“Pyar!!!”, disusul suara benda lain yang suaranya mirip-mirip dengan suara dari pecahan piring.
Aku tersentak. Kalau sudah begini, gawat, pikirku. Aku putuskan bangkit dari kursi dan keluar kamar.
Cermin besar yang menempel di dinding yang kupakai berkaca setiap sehabis mandi kini hancur berkeping-keping di lantai. Pecahan kaca itu tersebar berbaur dengan pecahan piring yang kudengar tadi.
“Aku kerja mati-matian supaya kita bisa makan, kamu malah ngoceh yang enggak-enggak!”, kata bapak masih dengan amarah yang meletup-letup.
“Lihat itu, Ibumu..”, kata bapak melihat kemunculanku, “Punya otak tapi pikirannya enggak dipake!”
Untuk kesekian kali, bapak mengambil televisi. Dengan sigap aku cegah beliau yang berencana ingin membanting televisi itu di lantai.
“Sabar, Pak.”, ucapku. Merebut televisi ditangan bapak.
Bukannya balas mencacimaki bapak. Tahu-tahunya ibu memprovokasi.
“Banting saja semua barang di rumah ini, banting!”, ucap ibu.
Mendengar kata-kata ibu. Wajah bapak berubah jadi merah padam. Emosinya makin memuncak. Beliau kalap bukan main. Menjelma sosok zombie bak dikehidupan nyata. Tetapi, versi zombie yang satu ini jauh lebih ngeri jika dibandingkan dengan sosok zombie yang pernah kutonton di film-film.
Kedua mata beliau memandang ke segala penjuru ruangan. Nafasnya tersengal-sengal. Seolah tak sabar ingin menerkam mangsa. Namun bedanya, beliau enggan tertarik padaku, juga pada ibu. Beliau tergoda pada barang-barang yang tergeletak di sembarang tempat. Aku dapat menerka beliau setelah ini mau mengambil apa.