Kriuknya Karak Bratan Mbah Sastro
"Nak belikan Ibu sebungkus Karak ya, sedang di Solo kan !.." pinta itu akan terdengar bagi seseorang yang keturunan Jawa jika sedang berada di Solo. Karak merupakan cemilan otentik Solo yang harus dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Ada celetukan di Bandara saat tiga puluhan orang ini akan kembali ke Jakarta, dari seorang peserta wanita Jelajah Gizi pada peserta lainnya "Kenapa Kardus itu dipeluk ?", pria yang ditanya menjawab "ini kardus isinya Karak Bratan, pesanan Ibu Ku".
Sang penanya berceletuk kembali "Ibunya lebih mentingin sampe rumah Karaknya daripada anaknya...", ia celetuk sambil tertawa simpul.
Rudi Hermawan pengelola usaha Karak Bratan, merupakan penerus generasi ketiga Karak Bratan Mbah Sastro yang telah berjualan sejak awal kemerdekaan.Â
Pria bersahaja ini awalnya tidak berjualan Karak, dari 1990 s/d 1994 memproduksi batik, karena bangkrut, ia lalu melanjutkan usaha keluarga memproduksi Karak. Cemilan ini ternyata sudah terbang di ekspor ke Singapura dan Malaysia.
Ia bercerita dalam proses membuat karak ini begitu sederhana, dengan bahan beras dengan campuran sedikit ketan yang dikukus dibumbui bawang dan garam. Bahan-bahan ini ditumbuk hingga halus kemudian diiris tipis-tipis menggunakan golok yang panjang.
Kemudian, irisan karak ini dijemur dengan terik matahari hingga benar-benar kering, lalu baru digoreng. Butuh waktu 40 menit, maka jadilah karak yang gurih dan renyah.
Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD - Pakar Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor membongkar kandungan gizi Karak Bratan yang renyah, bila kita berada di Jawa Barat disebut gendar.