Bagi para pecinta sejarah dan budaya nama situs Gunung Padang sudah begitu sangat dikenal. Situs ini menjadi pusat perhatian dunia ketika Graham Hancock membahasnya dalam film dokumenter Ancient Apocalypse di platform streaming Netflix.Â
Dalam film dokumenter tersebut Graham Hancock memaparkan sejarah di balik munculnya situs Gunung Padang. Pria ini merupakan penulis sekaligus jurnalis asal Inggris.Â
Gara-gara tayangan Neflix ini daku (saya) ngebet banget ke Gunung Padang. Sebelumnya daku telah ke Gunung Padang di tahun 2012 tapi hanya mendapatkan keindahan dan kesejukannya saja.
Banyak tulisan yang telah membahas tentang situs megalitikum ini dan berbagai teori dan penelitian diungkapkan dan sudah daku baca. Tapi daku ke sana bukan untuk itu, tapi apa yang bisa daku lihat secara logis.
Kali ini (11 November 2023) daku bersama sekitar 40 traveller yang dipandu oleh Walkindies menjelajahi situs megalitikum ini. Apa saja yang daku lihat dan perhatikan di sana?
1. Memang Man Made (Buatan Manusia)
Saat menjejak step terakhir tangga sebelum masuk ke teras 1 Gunung Padang. Terdapat susunan bebatuan yang terbilang rapi horizontal menyusun menopang tanah di teras 1, itu jelas sekali man made (buatan manusia).
Batuan tersebut columnar joint yang merupakan batuan alami yang keluar dari perut bumi. Umumnya secara alami batuan itu akan berada pada posisi vertikal.Â
Akan tetapi di Gunung Padang yang daku lihat, batuan itu berada pada posisi horizontal. Daku menyimpulkan bahwa ada campur tangan manusia di dalam penyusunan struktur bangunan. Yang jadi pertanyaan bagaimana orang-orang memindahkannya? saat itu bisa jadi belum ada alat berat, ini uniknya.
Batu-batu itu jelas sekali memang produk alam tidak bisa dibantah, ada peran manusia memindahkan dan menatanya entah bagaimana caranya.Â
Daku mencoba berdiri dipinggir teras 1, memandang ke bawah, terlihat kecuramannya jelas tegas dan tidak landai. Ada perbedaan ketinggian dengan kontur yang tidak alami.
Itu pun terlihat di dinding teras 2, kalau yang ini tidak terbantahkan lagi. Kalau ini masih dibantah, ya sudahlah mungkin dia orang yang senang berdebat.
Begitu pun saat akan turun dari situs Gunung Padang melalui tangga buatan di sebelah kiri situs. Pandangan daku saat menuruni tangga sesekali menoleh ke kiri. Daku melihat susunan batu tersusun rapi dibalik batang-batang bambu dan semak belukar, jelas man made.
_
2. Budaya Menghadap ke GunungÂ
Dari manakah budaya bangunan atau perilaku menghadap gunung? bila kita membaca referensi mengenai bangunan bersejarah dan budaya akan menemui tempat peribadatan, hunian istana, kegiatan budaya menghadap gunung dan itu tersebar di Jawa dan Bali.
Contoh nyata ialah garis imajiner sumbu filosofi Yogyakarta. Garis Imajiner Yogyakarta adalah garis khayal/imajiner yang membujur dari arah selatan ke utara, yang ditarik dari Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi sebagai porosnya. Keraton Yogyakarta menghadap ke Gunung Merapi.
Budaya menghadap ke gunung juga dapat dilihat pada Pura Lempuyang di Bali. Orientasi Pura Lempuyang ke arah Timur dengan Hulu sumbu bumi adalah Gunung Lempuyang (arah Timur Pura).Â
Pada Pura Poten, arah orientasi juga begitu, Pura di Jawa juga lebih mengutamakan arah letak Gunung sebagai Hulu, maka suku Tengger meletakkan gunung Bromo sebagai orientasi ritual.
Pada Pura Giri Arjuna, orientasi sebelas dua belas dengan garis imajiner sumbu filosofi Yogyakarta yang menumpuk yaitu sumbu Bumi (Gunung-Laut).
Ternyata tidak hanya di Jawa tapi budaya menghadap ke gunung ada di Sumatera Barat. Terdapat gugusan batu menhir dengan diameter sekitar 3 meter dan tinggi 4 meter di situs Bawah Parit, Jorong Koto Tinggi 2, Nagari Maek, Kecamatan Bukik Barisan.Â
Situs ini berlokasi di perbukitan di pedalaman Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Situs ini berada pada ketinggian 350 meter dari permukaan laut ini. Arah hadap menhir di Maek yang mengarah ke Gunung Sago atau tenggara-barat laut.Â
Tentu budaya menghadap ke arah gunung mengikuti budaya sebelumnya. Jadi arah hadap ke gunung bisa jadi sudah ada sebelum pengaruh agama Hindu dan Budha datang ke Indonesia.
Pada saat daku ke Gunung Padang, Pak Nanang penduduk lokal yang menjadi juru edukasi di situs ini menerangkan bahwa Gunung Padang menghadap Gunung Gede.
Berarti tuntunan tempat peribadatan atau hunian raja untuk menghadap gunung ajarannya lebih tua dari situs Gunung Padang. Lapisan pertama Gunung Padang yang saat ini kita lihat berumur 500 SM sedangkan lapisan lebih tua berumur di atas 2000 SM.
_
3. Komposisi Ruang Mirip Struktur PuraÂ
Gunung Padang merupakan situs megalitikum yang berbentuk punden berundak. Situs ini terdiri dari 5 teras di mana dari teras 1 ke teras-teras berikutnya posisinya lebih tinggi.Â
Saat kaki melangkah memasuki teras 1, tertampak tumpukan batu membentuk pola dan tata ruang. Di sebelah kanan terdapat pohon besar, entah sudah berapa umurnya. Daku yakin tidak berusia ribuan tahun, apalagi sudah tumbuh saat Gunung Padang dibangun.
Teras 1 disebut teras penyambutan. Di dalam teras 1 terdapat 2 ruang, yang sebelah kiri ruang berupa kotak dengan 2 menhir sebagai pintu masuk dan 2 menhir sebagai pintu keluar mengarah ke gundukan batu andesit.Â
Pintu masuk dan keluar tidak satu garis lurus. Pak Nanang menyembut ruangan ini ini jadikan ruang meeting/pertemuan.
Dalam ruang yang berbentuk persegi panjang yang dibatasi dengan menhir-menhir terdapat sebuah batu besar berwarna kecoklatan. Lantainya dari susunan batu andesit. Di belakang ruang kotak ini terdapat 2 batu gamelan seukuran alat musik kecapi, apabila dipukul akan mengeluarkan suara.
Gundukan di sebelah ruang kotak diperkirakan berbentuk step piramid kecil, namun saat ini sudah runtuh. Bahkan ada yang menyebutkan menjadi pintu masuk keruangan bawah tanah.
Saat akan menuju Teras 2 terdapat dinding tinggi yang ditengahnya terdapat anak tangga yang saat ini tidak diperbolehkan dipijak. Dinding ini tersusun dari columnar joint dengan arah horizontal bertumpuk.
Pada Teras 2 yang disebut mahkota dunia terdapat pohon besar trunyan yang dikelilingi batu columnar joint yang berserakan. Dari posisi ini kita dapat melihat dengan jelas Gunung Gede. Udara di bawah pohon ini begitu segar, dahulunya diperkirakan sebagai menara pandang.
Di teras ini terlihat jumlah menhir tapi tidak terlihat bentuk ruang kotak. Ada yang unik, salah satu batu terdapat guratan menyerupai senjata khas Sunda yakni kujang. Di teras ini pun terdapat kursi batu yang memiliki sandaran menghadap ke utara.
Teras 3, bila diperhatikan terdapat ruang kotak yang dikelilingi menhir di tiap sisinya. Batuan lain yang berada di teras ini tidak jelas bentuknya, ada yang berdiri tegak sebagian lagi melintang.
Teras 4, di teras ini juga terdapat ruang kotak yang dikelilingi menhir. Di bagian tengah ruang terdapat menhir yang menyebutnya sebagai 'batu kanuragan' dengan ada titik dan garis di tengahnya. Pada teras ini layaknya tanah lapang dengan lebih sedikit serakan batu dibandingkan teras 1, 2 dan 3.
Di teras tertinggi ini yaitu teras 5 terdapat beberapa susunan batuan andesit yang mengelompok. Ada satu susunan batu yang berbentuk kotak.Â
Di dalam kotak terlihat batuan tersusun tidur menyerupai alas, tiap sisi dikelilingi menhir. Terdapat cekungan bulat untuk sandaran kepala yang menghadap ke arah Gunung Gede. Di kotak itu bagi warga lokal disebut sebagai singgasana Raja Siliwangi.Â
Bila memperhatikan susunan teras-teras di Gunung Padang, entah kenapa mirip sekali dengan komposisi ruang di pura-pura dan istana yang berada di Bali dan Jawa.
Tentu komposisi bangunan budaya akan berubah sesuai zamannya. Tapi akan memiliki unsur kesamaan yang digunakan oleh generasi setelahnya.
Pada umumnya struktur atau denah Pura di Bali yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam).
Ada yang terdiri atas tiga bagian, yaitu: jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam). Terdapat juga yang terdiri dari tujuh bagian/mandala seperti di Pura Penataran Agung Besakih.Â
Tempat paling suci terletak di bagian paling belakang. Bila melihat kecenderungannya antara halaman pertama ke halaman berikutnya posisinya makin tinggi. Sebuah Pura di kelilingi dengan tembok sebagai batas pekarangan yang disakralkan. Mirip sekali dengan komposisi ruang di Gunung Padang.
Sama dengan istana/keraton di Jawa yang terdiri dari alun-alun (tempat rakyat/prajurit berkumpul), pagelaran (tempat para abdi dalem menghadap raja), siti hinggil (tanah yang tinggi/tempat resmi kedudukan raja), kamandungan lor, srimaganti dan kedhaton (tempat tinggal Raja).Â
_
Situs megalitikum Gunung Padang merupakan tempat yang menarik dikunjungi oleh pecinta sejarah dan budaya. Namun harus menyiapkan kondisi fisik dan meningkatkan ketahanan pada area kaki. Akan ada ratusan anak tangga untuk menuju ke sana, tapi setelah sampai puncak, Anda akan menikmati suasananya.
**
Salam hangat, Blogger Udik dari Cikeas,
Bro Agan aka Andri Mastiyanto
Threads @andrie_gan I Tiktok @andriegan I Twitter @andriegan IÂ Instagram @andrie_gan I Blog - kompasiana.com/rakyatjelata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H