ketiganya dapat menjadi pilihan bagi guru dalam mengajarkan materi ekosistem.Â
Pemberian masalah mengenai isu-isu lingkungan seperti pencemaran air, global warming, penebangan liar, ataupun perburuan satwa-satwa langka untuk ditemukan solusi penanganannya oleh siswa bisa menjadi pilihan ketika guru memutuskan mengajarkan materi ekosistem dengan model problem based learning.Â
Selain itu, pemberian challenge atau project-project yang berkaitan dengan gaya hidup go green dan upaya pelestarian lingkungan juga dapat menjadi pilihan bagi guru terutama guru-guru muda untuk mengajarkan materi ekosistem di sekolah dengan model project based learning.Â
Pengaplikasian model pembelajaran tersebut juga dapat dipadukan dengan model pembelajaran konstruktivisme yang menekankan pada keterkaitan antara konsep yang sudah dimiliki siswa dengan konsep baru yang akan dipelajari siswa agar tercipta pemahaman yang utuh.
Tingkatan masalah dan project yang diberikan tentulah harus disesuaikan dengan usia siswa yang diajar. Hal ini dikarenakan tingkat perkembangan kognitif anak akan berbeda pada setiap tahap usianya.Â
Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak terjadi melalui empat tahap yaitu, tahap sensori-motorik (0 -1,5 tahun), tahap pra-operasional (1,5 - 6 tahun), tahap operasional konkrit (6 - 12 tahun), dan tahap operasional formal (di atas 12 tahun).Â
Oleh karena itu, untuk siswa TK (umur 5-6 tahun), pemberian edukasi bisa dilakukan dengan cara mengajarkan bahwa hewan dan tumbuhan juga memiliki perasaan seperti manusia sehingga jika kita menyakiti hewan dan tumbuhan tentu mereka juga bisa terluka perasaannya seperti manusia.Â
Hal ini dikarenakan pada usia tersebut anak mengalami tahap pra-operasional yang dicirikan dengan animisme (menganggap bahwa semua benda hidup seperti dirinya) dan artificialisme (kepercayaan bahwa segala sesuatu di lingkungan mempunyai jiwa seperti manusia).Â
Sementara, untuk siswa SD (6 - 12 tahun), pemberian masalah dan project bisa dilakukan dengan terlebih dahulu menghadirkan contoh-contoh hubungan yang terjadi di ekosistem dan permasalahan yang timbul di dalamnya melalui tayangan video ataupun kegiatan field trip.Â
Hal ini dikarenakan pada tahap ini siswa masih mengalami kesulitan untuk memahami materi yang disampaikan apabila tidak ada objek konkrit yang dihadirkan oleh guru. Ketika siswa sudah mencapai usia 12 tahun ke atas (siswa SMP dan SMA), barulah siswa dapat diajak untuk berpikir lebih kompleks mengenai pola hubungan yang terjadi di dalam ekosistem dan permasalahannya.
Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh guru, maka akan tercipta kegiatan pembelajaran yang bermakna. Hal ini karena siswa tidak hanya belajar berdasarkan materi di buku saja namun siswa akan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah lingkungan yang terjadi di sekitar tempat tinggalnya.Â
Selain itu, siswa juga akan merasa tertantang untuk menyelesaikan challenge ataupun project terkait gaya hidup go green yang harus mereka selesaikan.Â
Di samping itu, harapannya siswa juga tidak mengalami hambatan dalam memahami materi yang diajarkan karena pemberian edukasi, masalah, dan project disesuaikan dengan tingkatan perkembangan kognitif siswa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI