Mohon tunggu...
Rama Aryayudha Trisnantara
Rama Aryayudha Trisnantara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sebelas Maret

Saya Rama Aryayudha Trisnantara, seorang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret dan memiliki ketertarikan dalam menulis artikel mengenai Hukum Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketegangan Konflik antara China dengan Filipina di Laut China Selatan: Perspektif Hukum Laut Internasional

15 Juli 2024   16:32 Diperbarui: 15 Juli 2024   18:52 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wilayah Laut China Selatan telah lama dipandang sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, jalur perdagangan penting, dan menjadi wilayah strategis bagi berbagai negara. Namun, dalam beberapa dekade terakhir kawasan ini telah menjadi pusat ketegangan geopolitik, terutama antara China dan Filipina. Bahkan, pada tanggal 6 Juli 2024 yang lalu timbul sedikit ketegangan akibat kapal besar milik Garda Pantai China yang berlabuh memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Manila di Laut China Selatan di mana keberadaan kapal itu disebut sebagai upaya Beijing untuk mengintimidasi Manila. Ketegangan seperti itu tidak hanya terjadi sesekali, namun telah terjadi selama bertahun - tahun. Sejatinya dunia internasional sudah memiliki perjanjian United Nations Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) 1982 sebagai perjanjian yang mengatur mengenai berbagai aspek hukum laut, termasuk batas-batas maritim, hak navigasi, konservasi sumber daya alam, dan perlindungan lingkungan laut (Jamilah & Disemadi, 2020). Namun, konflik antara China dengan Filipina terus saja terjadi. Lantas bagaimana posisi hukum di tengah timbulnya ketegangan antara China dengan Filipina di Laut China Selatan? Artikel ini akan membahas mengenai konflik antara China dengan Filipina di Laut China Selatan dilihat dari kaca mata Hukum Laut Internasional.

Perspektif Hukum Laut Internasional

Hukum internasional adalah seperangkat aturan dan prinsip yang mengatur hubungan antar negara mencakup perjanjian, konvensi, kebiasaan, putusan pengadilan internasional, dan doktrin hukum yang berkembang. Prinsip-prinsip utama dalam hukum internasional meliputi kedaulatan negara, non-intervensi, penyelesaian sengketa secara damai, larangan penggunaan kekuatan yang melanggar hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan kerja sama internasional. Salah satu cabang penting dari hukum internasional adalah hukum laut internasional yang diatur secara komprehensif oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang diadopsi pada tahun 1982. UNCLOS telah menetapkan batas-batas maritim, hak navigasi, konservasi sumber daya alam, perlindungan lingkungan laut, dan penyelesaian sengketa. Hukum laut internasional didasarkan pada beberapa prinsip utama, termasuk kedaulatan negara atas perairan teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), kebebasan navigasi di perairan internasional, konservasi dan pengelolaan sumber daya laut, penyelesaian sengketa, serta perlindungan lingkungan laut. Meskipun UNCLOS menyediakan kerangka hukum yang komprehensif, masih ada sengketa dan tantangan yang muncul, terutama terkait klaim wilayah laut yang tumpang tindih, perburuan ilegal, dan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem laut.

Sejarah Klaim Teritorial China

Ketegangan antara China dengan Filipina di Laut China Selatan berakar dari klaim teritorial yang tumpang tindih. China melalui Pemerintah Tiongkok Pada tahun 1947 melakukan klaim hampir seluruh Laut China Selatan berdasarkan demarkasi yang mereka sebut sebagai Nine-Dash Line. Klaim ini mencakup sekitar 80 hingga 90 persen dari Laut China Selatan, termasuk wilayah yang juga diklaim oleh Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Tentu klaim sepihak yang dilakukan oleh China tersebut menimbulkan penolakan oleh negara yang merasa dirugikan, salah satunya ialah Filipina.

Filipina mengklaim beberapa bagian dari wilayah yang disengketakan tersebut berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Salah satu klaim utama Filipina adalah terhadap Kepulauan Spratly dan Scarborough Shoal yang berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka. UNCLOS yang diadopsi pada tahun 1982 telah memberikan kerangka hukum bagi negara-negara pantai untuk mengklaim wilayah laut hingga 200 mil laut dari garis pantai mereka sebagai ZEE. Meskipun pada tahun 2016 Mahkamah Arbitrase Permanen atau Permanent Court of Arbitration (PCA) telah memutuskan bahwa klaim China berdasarkan Nine-Dash Line tidak memiliki dasar hukum dan Tiongkok  melanggar  hak-hak  kedaulatan  Filipina  sekaligus  menyebabkan kerusakan terumbu karang dengan membangun pulau-pulau buatan, namun China menolak keputusan ini dan tetap berpegang pada klaimnya (Sidjabat et al., 2018).

Upaya Arbitrase Internasional

Pada tahun 2013, Filipina membawa kasus ini ke Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag, menantang klaim teritorial China di Laut China Selatan. Berdasarkan Pasal 287 dan Lampiran VII UNCLOS, negara-negara pihak dapat menyelesaikan sengketa maritim melalui arbitrase. Pada tahun 2016, PCA memutuskan bahwa klaim "Nine-Dash Line" China tidak memiliki dasar hukum berdasarkan UNCLOS. Putusan ini juga menyatakan bahwa China telah melanggar hak-hak ZEE Filipina dengan mengganggu aktivitas penangkapan ikan dan eksplorasi energi Filipina.

China menolak keputusan PCA dan terus memperkuat posisinya di Laut China Selatan dengan membangun pulau-pulau buatan dan fasilitas militer di wilayah yang disengketakan. Sementara itu, Filipina di bawah pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte melakukan pendekatan yang lebih lunak terhadap China untuk meningkatkan hubungan bilateral dan menarik investasi Tiongkok. Namun, ketegangan tetap terjadi bahkan sering kali memanas dalam beberapa insiden antara China dan Filipina.

Dampak Regional dan Internasional

Ketegangan antara China dan Filipina di Laut China Selatan tidak hanya mempengaruhi kedua negara tersebut, tetapi juga memiliki dampak yang lebih luas di kawasan dan dunia. Negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Malaysia, juga terlibat dalam sengketa serupa dengan China, menciptakan dinamika geopolitik yang kompleks dan berpotensi berbahaya. Sengketa ini melibatkan klaim tumpang tindih atas wilayah laut yang kaya akan sumber daya alam, termasuk ikan dan potensi cadangan minyak dan gas bawah laut, yang menjadikannya semakin penting secara strategis dan ekonomis.

Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya seperti Jepang dan Australia juga memperhatikan perkembangan di Laut China Selatan dengan cermat. Mereka sering melakukan operasi kebebasan navigasi (Freedom of Navigation Operations atau FONOP) untuk menantang klaim maritim China yang dinilai berlebihan dan mendukung hak-hak negara-negara lain di wilayah tersebut. Prinsip-prinsip Konvensi PBB tentang Hukum Laut menjamin kebebasan navigasi di perairan internasional, dan operasi-operasi ini menegaskan komitmen Amerika Serikat dan sekutunya terhadap hukum internasional. Ketegangan ini juga mempengaruhi hubungan ekonomi dan diplomatik antara negara-negara yang terlibat. Beberapa negara di kawasan mungkin merasa tertekan untuk memilih antara memperkuat hubungan dengan China atau mempertahankan hubungan yang kuat dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Situasi ini menciptakan ketegangan tambahan dan bisa mempengaruhi stabilitas regional secara keseluruhan.

Di sisi lain, negara-negara ASEAN berupaya untuk mencapai solusi damai melalui mekanisme regional dan dialog multilateral. Namun, upaya ini sering terhambat oleh perbedaan pandangan dan kepentingan masing-masing negara anggota. Upaya untuk merumuskan Kode Etik Laut China Selatan (Code of Conduct) yang mengikat juga terus berjalan, meskipun dengan kemajuan yang lambat.

Urgensi Penyelesaian Sengketa

Ketegangan yang berkepanjangan antara China dan Filipina di Laut China Selatan memiliki potensi memicu konflik militer yang lebih luas, mengancam stabilitas regional dan keamanan internasional. Laut China Selatan merupakan jalur perdagangan vital dengan triliunan dolar barang dagangan melewati kawasan ini setiap tahunnya, sehingga konflik yang tidak terselesaikan dapat mengganggu aliran perdagangan global dan mempengaruhi ekonomi dunia. Selain itu, klaim tumpang tindih atas wilayah laut yang kaya akan sumber daya alam seperti ikan, minyak, dan gas membuat penyelesaian sengketa ini penting untuk memastikan negara-negara pantai dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif mereka tanpa gangguan. Aktivitas pembangunan pulau buatan dan eksplorasi sumber daya alam oleh China juga telah menyebabkan kerusakan lingkungan laut yang signifikan, sehingga penyelesaian konflik ini diperlukan untuk memastikan konservasi dan perlindungan lingkungan laut sesuai dengan prinsip-prinsip UNCLOS.

Penyelesaian sengketa di Laut China Selatan akan memperkuat kepatuhan terhadap hukum internasional, khususnya UNCLOS, dengan menghormati keputusan Mahkamah Arbitrase Permanen yang menolak klaim Nine-Dash Line China. Hal ini penting untuk mencegah tindakan sepihak yang dapat merusak tatanan hukum internasional dan meningkatkan ketegangan antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia yang aktif terlibat dalam operasi kebebasan navigasi di kawasan ini. Penyelesaian sengketa ini juga akan memperkuat posisi ASEAN sebagai organisasi regional yang mampu menyelesaikan konflik secara damai dan meningkatkan kerja sama antar negara anggota, serta mendorong perumusan Kode Etik Laut China Selatan yang mengikat dan efektif. Dengan demikian, penyelesaian konflik ini adalah langkah penting untuk menciptakan stabilitas dan kemakmuran di kawasan Asia Tenggara dan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun