Mohon tunggu...
Djoko Nawolo
Djoko Nawolo Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati sosial

Sekedar menyalurkan hobi berceloteh tentang segala hal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan featured

Mengapa Kita Perlu TNI?

20 Juli 2016   02:34 Diperbarui: 5 Oktober 2018   13:49 1687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diskusi tentang perlu atau tidaknya pelibatan TNI dalam penanganan terorisme di Indonesia sudah cukup lama terjadi, seiring dengan semakin dinamisnya ancaman teror di negeri ini, disatu sisi, dan pemisahan institusional antara TNI dan Polri pasca reformasi disisi yang lain. 

Kuatnya arus pemahaman dikotomis antara fungsi keamanan dan pertahanan yang mengiringi pemisahan tersebut telah menempatkan TNI pada posisi dilematis dalam konteks penanganan terorisme yang sejatinya merupakan salah satu ancaman terhadap kedaulatan negara tersebut. 

Walaupun UU Nomor 34 tahun 2004 telah memberikan mandat kepada TNI untuk menangani terorisme sebagai salah satu tugas OMSP, namun resistensi yang muncul secara politis dan yuridis sangatlah kuat, apalagi UU tentang terorisme secara eksplisit mengatakan bahwa terorisme adalah sebuah bentuk ‘tindak pidana’ yang secara otomatis menjadi domain dari Polri untuk menanganinya. Dengan demikian, TNI hanyalah bisa dilibatkan sebatas dalam rangka tugas perbantuan kepada Polri.

Realitas tidak menurunnya kualitas maupun kuantitas ancaman terorisme yang terjadi pada kurun waktu beberapa tahun terakhir, dan anggapan kurang efektifnya langkah-langkah yang dilakukan Polri dengan Densus 88 untuk menangani terorisme dalam situasi-situasi khusus, telah menggiring persepsi banyak pihak untuk melakukan revisi terhadap UU terorisme, dengan semangat memasukkan kembali TNI untuk secara lebih aktif melakukan penanganan terhadap ancaman teror. 

Kabar tertembaknya salah satu gembong teror, Santoso, oleh prajurit Raider 515/Kostrad setelah bertahun-tahun gagal dilakukan Satgas yang dibentuk oleh Polri, seolah-olah menambah amunisi baru yang mendorong akselerasi revisi UU tentang terorisme dengan memasukkan TNI sebagai salah satu pemeran utama penanganan terorisme.

Oleh karenanya, penting rasanya kita melihat sekilas tentang akar terorisme di Indonrsia untuk menuju kepada pemahaman tentang bagaimana seharusnya memberdayakan TNI dalam penanganan terorisme ini.

Akar Permasalahan Terorisme.

Terorisme sebagai sebuah sifat pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang memunculkan ketakutan (teror) pada manusia, dan telah eksis dalam kehidupan manusia sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, banyak definisi terorisme yang dikembangkan oleh para ahli dari berbagai negara. 

Dalam hal ini, TNI mendefinisikan terorisme sebagai sebuah ancaman dalam bentuk aksi teror yang dilakukan oleh kelompok radikal dan fundamentalis secara nasional maupun internasional, termasuk kelompok-kelompok oportunis dengan cara pengeboman, penculikan, penyanderaan, pembajakan dan pembunuhan, sebagaimana yang tercantum dalam Doktrin TNI Tri Dharma Eka Karma.

Ketidakstabilan dunia yang ditandai dengan adanya krisis ekonomi, krisis pangan, krisis energi yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan negara-negara dunia, khususnya negara miskin dan berkembang telah menimbulkan frustasi sekelompok masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak ekonomi, sosial dan politik sebagai bentuk hak asasi yang fundamental. 

Kemudian adanya keinginan untuk melanggengkan kekuasaan, baik di lingkup lokal, nasional, regional maupun internasional membuktikan bahwa kondisi tersebut sangat berpotensi sebagai pemicu meluasnya aksi riil terorisme sebagaimana akar permasalahan terorisme sehingga potensi dan tindakan riil terorisme masih tetap dilatarbelakangi oleh gerakan fundamentalis radikal yang didasarkan pada ekstrimisme agama, gerakan separatis, kepentingan kelompok tertentu dan gerakan komunisme. 

Sedangkan penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk mencapai tujuan politiknya merupakan media utama yang dilakukan oleh aktor-aktor teror.

Pasca serangan 11 September 2001 terhadap gedung WTC di New York, persepsi publik dunia terhadap terorisme semakin berubah. Terorisme tidak lagi dipandang hanya sekedar kejahatan biasa, melainkan sudah menjadi musuh bersama umat manusia. 

Perang terhadap terorisme yang pada awalnya dideklarasikan oleh negara-negara barat, sekarang sudah dilakukan oleh hampir seluruh negara di dunia, karena terorisme itu sendiri semakin menyebar dan menjadi ancaman global yang dapat terjadi di seluruh belahan dunia. 

Namun demikian, terorisme tidaklah serta merta dapat dihancurkan, bahkan terjadi kecenderungan peningkatan secara kuantitatif maupun kualitatif. Dalam hal ini, muncul dan berkembangnya ISIS di Timur Tengah yang simpatisannya sudah menyebar secara global menjadi indikator yang sulit untuk dipungkiri.

Terkait terorisme ini, Indonesia merupakan negara yang tergolong rentan sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya kelompok teror, maupun sebagai sasaran aksi terorisme. 

Ancaman yang dilancarkan oleh kelompok radikal teror selama bertahun-tahun dari wilayah Poso, yang kita harapkan akan segera berakhir pasca tertembaknya Santoso alias Abu Wardah oleh prajurit Raider 515/Kostrad, serta serangan-serangan sporadis kelompok teror di berbagai tempat strategis, menunjukkan bahwa terorisme masih merupakan api dalam sekam dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah munculnya aksi teror maupun mengatasi aksi-aksi teror yang telah terjadi, baik secara regulatif maupun implementatif. 

Pada tahun 2003, Pemerintah RI bersama dengan DPR mengesahkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai landasan hukum bagi aparat negara untuk memberantas terorisme yang dalam hal ini dikategorikan sebagai sebuah 'tindak pidana'. 

Dalam kurun waktu 13 tahun, berbagai langkah pemberantasan terorisme telah dilakukan, baik sebagai upaya penindakan terhadap aksi-aksi teror yang terjadi maupun pencegahan terhadap potensi munculnya aksi teror oleh kelompok-kelompok radikal. 

Namun demikian, langkah-langkah tersebut dinilai oleh banyak kalangan belum efektif dalam membasmi terorisme hingga ke akar-akarnya. Berbagai kekeliruan yang dilakukan oleh aparat dalam melaksanakan tugasnya justru dianggap berpotensi menumbuhkan radikalisme dan terorisme baru yang lebih besar.

Akhirnya terjadi serangan teror Thamrin pada tanggal 14 Januari 2016. Peristiwa itupun kemudian memicu semakin menguatnya wacana untuk melakukan revisi terhadap UU No 15 Tahun 2003, walaupun pada akhirnya menuai pro dan kontra.

Saat ini pemerintah Indonesia sedang menggodok secara cermat regulasi yang dapat melibatkan seluruh stakeholder nasional dalam rangka penanganan aksi teror yang menyentuh sampai dengan akar permasalahannya dalam bentuk upaya preventif serta kegiatan deradikalisasi. 

Momentum keberhasilan prajurit TNI menewaskan pimpinan MIT, Santoso alias Abu Wardah pada tanggal 18 Juli 2016 kemaren, setelah bertahun-tahun gagal dilakukan oleh Kepolisian RI dengan Densus 88-nya, seolah-olah membuka mata publik terhadap realitas perlunya TNI untuk secara lebih aktif melakukan penanganan terhadap ancaman terorisme.

Teori Penanganan Terorisme.

Berorientasi kepada dinamika sosial terkait dengan perkembangan terorisme di Indonesia beserta penanganannya, kita perlu memahami secara benar bahwa terorisme adalah sebuah ancaman serius terhadap keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Hal ini termuat secara eksplisit dalam Buku Putih Pertahanan RI, bahwa terorisme adalah salah satu ancaman yang potensial untuk dihadapi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia pada kurun waktu 10 hingga 15 tahun mendatang. Mengingat bahwa pemberantasan terorisme yang dilakukan selama ini masih dinilai belum efektif, maka diperlukan pemahaman terhadap model penanganan terorisme untuk mendapatkan solusi yang tepat dalam memberantas terorisme hingga ke akar-akarnya.

Terkait dengan pendekatan tersebut, Ronald Crelinsten, pengamat dan ahli counter-terrorism, menyampaikan bahwa penanganan terorisme di negara demokrasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan dalam rangka menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, yaitu war model dan criminal justice model. 

War model lebih mengedepankan peran dan fungsi militer untuk mengatasi ancaman teroris dalam konteks strategi nasional. Sedangkan criminal justice model mengutamakan peraturan dan undang-undang yang dibuat dalam sistem demokrasi dengan mengedepankan aksi polisionil.

Penanganan Terorisme di Indonesia.

Dari implementasi UU RI No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia termasuk negara demokrasi yang menerapkan model Criminal Justice. Namun, bila mengacu kepada UU RI No 34 tahun 2004 tentang TNI yang memuat tugas-tugas TNI dalam OMSP, diantaranya adalah mengatasi aksi terorisme, maka Indonesia juga dapat dilihat sebagai negara yang menerapkan penanganan War Model meskipun masih bersifat suplemen terhadap Criminal Justice Model yang jauh lebih dominan. Sehingga penanganan terorisme menggunakan Criminal Justice Model selalu dimulai dari tempat kejadian perkara (crime site), dan metoda pemeriksaan maupun penyidikannya mengacu kepada standard operational procedure kepolisian.

Seharusnya, masyarakat Indonesia menyadari, sebagaimana masyarakat dunia pada saat ini, bahwa Global War on Terrorism (GWoT) merupakan rasionalitas kolektif. Terorisme haruslah dipandang sebagai sebuah extraordinary crime yang menjadi ancaman global sehingga diperlukan kerja sama kolektif untuk menghadapinya. 

Pelaku-pelaku teror terus belajar dari pengalaman dan meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi aparat negara yang juga terus mengejarnya. Realitas ini seharusnya juga menumbuhkan kesadaran bahwa sebagai sebuah ancaman serius bagi kemanusiaan, terorisme tidak lagi bisa dihadapi secara sektoral dan hanya dengan pendekatan polisionil.

Pengalaman gugurnya 18 orang prajurit dari satuan elit Angkatan Bersenjata Philipina beberapa waktu yang lalu ketika bertempur menghadapi kelompok Abu Sayyaf yang menyandera 10 orang WNI, semakin membuktikan bahwa kemampuan kelompok-kelompok teroris semakin meningkat. 

Oleh karenanya, terorisme tidak seharusnya hanya dipandang sebagai sebuah 'tindak pidana' yang hanya dilakukan penindakan ketika mereka melakukan aksinya. Terorisme harus benar-benar dipahami sebagai sebuah ancaman dan kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, yang memerlukan penanganan secara komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan di level nasional.

TNI Angkatan Darat yang memiliki tugas pokok menjaga kedaulatan negara di wilayah daratan NKRI, senantiasa menyiapkan dirinya untuk menghadapi berbagai ancaman, yang dapat berpotensi mengganggu perikehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah daratan. 

Melalui fungsi utama pertempuran dan teritorial, TNI AD juga senantiasa memaksimalkan perannya untuk mencegah serta menghadapi berbagai ancaman yang membahayakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sesungguhnya upaya preventif ataupun pre-emptive dapat dikedepankan sebelum ancaman ataupun serangan teror dapat terjadi. Kemampuan deteksi dini dan cegah dini yang dimiliki oleh Komando Kewilayahan maupun kemampuan intelijen yang dimiliki oleh satuan Intelijen TNI AD dapat dikerahkan dalam tahap pencegahan, tahap rehabilitasi maupun deradikalisasi. 

Demikian pula pada tahap penindakan aksi teror, prajurit dan satuan elit TNI seperti Sat 81/Gultor Kopassus maupun Raider, memiliki kualifikasi yang selalu dilatihkan untuk operasi-operasi khusus melawan terorisme sebagai tugas pokok satuan tersebut.

Bila para pemangku kepentingan di Negara Republik Indonesia ini menyadari tingkat bahaya terorisme dan menyepakati bahwa pendekatan yang perlu dilakukan tidaklah sekedar Criminal Justice Model, maka TNI AD sudah sangat siap untuk berperan secara proaktif memberantas terorisme hingga ke akar-akarnya. 

Tentu saja, hal ini perlu dipayungi oleh aturan perundang-undangan yang jelas dan tidak berpotensi memicu pertentangan, serta implementasinya harus melibatkan semua komponen bangsa secara kolektif dan terkoordinasi dalam sebuah lembaga yang saat ini disebut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun