~Serpong 2010~
Penggemar wayang Jawa mungkin tidak asing dengan nama tokoh raksasa yang memiliki jiwa ksatria, KUMBO KARNO, adik seorang raja raksasa angkara murka, penguasa otoriter negeri Alengka, the most wanted criminal, yang merupakan tokoh antagonis nomer wahid dalam cerita Ramayana yaitu DOSOMUKO. Ketenaran Dosomuko dalam menebarkan terror di dunia wayang mengalahkan ketenaran Osama Bin Laden yang menebar terror kepada Amerika dan sekutu-sekutunya. (saya pake huruf “O” di belakang nama-nama, karena saya orang JOWO)
Kumbo Karno sebenarnya adalah seorang pangeran yang SAKTI MONDROGUNO namun sudah menjadi agak malas karena merasa muak terhadap hiruk pikuk kehidupan kerajaan yang semakin semrawut. Oleh karena itu ia mengajukan pensiun dini dan hidup menyendiri di rumahnya yang beralamat di daerah Panglebur Gongso, ditemani ajudannya yang setia sejak masih dinas aktif, Togog. Kumbo Karno menjadi apatis kronis terhadap lingkungan, nggak mau nonton TV, dengerin radio, baca koran apalagi main bbm, wa, telegram, instagram dan gram-gram yang lain. Dia sama sekali tidak mau lagi mempedulikan apa yang terjadi di kerajaan ALENGKO DIROJO.
Suatu saat ketenangan negeri Alengko Dirojo terasa mencurigakan. Dibalik ketenangan itu sepertinya tersimpan sesuatu yang sengaja disembunyikan untuk menciptakan kesan seolah-olah semua aspek kehidupan berjalan normal. Naluri Kumbo Karno mencium adanya ketidak beresan dibalik semua itu, sehingga keapatisannya terusik dan jiwa ksatrianya terbakar lagi. Maka, disuruhnya Togog, sang ajudan yang merangkap sebagai staf intelijen, untuk melaksanakan penyelidikan melalui jaring-jaring intelnya yang telah dibangun semasa masih bertugas sebagai Babinsa.
Syahdan, karena Togog ini pernah mengikuti kursus intel strat dan juga pernah bertugas di BIP (Badan Intelijen Perwayangan), maka ia mampu menyusup ke sumber berita yang paling aktual, dan layak dipercaya (karena waktu menyusup Togog nggak pake baju safari sambil bawa HT dan pistolnya nongol di pinggang kaya intel melayu…).
Alkisah, menurut Togog, pada saat rapat pimpinan yang membosankan karena tidak dikasih snack, Gunawan Wibisono yang menjabat sebagai salah satu asisten kerajaan, mencoba membujuk Dosomuko agar mengembalikan Shinta kepada suaminya Rama, karena kalau tidak dikembalikan, maka Kontras akan melaporkannya kepada Komnas HAW (Hak Azasi Wayang). Merasa sebagai wayang yang berkuasa, maka Dosomuko tidak senang kalau ada bawahannya yang mengkritik, apalagi mengkritiknya dengan gaya preman seperti anggota Pansus yang sering ditayangkan TV. Dipuncak kemarahannya, Gunawan Wibisono dilempar pake laptop dan dikepruk dengan sebatang besi oleh Dosomuko. Gunawan pun terkapar dan mati karena tidak ada petugas kesehatan yang siaga di ruang rapat.
Kematiannya dirahasiakan, sehingga ahli forensik dari RSPAD (Rumah Sakit Punyanya Alengko Dirojo) tidak sempat melakukan otopsi. Segenap kawulo dan kadang sentono kerajaan yang ada di dalam bangunan gedung istana tidak boleh keluar. Sebaliknya, yang di luar tidak boleh masuk. Segenap pintu dijaga ketat demi kerahasiaan itu sehingga tidak ada satu wartawanpun yang bisa meliput.
Kemudian, dengan cara siluman, jasad Gunawan dibuang ke laut. Dengan demikian, Dosomuko bisa bersikap biasa saja, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi. Para pejabat dekat Dosomuko telah menyiapkan berbagai skenario untuk mengelabuhi publik bila suatu ketika kematian Gunawan diketahui orang. Mereka bahkan telah menyewa pembunuh-pembunuh bayaran dan orang-orang yang siap untuk dikorbankan apabila publik menuntut pengusutan kasus tersebut. Agar tidak sibuk sendiri, Dosomuko yang banyak duit juga telah membayar ”markus” dan menyewa pengacara-pengacara mata duitan untuk membantunya apabila kasus tersebut sampai ke pengadilan. Masalah inipun akan dibuat semakin rumit dengan menyiapkan skenario-skenario pengalih yang lebih menarik. Sebagai seorang penguasa, Dosomuko paham betul bahwa rakyat Alengko sangat gampang dialihkan perhatiannya dari satu kasus ke kasus yang lain, sehingga banyak kasus yang berakhir secara mengambang. Pokoknya amburadul deh..... kondisi sosial masyarakat Alengko saat itu.
Berdasarkan informasi intelijen dari Togog, Kumbo Karno yang mengetahui kejadian itu merasa marah dan menggeram. Suaranya menggelegar di langit. Langkah kaki raksasa sebesar gunung yang sedang menahan marah itu mengguncangkan bumi Alengko dengan kekuatan 7,5 SR. Dia muak dengan keangkara murkaan kakaknya, dia ingin membersihkan keangkara murkaan itu. Dia menginginkan perubahan...!!!
Sambil menuju istana kerajaan Alengko, Kumbo Karno mengobrak-abrik keindahan taman, persis seperti supporter Persib yang mecahin pot-pot bunga di alun-alun Bandung ketika kesebelasan kebanggaannya kalah. Benteng dirobohkan. Pohon-pohon besar ditumbangkan (untuk dijual....?), karena belum ada Undang-Undang ilegal logging. Pendek kata, kerajaan Alengko morat marit bagai diterjang angin puting beliung.
Mengetahui kemarahan adiknya itu, Dosomuko ngeri juga. Walaupun dia raja wayang yang sakti mondroguno, tetapi Kumbo Karno yang dalam keadaan marah bukanlah tandingan yang ringan. Kumbo Karno telah banyak menimba ilmu di luar negeri atas biaya kerajaan, sehingga kemampuannya mungkin sudah setara dengan pendekar Bu Kek Siansu dari China dalam cerita komik Khoo Ping Ho. Dosomuko memilih untuk bersembunyi karena takut nggak bisa menjawab kalau Kumbo Karno marahnya pakai bahasa Inggris. Disuruhnya patih Prahasto meredam kemarahan Kumbo Karno.
“Alamak, dia yang berbuat kok gue yang udah mau pensiun dari wayang ini disuruh ngadepin...” Prahasto nggrundel dalam hatinya.
Akhirnya, dengan agak takut-takut tapi berusaha pede, Patih Prahasto menghadapi dan membujuk Kumbo Karno
"Anakku Kumbo Karno, walaupun ente marah-marah, tapi ente harus ingat satu hal. Ente adalah wayang yang sakti mandraguna. Bumi saja bisa ente telan bila ente mau. Tapi ente juga harus inget pada wong (wayang) cilik yang tak bersalah, yang juga bisa jadi korban kemarahan ente, jika ente tak mau mengendalikan diri?“ Prahasta memulai diplomasinya.
“Secara badaniah, ente memang wayang raksasa. Tapi ane tahu, jiwa ente adalah satria sejati, maka berpikir dan bertindaklah sebagai satria yang selalu melindungi wong (wayang) cilik... Untuk urusan kematian Gunawan, biarlah nanti DPW (Dewan Perwakilan Wayang) membentuk Pansus untuk menyelesaikannya, mumpung para anggota DPW yang baru dilantik masih hoby membentuk Pansus.......” bujuk Prahasto.
”Lha, ane kan jagoan di kampung ini, kalo ane diem-diem aja, ntar publik menilai ane sebagai jagoan wayang yang tidak propesional dong Pak Patih,” kata Kumbo Karno
”Ah, ente kaya nggak tau aja, rakyat kita kan masih bodo-bodo, ntar kita bikin masalah ini jadi tambah ruwet dan membingungkan. Akhirnya rakyat akan bosan dengan sendirinya dan melupakan masalah ini, gitu aja kok repot.” jawab Prahasta sambil mengedip-ngedipkan sebelah matanya.
”Kalo ente mau nurut untuk duduk manis aja, ntar ente dikasih jabatan sebagai Panglima TKW (Tentara Kerajaan Wayang), mau nggak.....?” lanjut Prahasto setengah berbisik karena takut didengar oleh KPK.
”Lha kalo ketahuan gimana dong...?” tanya Kumbo Karno.
”Santai aja lageee...... paling-paling dipenjara sebagai formalitas. Karena ente orang terkenal dan banyak duit, ente kan bisa dapat berbagai fasilitas mewah di dalam lapas. Nggak ada yg nggak bisa diatur di Republik Wayang kita ini....” jelas Prahasto mencoba meyakinkan Kumbo Karno.
”Ngawur aja sampeyan itu Pak Patih, ane ini ksatria sejati, jangan dipaksa untuk melakukan hal-hal yang melawan hukum. Kalo ane ngikut sampeyan, ntar pak dalang dan penonton bisa marah. Kalo tetep maksain, ntar sampeyan tak sunati lagi lho.....” Kumbo Karno mencoba mempertahankan idealismenya sebagai ksatria.
”Ya...... terserah ente aja, yang penting ane kan udah menyampaikan keinginan abang ente yang jadi penguasa di republik ini.” akirnya Prahasto kehabisan akal.
”Oke lah kalo beg... beg.... begi tu.....” Kumbo Karno menjawab pake gayanya Warteg Boys. ”Ane nggak akan melanjutkan pemberontakan ini, tapi ane juga nggak mau lagi bertemu Mas Dosomuko dan ikut-ikutan ngurusin republik yang bobrok ini.”
Begitulah kira-kira script rekaman pembicaraan antara Patih Prahasto dan Kumbo Karno yang berhasil disadap oleh aparat intelijen dan diperdengarkan di depan Mahkamah Konstitusi serta disiarkan langsung ke seluruh pelosok Kerajaan Alengko.
Kumbo Karno yang gagah perkasapun ternyata akhirnya luluh dalam bujukan (tidak diketahui apakah Patih Prahasto menyuap Kumbo Karno atau tidak). Akhirnya Kumbo Karno menghentikan niatnya, dan sejak saat itu tak mau lagi melihat polah tingkah Dosomuko serta memilih untuk menyingkir, bertapa tidur di kampungnya Panglebur Gongso. Seolah-olah Kumbo Karno frustasi atau mutung menghadapi kenyataan yang ada. Bertahun-tahun lamanya ia tidur, nggak bangun-bangun hingga dalang menyelesaikan pertunjukannya.
Sebagian orang menyebut Kumbo Karno seorang ksatria sejati yang dalam visi dan misinya untuk memberantas kejahatan, masih dapat menyadari kewajibannya untuk mengutamakan kepentingan wong cilik. Tapi ada pula yang menilainya pengecut, merelakan idealismenya mati konyol hanya karena bujukan pejabat yang mengatasnamakan etika dan kepentingan wong cilik. Ia juga dianggap egois karena tak berbuat sesuatu melihat kejahatan merajalela di depan matanya. Tapa tidurnya dianggap lambang sikap apatis kronis yang tak bertanggung jawab. Sikap yang bahkan sangat merugikan bangsa dan negara, atau organisasi yang telah membesarkannya dan sebenarnya ingin dibelanya.
Cerita dalam pewayangan adalah pralambang dari tata nilai yang berlaku di alam kehidupan manusia. Dan segala bahasa yang digunakan di dalamnya adalah juga bahasa pralambang. Tidurnya Kumbo Karno mungkin tidak secara harfiah yang berarti ia menggeletak ngorok di atas spring bed dan enak-enak bermimpi sambil ngiler. Tidurnya sang ksatria raksasa, Kumbo Karno, dapat berarti tidurnya sebuah cita-cita besar atau idealisme demi menjaga kepentingan yang lebih besar, walaupun sikap yang diambil itu tidak dapat mengatasi permasalahan akibat keangkara murkaan, bahkan dapat dikatakan sebagai sebuah pembiaran, yang apabila dilakukan dengan sengaja dapat merupakan sebuah pelanggaran HAM.
Di alam nyata kita sehari-hari yang saat ini banyak diwarnai oleh kesemrawutan di berbagai aspek kehidupan, banyak Kumbo Karno – Kumbo Karno yang tergerak jiwa ksatrianya melihat berbagai penyimpangan dan kekeliruan yang terjadi di sekelilingnya. Mereka mencoba untuk mendeklarasikan perang terhadap penyimpangan-penyimpangan yang telah mengakar di hampir semua sub-sistem kehidupan kemasyarakatan dan membuat semakin lebarnya kesenjangan antara wong cilik dengan pejabat, karena para pejabat telah merasa nyaman dengan kekeliruan yang selama ini tersembunyikan dengan rapi, namun secara perlahan tapi pasti menggerogoti keseluruhan sistem kemasyarakatan.
Sama seperti Kumbo Karno di cerita Romoyono, Kumbo Karno - Kumbo Karno modern pun banyak yang mengalami nasib serupa, yaitu usahanya terhenti oleh bujukan-bujukan atau ketakutan yang berkedok menjaga etika dan mengedepankan kepentingan publik. Akhirnya Kumbo Karno - Kumbo Karno itupun merasa frustasi dan memilih untuk bersikap apatis atas merajalelanya penyimpangan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Yang lebih menyedihkan adalah munculnya tudingan pengecut atau pecundang sebagai akibat dipilihnya sikap apatis oleh Kumbo Karno, sementara orang-orang yang tidak pernah berusaha dan berbuat tetap merasa nyaman hidup di tengah-tengah kebobrokan. Kelompok yang terakhir ini justru merasa bangga karena merasa berhasil ”menjaga etika” sehingga tidak menyakiti perasaan siapapun juga.
Terdapat perbedaan antara Kumbo Karno, adiknya Dosomuko, dalam kisah pewayangan dengan Kumbo Karno modern yang tidak berwujud raksasa dan digerakkan dibawah penerangan lampu senthir. Kalau Kumbo Karno wayang memang diciptakan oleh pengarangnya sebagai seorang ksatria sejati sejak masih menjadi kulit kambing (bahan dasar wayang), tetapi Kumbo Karno - Kumbo Karno modern justru banyak yang hanya berpura-pura sebagai ksatria yang tiba-tiba muncul dengan berbagai latar belakang. Mereka bisa muncul ketika sifat asli angkara murkanya sudah tidak mendapatkan tempat lagi di tengah-tengah publik, atau ketika terbentur suatu masalah yang diyakini akan menjadi bencana baginya, atau ketika sudah merasa kenyang dengan hasil keangkara murkaannya di masa lalu.
Kumbo Karno - Kumbo Karno instant yang bermunculan seperti produk mie inilah yang sebenarnya lebih berbahaya daripada Dosomuko itu sendiri. Mereka menjelma menjadi ksatria hanya untuk menutupi keangkara murkaannya atau minimal menutupi pembiaran terjadinya keangkara murkaan di masa lalu sambil ikut menikmati kenyamanannya, sehingga di akhir masa pengabdiannya akan mendapatkan predikat ksatria yang membela wong cilik. Ada juga Kumbo Karno - Kumbo Karno instant yang muncul karena belum mendapatkan kesempatan untuk menjadi Dosomuko, pura-pura memerangi keangkara murkaan dengan kedok memperjuangkan kepentingan wong cilik. Kemudian ketika mereka sudah di anggap sebagai pahlawan yang telah membela kebenaran, maka terbukalah kesempatan mendapatkan kedudukan dan pada akhirnya tingkah lakunya justru melebihi Dosomuko itu sendiri.
Mudah-mudahan ditengah-tengah harapan untuk menuju kehidupan yang lebih baik di semua sub-sistem kemasyarakatan, akan muncul Kumbo Karno sejati yang merelakan dirinya berkorban demi memerangi keangkara murkaan dan penyimpangan-penyimpangan. Bahkan kita berharap muncul Kumbo Karno yang tidak mudah frustasi, yang konsisten, yang tidak apatis serta lebih ksatria dibandingkan dengan adiknya Dosomuko. Jangan sampai yang muncul justru Kumbo Karno - Kumbo Karno instant yang oportunis dan munafik.
Wallahu’alam bis shawab...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H