Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 105 x Prestasi Digital Competition (70 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Film Dokumenter Eksil, Cerita WNI yang Tidak Bisa Pulang

3 Maret 2024   20:32 Diperbarui: 7 Maret 2024   16:06 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eksil, sebuah film dokumenter yang ditulis oleh Lola Amaria dan Gunawan Rahardja yang entah kenapa daku (saya) paksakan untuk menontonnya. Padahal untuk menonton film ini daku merogoh kocek cukup dalam Rp.75.000, -. di Plaza Senayan (3/3/2024).

Film berdurasi 120 menit ini sebetulnya sudah tayang sejak 1 Februari 2024 di bioskop-bioskop seluruh Indonesia, tapi daku baru berkesempatan pada minggu pertama bulan maret ini.

Daku merasakan aneh, hanya tinggal satu bioskop Cinema XXI di Jakarta yang menayangkan dan bisa bertahan selama hampir 2 minggu sendirian di dalam daftar 21cineplex.com.

Bisa jadi karena segmen penonton Cinema XXI Plaza Senayan yang memiliki minat terhadap film jenis ini, yakni dokumenter. Saat daku menonton film ini, Minggu, 3 Maret 2024, ada 4 baris terisi menandakan bahwa film ini tidak kurang peminatnya. 

Terlihat dari penampilan para penonton merupakan warga menengah keatas dan intelektual, tapi daku tidak melihat ada Anak Baru Gede (ABG). Mungkin ABG lebih menyukai film komedi dan horor.

Film ini bercerita tentang kesaksian Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi stateless akibat peristiwa berdarah G30 S/PKI di tahun 1965. 

Sampai saat ini bila kita menyebut 3 huruf ini "PKI" merupakan hal yang tabu. Ketiga huruf itu syarat politik dan peristiwa berdarah dimasa lalu, yang acapkali digunakan saat kampanye untuk menyerang lawan politik.

Buat diri ku pun ketiga huruf itu menyimpan memori kelam keluarga, di mana Mbah Kakung diculik PKI saat ibu ku masih bayi merah. Almarhum tidak tahu rimbanya dan kuburnya di mana setelah diculik.


Tapi, daku pun tetap ingin tetap menonton film ini, karena mengingatkan ku pada film "Surat dari Praha" yang pernah daku tonton. Kepalaku sudah terbuka bahwa banyak orang tak berdosa yang menjadi korban akibat dilabeli "PKI".

Mereka dalam film dokumenter ini adalah para Mantan Mahasiswa Ikatan Dinas (MAHID) yang terdampar lebih dari 30 tahun di beberapa negara Eropa, dan tidak bisa pulang ke Indonesia karena keputusannya menolak menandatangani sumpah setia kepada pemerintahan orde baru "Soeharto" dan pernyataan mengutuk Bung Karno saat itu.

10 MAHID menceritakan pengalamannya, dari Asahan Aidit, Chalik Hamid, Djumaini Kartaprawira, Kuslan Budiman, Sardjio Mintardjo, Sarmadji, Hartoni Ubes, I Gede Arka, Tom Iljas, dan Waruno Mahdi. Mereka mewakili ribuan eksil yang berada di luar negeri baik yang masih hidup dan sudah meninggal.

Film dimulai dengan scene pemandangan di Indonesia, dari sudut pedesaan hingga hiruk pikuk di Jakarta. Scene kemudian mengarah ke dalam sebuah terowongan di Jakarta lalu keluar ke jalan raya di negara Cekoslowakia.

Lalu, scene berlanjut dengan satu per satu eksil menyampaikan kisahnya, mengenai apa yang terjadi dan pamahaman dari sudut pandang mereka, serta rasa rindunya terhadap tanah air.

Kehidupan mereka di beberapa negara ketika menjadi eksil dari Albania, Belanda, Cekoslowakia, Cina, Jerman, Swedia, Uni Soviet, dan Romania terkuak.

Sebetulnya mereka dikuliahkan di luar negeri yang nantinya diharapkan kembali dan menjadi fondasi pembangunan Indonesia kedepan oleh Bung Karno.

Kita akan diajak untuk mengetahui kenapa mereka dengan jiwa muda dan harga diri, menolak lupa bahwa dirinya bisa berkuliah di Eropa karena ada campur tangan kebijakan Presiden RI Pertama Soekarno berupa beasiswa MAHID.

Atas apa keputusan yang mereka buat saat masih berjiwa muda inilah, akhirnya mereka tidak bisa pulang dan menjadi seseorang yang tidak memiliki kewarganegaraan dalam beberapa dekade.

Awalnya, mereka tidak berpikir terlalu jauh nasib mereka di perantauan akan tak menentu, sepertinya tidak ada satu pun dari mereka menyangka bahwa mereka akan "terasing" selama itu. 

Mereka tak mengira Presiden RI kedua "Soeharto" dapat mempertahankan kekuasaan hingga 32 tahun. Para MAHID ini hanya mengira 10-12 tahun, melihat sejarah junta militer di negara lain.

Penonton akan disuguhkan bagaimana kondisi mereka saat pergolakan itu terjadi. Hidup mereka tak mudah, bahkan sesama mahasiswa Indonesia di luar negeri melakukan penindasan karena dianggap kaum kiri.

Dari cerita mereka, ada yang tinggal di kamp bagi para eksil di China, ada yang harus dikirim sendirian ke desa terpencil yang jaraknya 600 km dari Moskow. Bahkan ada yang sakit jiwa dalam kamp.

Hidup mereka pun dimata-matai, bahkan ada yang berpacaran dengan mata-mata yang bertugas untuk melaporkan gerak-gerik dirinya. 

Terdapat pengakuan bahwa karena peristiwa sebelumnya dimana mereka dimata-matai membuat psikologis sampai sekarang selalu berpikir begitu, padahal sudah tidak logis.

Film dokumenter "Eksil" menampakkan trauma dan rasa sakit hati mereka karena mendapatkan ketidakadilan ketika hak dasar sebagai warganegara terenggut.

Rasa rindu kampung terlihat, beberapa eksil sudah sempat mengunjungi Indonesia. Diantara mereka ada yang mencari suaka dan sudah menjadi warga negara lain agar tidak stateless. 

Bahkan demi bisa ke Indonesia, di mana sebelumnya bersikukuh untuk tidak menjadi warga negara lain, akhirnya melawan kata hati menjadi warga negara Belanda yang dia anggap sebagai penjajah.

Film ini juga menunjukkan kecintaan dan kerinduan mereka terhadap tanah air. Diantara mereka ada yang menyediakan tempat tinggal bagi mahasiswa Indonesia yang study, dan ada juga yang menanam pohon bambu dan pisang di pot agar bisa ingat selalu dengan Indonesia.

Lola Amaria mulai menggarap film dokumenter sejak 2015 yang rampung pada 2022. Narasumber dari film dokumenter ini pun sudah ada yang meninggal.

Film ini layak ditonton, karena film dokumenter ini bisa menjadi sudut pandang lain dari peristiwa berdarah yang terjadi pasca 30 September 1965. 

Presiden RI, Jokowi pun secara simbolik (27/6/2023) telah bertemu dengan 2 orang perwakilan eksil dan menawarkan kepada mereka apakah mau jadi Warga Negara Indonesia (WNI) kembali?

Rate : 8/10

_

Salam hangat, Blogger Udik dari Cikeas,

Bro Agan aka Andri Mastiyanto

Threads @andrie_gan I Tiktok @andriegan I Twitter @andriegan I Instagram @andrie_gan I Blog - kompasiana.com/rakyatjelata


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun