RUU Perampasan Aset Tindak Pidana memasuki babak baru di parlemen setelah Presiden Joko Widodo menugaskan perwakilan pemerintah untuk terlibat dalam pembahasannya. Draf RUU ini terdiri dari tujuh bab dan 68 pasal yang mencakup berbagai ketentuan terkait perampasan aset. Pasal 2 dalam RUU tersebut menjadi poin krusial yang menegaskan bahwa perampasan aset tidak tergantung pada penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana. RUU ini juga mengatur jenis-jenis aset yang dapat dirampas oleh pemerintah, pengelolaan aset rampasan, serta ketentuan kerjasama internasional.
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Surpres mengenai RUU Perampasan Aset dan mengirimkannya kepada DPR pada 4 Mei 2023. RUU tersebut akan dibahas dalam Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan persetujuan prioritas utama dari Presiden. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menargetkan pengesahan RUU pada Juni 2023, terkait dengan keanggotaan Indonesia di The Financial Action Task Force (FATF).
DPR berkomitmen untuk membahas RUU Perampasan Aset sesuai mekanisme yang berlaku. Mereka menunggu langkah dari Pemerintah karena RUU tersebut merupakan usulan dari Pemerintah. Selain itu, DPR juga membuka peluang membentuk panitia khusus atau pansus. Pansus akan melibatkan semua fraksi dan lintas komisi dalam membahas RUU melalui rapat kerja dan rapat tim perumus.
RUU Perampasan Aset memiliki substansi yang penting dalam memerangi korupsi dan mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana tersebut. Beberapa substansi yang mencuat antara lain adalah adanya ketentuan unexplained wealth atau aset yang diperoleh dari pendapatan yang tidak seimbang dengan penghasilan, hukum acara perampasan aset, dan pengelolaan aset rampasan.
Pengesahan RUU Perampasan Aset memiliki urgensi yang sangat penting. RUU ini menjadi perangkat hukum yang dibutuhkan untuk melawan korupsi, mengembalikan kerugian negara, serta menghemat waktu dan biaya dalam penanganan perkara. Selain itu, RUU ini juga memiliki potensi untuk meningkatkan potensi asset recovery dan menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.
Dalam draf RUU Perampasan Aset, terdapat komposisi yang terdiri dari tujuh bab dan 68 pasal. Pasal 2 menjadi poin krusial yang menegaskan bahwa perampasan aset tidak didasarkan pada penjatuhan pidana pada pelaku tindak pidana. RUU ini juga mengatur jenis-jenis aset yang dapat dirampas, pengelolaan aset, serta kerjasama internasional.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gencar mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset agar segera menjadi undang-undang. Hal ini bukan hanya harapan dari lembaga antirasuah tersebut, tetapi juga masyarakat Indonesia secara luas. RUU Perampasan Aset Tindak Pidana merupakan instrumen hukum yang dianggap penting dalam melawan korupsi dan mengembalikan kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana.
KPK telah menerima draf RUU Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana dan saat ini sedang melakukan kajian mendalam terhadapnya. Rancangan undang-undang ini diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang kuat bagi penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi serta memfasilitasi proses pengembalian aset yang diperoleh secara tidak sah.
Pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang menjadi sangat penting mengingat besarnya kerugian negara akibat korupsi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Data menunjukkan bahwa kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai angka yang sangat signifikan, dengan nilai mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya. Dalam sektor kasus korupsi pada tahun 2022 saja, kerugian negara mencapai angka sebesar 42.747 triliun rupiah.
RUU Perampasan Aset akan memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan jelas dalam menentukan jenis-jenis aset yang dapat dirampas dari pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu, RUU ini juga mengatur prosedur hukum yang harus diikuti dalam perampasan aset, termasuk mekanisme pengelolaan aset rampasan secara efisien dan transparan.
Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi akan semakin efektif dan efisien. Selain itu, pengembalian aset yang diperoleh secara tidak sah juga dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat, sehingga kerugian negara dapat dikurangi dan dana tersebut dapat digunakan untuk kepentingan publik yang lebih baik.
KPK berharap agar DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang melalui pembahasan yang cepat dan cermat. Dengan demikian, langkah konkret dalam memerangi korupsi dan mengembalikan kerugian negara dapat segera dilakukan untuk kepentingan masyarakat dan masa depan bangsa.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gencar mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset agar segera menjadi undang-undang. Hal ini bukan hanya harapan dari lembaga antirasuah tersebut, tetapi juga masyarakat Indonesia secara luas. RUU Perampasan Aset Tindak Pidana merupakan instrumen hukum yang dianggap penting dalam melawan korupsi dan mengembalikan kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana.
KPK telah menerima draf RUU Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana dan saat ini sedang melakukan kajian mendalam terhadapnya. Rancangan undang-undang ini diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang kuat bagi penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi serta memfasilitasi proses pengembalian aset yang diperoleh secara tidak sah.
Pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang menjadi sangat penting mengingat besarnya kerugian negara akibat korupsi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Data menunjukkan bahwa kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai angka yang sangat signifikan, dengan nilai mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahunnya. Dalam sektor kasus korupsi pada tahun 2022 saja, kerugian negara mencapai angka sebesar 42.747 triliun rupiah.
RUU Perampasan Aset akan memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan jelas dalam menentukan jenis-jenis aset yang dapat dirampas dari pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu, RUU ini juga mengatur prosedur hukum yang harus diikuti dalam perampasan aset, termasuk mekanisme pengelolaan aset rampasan secara efisien dan transparan.
Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi akan semakin efektif dan efisien. Selain itu, pengembalian aset yang diperoleh secara tidak sah juga dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat, sehingga kerugian negara dapat dikurangi dan dana tersebut dapat digunakan untuk kepentingan publik yang lebih baik.
KPK berharap agar DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang melalui pembahasan yang cepat dan cermat. Dengan demikian, langkah konkret dalam memerangi korupsi dan mengembalikan kerugian negara dapat segera dilakukan untuk kepentingan masyarakat dan masa depan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H