”Ya...... terserah ente aja, yang penting ane kan udah menyampaikan keinginan abang ente yang jadi penguasa di republik ini.” akirnya Prahasto kehabisan akal.
”Oke lah kalo beg... beg.... begi tu.....” Kumbo Karno menjawab pake gayanya Warteg Boys. ”Ane nggak akan melanjutkan pemberontakan ini, tapi ane juga nggak mau lagi bertemu Mas Dosomuko dan ikut-ikutan ngurusin republik yang bobrok ini.”
Begitulah kira-kira script rekaman pembicaraan antara Patih Prahasto dan Kumbo Karno yang berhasil disadap oleh aparat intelijen dan diperdengarkan di depan Mahkamah Konstitusi serta disiarkan langsung ke seluruh pelosok Kerajaan Alengko.
Kumbo Karno yang gagah perkasapun ternyata akhirnya luluh dalam bujukan (tidak diketahui apakah Patih Prahasto menyuap Kumbo Karno atau tidak). Akhirnya Kumbo Karno menghentikan niatnya, dan sejak saat itu tak mau lagi melihat polah tingkah Dosomuko serta memilih untuk menyingkir, bertapa tidur di kampungnya Panglebur Gongso. Seolah-olah Kumbo Karno frustasi atau mutung menghadapi kenyataan yang ada. Bertahun-tahun lamanya ia tidur, nggak bangun-bangun hingga dalang menyelesaikan pertunjukannya.
Sebagian orang menyebut Kumbo Karno seorang ksatria sejati yang dalam visi dan misinya untuk memberantas kejahatan, masih dapat menyadari kewajibannya untuk mengutamakan kepentingan wong cilik. Tapi ada pula yang menilainya pengecut, merelakan idealismenya mati konyol hanya karena bujukan pejabat yang mengatasnamakan etika dan kepentingan wong cilik. Ia juga dianggap egois karena tak berbuat sesuatu melihat kejahatan merajalela di depan matanya. Tapa tidurnya dianggap lambang sikap apatis kronis yang tak bertanggung jawab. Sikap yang bahkan sangat merugikan bangsa dan negara, atau organisasi yang telah membesarkannya dan sebenarnya ingin dibelanya.
Cerita dalam pewayangan adalah pralambang dari tata nilai yang berlaku di alam kehidupan manusia. Dan segala bahasa yang digunakan di dalamnya adalah juga bahasa pralambang. Tidurnya Kumbo Karno mungkin tidak secara harfiah yang berarti ia menggeletak ngorok di atas spring bed dan enak-enak bermimpi sambil ngiler. Tidurnya sang ksatria raksasa, Kumbo Karno, dapat berarti tidurnya sebuah cita-cita besar atau idealisme demi menjaga kepentingan yang lebih besar, walaupun sikap yang diambil itu tidak dapat mengatasi permasalahan akibat keangkara murkaan, bahkan dapat dikatakan sebagai sebuah pembiaran, yang apabila dilakukan dengan sengaja dapat merupakan sebuah pelanggaran HAM.
Di alam nyata kita sehari-hari yang saat ini banyak diwarnai oleh kesemrawutan di berbagai aspek kehidupan, banyak Kumbo Karno – Kumbo Karno yang tergerak jiwa ksatrianya melihat berbagai penyimpangan dan kekeliruan yang terjadi di sekelilingnya. Mereka mencoba untuk mendeklarasikan perang terhadap penyimpangan-penyimpangan yang telah mengakar di hampir semua sub-sistem kehidupan kemasyarakatan dan membuat semakin lebarnya kesenjangan antara wong cilik dengan pejabat, karena para pejabat telah merasa nyaman dengan kekeliruan yang selama ini tersembunyikan dengan rapi, namun secara perlahan tapi pasti menggerogoti keseluruhan sistem kemasyarakatan.
Sama seperti Kumbo Karno di cerita Romoyono, Kumbo Karno - Kumbo Karno modern pun banyak yang mengalami nasib serupa, yaitu usahanya terhenti oleh bujukan-bujukan atau ketakutan yang berkedok menjaga etika dan mengedepankan kepentingan publik. Akhirnya Kumbo Karno - Kumbo Karno itupun merasa frustasi dan memilih untuk bersikap apatis atas merajalelanya penyimpangan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Yang lebih menyedihkan adalah munculnya tudingan pengecut atau pecundang sebagai akibat dipilihnya sikap apatis oleh Kumbo Karno, sementara orang-orang yang tidak pernah berusaha dan berbuat tetap merasa nyaman hidup di tengah-tengah kebobrokan. Kelompok yang terakhir ini justru merasa bangga karena merasa berhasil ”menjaga etika” sehingga tidak menyakiti perasaan siapapun juga.
Terdapat perbedaan antara Kumbo Karno, adiknya Dosomuko, dalam kisah pewayangan dengan Kumbo Karno modern yang tidak berwujud raksasa dan digerakkan dibawah penerangan lampu senthir. Kalau Kumbo Karno wayang memang diciptakan oleh pengarangnya sebagai seorang ksatria sejati sejak masih menjadi kulit kambing (bahan dasar wayang), tetapi Kumbo Karno - Kumbo Karno modern justru banyak yang hanya berpura-pura sebagai ksatria yang tiba-tiba muncul dengan berbagai latar belakang. Mereka bisa muncul ketika sifat asli angkara murkanya sudah tidak mendapatkan tempat lagi di tengah-tengah publik, atau ketika terbentur suatu masalah yang diyakini akan menjadi bencana baginya, atau ketika sudah merasa kenyang dengan hasil keangkara murkaannya di masa lalu.
Kumbo Karno - Kumbo Karno instant yang bermunculan seperti produk mie inilah yang sebenarnya lebih berbahaya daripada Dosomuko itu sendiri. Mereka menjelma menjadi ksatria hanya untuk menutupi keangkara murkaannya atau minimal menutupi pembiaran terjadinya keangkara murkaan di masa lalu sambil ikut menikmati kenyamanannya, sehingga di akhir masa pengabdiannya akan mendapatkan predikat ksatria yang membela wong cilik. Ada juga Kumbo Karno - Kumbo Karno instant yang muncul karena belum mendapatkan kesempatan untuk menjadi Dosomuko, pura-pura memerangi keangkara murkaan dengan kedok memperjuangkan kepentingan wong cilik. Kemudian ketika mereka sudah di anggap sebagai pahlawan yang telah membela kebenaran, maka terbukalah kesempatan mendapatkan kedudukan dan pada akhirnya tingkah lakunya justru melebihi Dosomuko itu sendiri.
Mudah-mudahan ditengah-tengah harapan untuk menuju kehidupan yang lebih baik di semua sub-sistem kemasyarakatan, akan muncul Kumbo Karno sejati yang merelakan dirinya berkorban demi memerangi keangkara murkaan dan penyimpangan-penyimpangan. Bahkan kita berharap muncul Kumbo Karno yang tidak mudah frustasi, yang konsisten, yang tidak apatis serta lebih ksatria dibandingkan dengan adiknya Dosomuko. Jangan sampai yang muncul justru Kumbo Karno - Kumbo Karno instant yang oportunis dan munafik.