Mohon tunggu...
Rama Adam
Rama Adam Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memper-TUN-kan Penyidikan dan Penyelidikan: Akrobat "Yang Mulia" Pemburu Rente

3 Januari 2016   19:01 Diperbarui: 3 Januari 2016   19:57 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengadilan Tipikor telah memutuskan bersalah terhadap Para Hakim Pengadilan Tata Usaha Medan, Tripeni Irianto, Amir Fauzi dan Dermawan ginting, penerima uang suap dari Gubernur Gatot Pudjo Nugroho dan Istri Keduanya melalui Advokat OC. Kaligis dan M. Yagari Bastara. Aliran dana kepada para “yang mulia” tersebut diperuntukan untuk mempengaruhi putusan Majelis Hakim PTUN Medan terhadap perkara gugatan kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang menguji kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumut dalam hal penyelidikan dan penyidikan terhadap  dugaan korupsi dana bansos bantuan daerah bawahan (BDH), bantuan operasional sekolah (BOS), penahanan pencairan dana bagi hasil (DBH) dan penyertaan pada sejumlah BUMD pada pemerintah Propinsi Sumut.

PTUN mengabulkan gugatan Pemprop Sumut, Kejaksaan  Tinggi Sumut dinyatakan sewenang-wenang dalam penetapan Kabiro Keuangan Pemprop Sumut, sehigga penyidikan tidak sah dan harus dihentikan. Kejaksaan pun banding. Menarik untuk dicermati adalah “keberanian” para hakim tersebut untuk membuat putusan absurd jika kita melihat secara komprehensif aturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses penyelidikan serta penyidikan dan peraturan dalam ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara.

Wewenang PTUN

Peradilan Tata Usaha Negara adalah Peradilan yang mempunyai tugas dan wewenang:

Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dana bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (Pemerintah) baik pusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. (Vide Pasal 50 Jo Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 Jo. UU. No. 9 Tahun 2004)

Berdasarkan uraian tersebut seacara sederhan dapat dipahami bahwa yang menjadi subyek dalam PTUN adalah Penggugatnya adalah perorangan atau badan hokum perdata. Sedangkan yag menjadi Tergugat adalah Badan atau Pejabat Pemeritah. Dan yang menjadi obyek gugatan adalah Keputusan yang Pejabat Negara, juga perbuatan Pejabat Negara yang tidak mengelurkan keputusan yang menjadi kewajiban pejabat Negara. (Vide Pasal 3 UU No.5 Tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara).

Secara umum dan dalam berbagai perkara TUN  tugas dan wewenang PTUN adalah mengadili Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Pejabar Negara. Dalam Perkara yang melibatkan banyak pesohor ini materi gugatanya adalah keputusan Kejaksaan Tinggi Sumut yang melakukan proses penyelidikan dugaan korupsi dana bansos. Artinya gugatan yang diajukan atas inisitif Gubernur Gatot pada saat gugatan diajukan adalah gugatan terhadap proses hukum yang secara khusus masuk adalah ranah Hukum Pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Hukum Acara Hukum Pidana.

Tindakan Penyelidikan dan Penyidikan Bukan Obyek PTUN

Berdasarkan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yng bukan merupaka Keputusan TUN adalah:

  1. Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata.
  2. Keputusan TUN yang merupakan keputsan yang bersifat umum.
  3. Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan.
  4. Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan lainya yang bersifat pidana.
  5. Keputusan TUN yang dikluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku.
  6. Keputusan TUN mengenai tata usahaAngkatan Bersenjata Republik Indonesia.
  7. Keputusan Panitia Pemilihan, baik dipusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Secara jelas dalam huruf d pasal di atas menyatakan bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh aparat penegak hukum baik Polisi, Jaksa dan KPK yang berkaitan dengan proses hukum harusnya tidak dapat diperiksan dan diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pertanyaan yang muncul pada saat putusan perkara dibacakan kenapa majelis hakim sampai berani berakrobat telah terjawab dengan fakta-fata persidangan bahwa putusan dibuat atas “arahan”  OC. Kaligis. Dalam persidangan Tripeni yang menjadi ketua majelis pada saat itu menyatakan awalnya gugatan dinyatakan Niet Otvakelijke Verklaard (NO) atau gugatan tidak dapat diterima karena tidak terpenuhinya syarat formil gugatan. Tapi “yang mulia” tidak tahan godaan dollar, akhirnya putusan berubah. 

Perkara suap yang akhirnya menyeret banyak nama pesohor dalam pusaran perkara dugaan korupsi yang pada saat ini sedang disidik Kejaksaan Agung. Rio Cappela Sekjen Partai Nasdem, Advokat OC Kaligis, Gubernur Pemprop dan istri mudanya dan last but not least Jaksa Agung Prasetyo yang namanya santer disebut-sebut diberbagai media, menjadi bagian dalam rencana “mengamankan” Gatot dari proses hukum. Namun kemudian seperti biasa dibantah tegas langsung oleh Jaksa Agung.

Prilaku Ignorance wakil Tuhan yang tersangkut Perkara Pidana

Sudah Puluhan hakim yang dipidana dengan berbagai kasus, suap, narkoba bahkan perbuatan asusila. Hal ini dipertontonkan secara lugas di hadapan publik seolah-olah hakim hanya sebuah profesi, ketika ada diantara para melakukan perbuatan nista maka dia hanya disebut oknum. Mengingat posisi yang mulia begitu penting dan tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat seharusnya hakim adalah orang-orang yang mulia yang telah selesai dengan kehidupan dunianya dan hanya mengabdi pada keadilan dengan mengemban tugas maha mulia, menegakan keadilan di dunia. Jelas perilaku nista hakim menimbulkan ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan, ketidakpercayaan akan melahirkan kekecewaan yang pada akhirnya akan melahirkan sikap apatis terhadap seluruh sistem ketatanegaraan dan kehidupan masyarakat karena lembaga Yudikatif adalah penopang penting dalam kehidupan bernegra kita. Ditambah lembaga lain, lembaga legislatif mengalami hal yang sama kehilangan kepercayaaan publik karena prilaku anggota DPR yang tidak merepresentasikan sebagai wakil rakyat yang terhormat, dan bahkan sebagian menyebut dirinya sebagai yang mulia. Terus berulangnya perkara pidana yang melibatkan hakim khususnya dalam perkara korupsi mengidikasikan tidak adanya efek jera terhadap hukuman yang dijatuhkan. Kemudian mengindkasikan sudah begitu parahnya epidemik korupsi sehingga mampu membobrokan lembaga peradilan.

Seriously

Pertanyaan mengenai kenapa sampai sang Professor memilih melakukan gugatan terhadap penyelidikan melalui PTUN bukan praperadilan, apakah beliau tidak tahu atau tidak memahami mekanisme dalam Peradilan Tata Usaha Negara, jawabnya juga jelas dalam putusan Tipikor. Tapi tetap saya tergelitik untuk bertanya kenapa tetap menggugat di PTUN dengan pertanyaan, seriously??????????

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun