Mohon tunggu...
Ralindra Kartanama
Ralindra Kartanama Mohon Tunggu... Lainnya - Aquarius '96

Berisi kumpulan cerita pendek.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Prahara Rumah Tangga | Cerpen

1 April 2022   01:28 Diperbarui: 1 April 2022   01:37 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : https://www.99.co

Lagi-lagi, prahara itu terjadi dalam rumah tangga ini. Dan entah mengapa, seringkali momen-momen seperti ini hanya ada aku yang berada di rumah ketika mereka berkelahi. Meski dalam perkelahian mereka tak ada adu jotos. Tetap saja pertengkaran mereka membuat konsentrasiku buyar.

Di saat seperti ini, memang tak banyak yang bisa kukerjakan selain mematikan laptop dan mendengar keributan itu dari dalam kamar.

Bapak ngamuk tak terkendali. Berkali-kali sumpah serapah keluar dari mulutnya. Memekakkan telinga. Seperti orang kerasukan iblis. Sementara, ngamuk ibu tak seperti bapak. Sesekali beliau cuma menimpali makian bapak. Dengan balas caci maki. Seterusnya, mengoceh tak karuan. Walau suaranya tak begitu keras. Namun, ocehan ibu cukup ampuh membikin suasana tambah gaduh.

"Pyar!!!", terdengar suara pecahan piring di lantai. Suaranya begitu nyaring didengar, sekaligus mengundang tanya dari para tetangga sekitar.

“Siapa yang bertengkar malam-malam begini?”

“Siapa lagi kalau bukan mereka.”

“Kenapa mesti bertengkarnya malam hari, sih? Anakku juga barusan tidur.”

“Enggak tahu juga. Kayak enggak ada waktu lain saja.”

“Padahal, tadi pagi mereka kelihatannya mesra, lho.”

“Ah, masak iya? Tapi, kok, sekarang jadi berantem, ya”

“Aduh, anakku nangis. Bentar, ya.”

“Pyar!!!”, disusul suara benda lain yang suaranya mirip-mirip dengan suara dari pecahan piring.

Aku tersentak. Kalau sudah begini, gawat, pikirku. Aku putuskan bangkit dari kursi dan keluar kamar.

Cermin besar yang menempel di dinding yang kupakai berkaca setiap sehabis mandi kini hancur berkeping-keping di lantai. Pecahan kaca itu tersebar berbaur dengan pecahan piring yang kudengar tadi.

“Aku kerja mati-matian supaya kita bisa makan, kamu malah ngoceh yang enggak-enggak!”, kata bapak masih dengan amarah yang meletup-letup. 

“Lihat itu, Ibumu..”, kata bapak melihat kemunculanku, “Punya otak tapi pikirannya enggak dipake!”

Untuk kesekian kali, bapak mengambil televisi. Dengan sigap aku cegah beliau yang berencana ingin membanting televisi itu di lantai.

“Sabar, Pak.”, ucapku. Merebut televisi ditangan bapak.

Bukannya balas mencacimaki bapak. Tahu-tahunya ibu memprovokasi.

“Banting saja semua barang di rumah ini, banting!”, ucap ibu.

Mendengar kata-kata ibu. Wajah bapak berubah jadi merah padam. Emosinya makin memuncak. Beliau kalap bukan main. Menjelma sosok zombie bak dikehidupan nyata. Tetapi, versi zombie yang satu ini jauh lebih ngeri jika dibandingkan dengan sosok zombie yang pernah kutonton di film-film.

Kedua mata beliau memandang ke segala penjuru ruangan. Nafasnya tersengal-sengal. Seolah tak sabar ingin menerkam mangsa. Namun bedanya, beliau enggan tertarik padaku, juga pada ibu. Beliau tergoda pada barang-barang yang tergeletak di sembarang tempat. Aku dapat menerka beliau setelah ini mau mengambil apa.

Ternyata, dugaanku benar. Sebuah porselen yang terpajang di bufet. Ditangan beliau dalam tiga detik berselang, hancur dan berceceran di lantai. Sasaran berikutnya adalah perabotan lain seperti radio, dvd player, remote tv, salon, kipas angin, jam dinding dan menyusul peralatan dapur.

Dengan berdiri mematung sambil merangkul telivisi. Aku cuma bisa geleng-geleng kepala menyaksikan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Gim Playstation milikku juga hampir saja menjadi korban keganasan beliau. Namun urung beliau hempaskan barang itu ke lantai, setelah menyadari bahwa barang tersebut adalah milikku.

Tengah malam adikku baru pulang. Dari mana saja bocah sialan satu ini. Di kamar, aku masih belum tidur saat kulihat derit pintu kamar terbuka. Sesaat kami bersitatap. Sebelum akhirnya, tanpa berkata apa-apa, bocah itu menutup pintu kembali.

Tak lama, kudengar langkah bocah itu menginjak serpihan macam benda di lantai dengan menggeret barang berat. Dengan tubuh yang ringkih itu. Ia agak kesulitan menggulingkan kembali sofa-sofa yang menggeletak dan terbalik di ruang tamu. Karena bapak memutuskan malam ini  tidur di kamarku. Jadi, mau tak mau, bocah itu terpaksa tidur di sofa.

Usai aksi vandalisme yang dilakukan bapak tempo lalu, ternyata membuat tenaga dan energi beliau habis terkuras. Dengan posisi tidur telentang dan mendengkur disebelahku. Lamat-lamat kupandangi wajah beliau yang kecapaian itu.

Aku beringsut dari tempat tidur dan menyalakan laptop. Ada pekerjaan yang harus kutuntaskan. Sementara, jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Suara-suara dikepalaku mulai bermunculan.

Dalam sunyi suasana, sepintas, samar-samar kudengar lirih suara teriakan-teriakan dari dalam rumah. Bantingan-bantingan perabotan barang di lantai. Wajah-wajah garang ibu dan bapak. Lantas, teringat adikku dan kini diriku, yang kerapkali diam dan tak berbuat sesuatu, ketika menyaksikan prahara itu terjadi.

Aku berusaha tenang. Dibalik ketenangan yang kurasakan, tersembunyi keguncangan dalam jiwaku. Ada apa gerangan?

Aku masih menatap layar laptop dihadapanku. Kursor pada layar monitor putih itu pula masih berkedip-kedip. Sungguh. Aku tak mampu berpikir secara jernih. Dan terlalu lama menatap layar monitor membuat mata ini pedas.

Sekelebat pandangan mataku kabur. Kepalaku mendadak pening. Diikuti nyeri pada tengkuk menjalar sampai terasa ke tulang punggung. Sia-sia menulis di tengah kebuntuan, pikirku. Akan tetapi, apakah aku memang benar-benar sedang buntu? Atau mungkin, aku terserang depresi?

Lekas-lekas aku menyudahinya dan bangkit menuju tempat tidur lantas berbaring. Kali ini, kupaksa mataku untuk terpejam. Dan kubiarkan ide-ide berkejaran di kepala.

Dalam hitungan detik, perlahan anggota tubuhku terasa kaku digerakkan. Menyisahkan gerakan kecil pada jemari kaki dan sekejap kemudian seluruh anggota tubuhku seakan-akan lumpuh. Lagi-lagi aku ketindihan.

Keesokan pagi, di sepanjang komplek perumahan, tetangga-tetangga bergerombol dan sibuk bergunjing mengenai kejadian tadi malam.

“Eh, Jeng. Tahu enggak? Rame-rame tadi malam.”

“Tahu, dong!”

Sebetulnya, aku sudah tahu akar masalahnya, tapi aku terlalu malu untuk mengatakannya. Begini, pemicu terjadinya prahara dalam rumah tangga ini rupanya tak lepas dari kehadiran orang ketiga sebagai penyebab utama.

Di kantor tempat bapak bekerja. Beliau memiliki seorang sekretaris. Namanya Mbak Sari. Semua orang memanggilnya begitu. Mbak Sari terhitung perantau di kota ini. Ia hidup menjanda dan dikaruniai satu orang anak, yang anak tersebut, katanya dititipkan di kampung halaman.

Ia, Mbak Sari, sudah cerai dengan suaminya. Kabar tentang perceraian mereka tak terendus oleh siapapun. Baik di lingkungan kantor tempat di mana ia bekerja maupun di lingkungan rumah tempat ia tinggal. Sampai-sampai timbul ragam spekulasi. Namun, Mbak Sari cuek saja menanggapi rumor yang beredar tentang dirinya.

Kehidupan Mbak Sari seperti orang normal pada umumnya. Pergi kantor dan pulang ke rumah pada waktu tepat. Di rumah kontrakan, Mbak Sari jarang keluar rumah, kecuali jika ia punya urusan mendesak. Paling banter, pergi ke pasar atau keluar bila memenuhi undangan hajatan tetangga.

Dibalik sosok misterius Mbak Sari yang tertutup itu. Ia memang suka sekali memposting foto-foto aduhai miliknya di akun media sosialnya. Coba cari nama akun Mbak Sari di pencarian nama dan ketik nama akun Mbak Sari seperti ini “@Sari_MemangDahsyat”

Akun yang pengikutnya hampir mencapai satu juta orang adalah akun pribadi milik Mbak Sari. Dapat ditemukan foto-foto ajaib nan aduhai dengan segala macam potret diri Mbak Sari di sana. Mengundang komentar-komentar nakal dari para pengikut Mbak Sari, yang sebagian besarnya diikuti oleh para kaum lelaki.

Pada awalnya, aku iseng-iseng berselancar di media sosial sekadar mencari hiburan dengan melihat foto dan video lucu dari berbagai akun humor. Di saat yang sama, muncul sebuah foto mentereng dari pemilik akun yang kusebutkan tadi, yang mencuri perhatianku. Selain timbul rasa penasaran karena ada satu akun lain yang rasanya aku kenal betul siapa itu pemiliknya. Jadi aku klik foto itu. 

Akun yang bernama “@SugengSkeluarga020360” yang antara lain adalah akun milik bapak, saling berbalas di kolom komentar dengan pemilik akun yang bernama “@Sari_MemangDahsyat”

@Sari_MemangDahsyat: Bapak enggak di sini, enggak di kantor, kerjaanya     gombal muluuu.. :-P

@SugengSkeluarga020360: Tapi, segombal-gombalnya aku kan, masih tetap berguna bagimu, Sar. :-D

@Sari_MemangDahsyat: Bapak bisa saja, deh. Sekali-sekali istri yang di rumah jangan lupa digombalin, Pak. :-P

@SugengSkeluarga020360: Kalau itu jangan ditanya, Sar. Setiap hari dia kena gombalku. :-D

@Sari_MemangDahsyat: Pantesan istrinya jadi klepek-klepek :-P Kapan dinas luar kota lagi, Pak? Sari kangen dinas ke luar kota. Sekalian refreshing *peluk*

Tiba-tiba akun yang bernama “@LastriSkeluarga010265” yang antara lain adalah akun milik ibu nimbrung di kolom komentar mereka.

@LastriSkeluarga010265: :-)

Begitulah prahara dalam rumah tangga ini bermula. Ibu jadi suka ngomel-ngomel tak jelas dan mudah marah. Hingga kadang, aku risih mendengarnya. Dan siapa yang tak kena omelan beliau di rumah ini. Terutama, adikku, bocah masa bodoh yang gemar keluyuran itu, pernah suatu hari kena semprot beliau habis-habisan.

Gara-garanya, bocah itu minta uang jajan dikala suasana hati beliau sedang tidak baik-baik saja selepas bertengkar dengan bapak.

“Ikut Bapakmu sana! Minta uang ke Bapakmu! Jangan minta ke Ibu! Memangnya kamu pikir Ibumu punya pabrik uang?!”, ucap ibu.

Bukan hanya adikku. Sekali waktu ibu juga pernah memarahiku. Gara-gara aku mengulur waktu ketika beliau menyuruhku pergi ke warung untuk membeli bumbu masakan.

“Kamu kalau enggak nurut sama Ibu, mending ikut Bapakmu! Disuruh orang tua susahnya minta ampun!”, ucap ibu.

Bapak sudah berulang kali menjelaskan pada istrinya perihal hubungan beliau dengan Mbak Sari semata-mata hanya rekan kerja. Antara atasan dengan bawahan. Itu saja. Tak ada hubungan khusus yang terjalin di antara mereka berdua. Apalagi hubungan gelap. Seperti apa yang ada dalam bayangan buruk ibu.

Begitu pula sebaliknya dengan ibu. Bagaimana beliau tidak murka dan cemburu setelah menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri, memergoki kelakuan suaminya di media sosial yang menggoda perempuan lain yang notabene perempuan tersebut adalah perempuan idaman bagi semua kalangan pria. Walaupun sebatas sendau gurau di media sosial. Mana ada wanita yang percaya begitu saja?

Kecurigaan ibu semakin bertambah selepas beliau mengetahui bahwa Mbak Sari adalah sekretaris bapak di kantor.  
Aku tak berpihak pada ibu atau pun bapak. Aku tidak berada dipihak mana pun. Aku hanya berpihak pada diriku sendiri saat ini. Seorang anak laki-laki yang sumpek tatkala melihat kedua orang tuanya tidak akur.

“Bapak mana, Bu?”, tanyaku mendapati beliau di dapur membersihan pecahan beling yang berserak. 

“Minggat!”, jawab beliau ketus. Aku tahu beliau bohong.

Sesudah mencuci muka. Aku kembali menyalakan laptop di kamar. Melanjutkan draft tulisan yang belum selesai. Sekilas, kulirik bocah masa bodoh itu masih duduk selonjor di sofa sambil mengutak-atik gim di handphone.

Belum sampai satu paragraf penuh. Datang seorang tamu sembari mengetuk pintu rumah. Adikku bangkit dari sofa. Sayup-sayup dari dalam kudengar tamu itu mencari keberadaan seseorang di rumah ini. Persis dari arah dapur kudengar suara ibu bertanya.

“Cari siapa?”

Sekeluar kamar, segera kusaksikan seorang perempuan muda anggun dan cantik serta mengenakan setelan rapi dengan rok selutut dan memakai sepatu High Heels itu.

Seketika aku tertegun menatap seorang tamu yang tak lain dan tak bukan adalah Mbak Sari, sekretaris bapak, yang tengah berdiri di ambang pintu dan bertanya pada aku dan adikku.

“Bapak ada?”

Benjeng, penghujung tahun 2021

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun