Para pecinta film pasti pernah melihat tayangan di televisi yang ngeblurkan anggota tubuh aktor / aktris film. Tidak hanya aktris acapkali olahragawan juga kena di blur anggota tubuhnya. Lalu akan ada aja berprasangka "ini mah kerjaan Lembaga Sensor Film (LSF)". Tapi apakah benar begitu ?
Daku (saya) pun berfikir begitu juga sebelumnya, tapi akhirnya daku mengetahuinya ketika anjangsana ke kantor Lembaga Sensor Film (LSF). Penjelasan ini tersebut disampaikan kepada 20 kompasianer dari Komunitas KOMIK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub) yang hadir di ruang rapat LSF Kemdibudristek lantai 6 Gedung F, pada Kamis, 30 Juni, 2022.
Anjangsana komunitas KOMIK ternyata mendapatkan sambutan yang baik . LSF menghadirkan Rommy Fibri Hardayanto (Ketua LSF), Tri Widyastuti Setyaningsih, M.Sn (Ketua Subkomisi Penyensoran), Nasrullah (Ketua Komisi I), Roseri Rosdy Putri, M.Hun (Anggota/Sekretaris Komisi II), Andi Muslim, S.Ds., M.Si (Anggota/Ketua Subkomisi Media Baru).
_
Ketua LSF Concern Budaya Sensor MandiriÂ
Ketua LSF, Rommy Fibri Hardiyanto menjelaskan langsung kepada kami para kompasianers bahwa LSF sangat menghormati kekayaan intelektual.Â
Saat ini LSF sudah bergerak moving forward amat berbeda dengan saat masih bernama Badan Sensor Film (BSF). Dahulu masih ada nuansa diktator dan penafsir kebenaran tunggal. Tentunya budaya di LSF berubah karena teknologi film juga berubah, dan Indonesia merupakan negara demokratis.
Tambahnya, perkembangan teknologi film sekarang sudah digital, akhirnya LSF tidak memegang film tapi lebih kepada melakukan pencatatan menit adegan film yang dianggap melanggar ketentuan, lalu catatan itu diberikan kepada pemilik film. Catatan ini tentunya berdasarkan aturan yang ada. Catatan itu nantinya pemilik film yang mengolahnya.
"Jadi bila ada tayangan televisi di blur jangan dianggap perbuatan LSF, karena mau motong atau shooting ulang diserahkan ke pemilik film. Ada beberapa tayangan yang di blur bukan dari catatan LSF, tapi inisiatif dari pemilik film ditakutkan menimbulkan kegaduhan" tegas Rommy Fibri di kantor LSF (30/6/2022)
Perkembangan demokrasi sekarang, LSF memahami dan mengormati kekayaan intelektual. Film merupakan milik pembuat film dan LSF mengembalikan ke pemilik film.Â
Ketua LSF mengingatkan bahwa saat ini terjadi tsunami tontonan dan hiburan, untuk itu budaya sensor mandiri perlu digalakkan dan LSF meminta bantuan para Kompasianers yang hadir untuk mengedukasi masyarakat.
Budaya Sensor Mandiri maksudnya membudayakan agar masyarakat dapat memilah dan memilih tontonan sesuai penggolongan usia nya.
"Masih banyak orang tua sering kali khilaf, menggandeng anaknya untuk menonton film dewasa di bioskop. Itu kenapa budaya sensor mandiri perlu kita galakkan. Sejatinya banyak masyarakat secara edukasi paham terhadap hal ini, tapi pada saat menonton lupa" ungkap Rommy
_
Mengenal Lembaga Sensor Film (LSF)
Nasrullah (Ketua Komisi I) yang sekaligus perwakilan dari bidang agama memberikan pemahaman bahwa perfilman diatur dalam Undang-Undang 33 tahun 2009 tentang perfilman, dan unsur sensor film diatur didalamnya. Dimana Sensor Film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.Â
Lembaga Sensor Film (LSF) merupakan Lembaga Negara Non Struktural yang independen dalam melaksanakan tugasnya. Setiap keputusan LSF dari kegiatan menilai dan meneliti film harus clear dari intervensi, intimidasi dan campur tangan pihak lain.
LSF sendiri merupakan lembaga yang melakukan penyensoran setiap film dan iklan film serta lembaga-lembaga yang bersifat tetap dan independen yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia berdasarkan PP No.18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film.Â
Dalam negara demokrasi, negara hanya sebagai fasilitator. Kekreativitasan dan kebebasan diberikan sepenuhnya dalam sistem negara demokrasi. Â Namun, tidak berarti bisa sebebas-bebasnya, tetap ada peraturan yang mengatur.
Lembaga independen ini terdiri dari 17 anggota dengan rincian 12 anggota unsur masyarakat dan 5 anggota unsur pemerintah. Untuk unsur pemerintah diatur dalam PP 18 tahun 2014 terdiri atas kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang: a. pendidikan 1 (satu) orang; b. kebudayaan1 (satu) orang; c. komunikasi dan informasi 1 (satu) orang; d. agama 1 (satu) orang; dan e. ekonomi kreatif 1 (satu) orang.Â
Dari 17 anggota tersebut ada 5 pembidangan, berdasarkan UU 33 tahun 2009 terdiri dari pembidangan kebudayaan, Informasi Teknologi, ahli bahasa, ahli komunikasi, dan insan perfilman. LSF tugasnya yaitu menyensor film dan iklan film untuk dipertunjukkan, menilai meneliti kelayakan film.
Prosedur sensor film berdasarkan PP 18 tahun 2014 pasal 24 ayat 2 dilaksanakan sebagai berikut:Â
- Pemilik film dan iklan film mendaftarkan film dan iklan film ke LSF;Â
- Film dan iklan film diteliti dan dinilai serta ditentukan kelayakannya oleh LSF dan dilabeli dengan surat tanda lulus sensor atau tidak lulus sensor;Â
- Film dan iklan film yang tidak lulus sensor dikembalikan kepada pemilik film dan iklan film untuk diperbaiki; danÂ
- Film dan iklan film sudah diperbaiki oleh pemilik film dan iklan film dapat diajukan lagi untuk diteliti dan dinilai kembali oleh LSF.
Film disebut layak berdasarkan penjelasan Nasrullah bila memiliki 5 (lima) hal yang tidak mengandung hal yang sensitif ;
- Tidak mengandung kekerasan yang sadis
- Tidak mengandung pornografi. secara nyata dan berniat mengintimidasi.
- Tidak mengganggu ideologi pancasila
- Tidak menganggu sara
- Tidak menjatuhkan harkat martabat orang.
Bila film itu clear dari 5 (lima) itu maka film itu dianggap LSF layak dipertontonkan. Ketika film berada di LSF apa saja yang dinilai ? ada 5 (lima) yaitu tema, judul, adegan visual, dialog monolog, dan teks terjemahan.
Ketika sudah dinilai layak, maka LSF akan memberikan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Tanda lulus sensor digolongkan berdasarkan usia : semua umur ; usia 13 s/d 16 tahun, usia 17 tahun s/d 20 tahun, dan 21 tahun s/d selanjutnya.
STLS merupakan produk hukum bagi pemilik film dimana tertulis film milik siapa, durasi berapa lama, tayangan peruntukan, dan masa berlakunya. Bagi pihak yang mengedarkan film dan iklan film tanpa mengantongi STLS dapat dikenai sanksi administratif.Â
Sanksi ini diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang mengubah beberapa ketentuan dari UU Perfilman
_
Insan Film dan Pemerintah Terlibat di LSFÂ
Salah-satu anggota LSF yang merupakan insan Film ialah Tri Widyastuti Setyaningsih, M.Sn (Ketua Subkomisi Penyensoran) yang lebih dikenal dengan panggilan Wiwied Setya.
Dirinya telah berkecimpung selama 20 tahun dalam industri film Indonesia dengan profesi sebagai Line/Associate Producer. Ia mengelola berbagai variasi sekala produksi film baik dengan crew dan lokasi dari dalam maupun luar negri.Â
Hingga saat ini, Wiwid sudah menangani puluhan film antara lain: Kartini, Habibie & Ainun, Critical Eleven, The Mirror Never Lies, Opera Jawa, Kapan Kawin?, Denias Senandung di atas Awan, dan lain-lain.
Wiwid menyampaikan informasi LSF berhasil menetapkan materi yang lulus sensor sebanyak 40.638 judul, termasuk film impor yang ditayangkan di layar lebar. Sepanjang 2021, materi sensor dengan peruntukkan penyiaran televisi masih mendominasi, yaitu 38.198 judul, atau 93,99 persen.Â
Pada saat melaksanakan kegiatan penyensoran terdapat 5 (lima) sampai denga 7 (tujuh) anggota yang terlibat di studio penyensoran. Sensor film sendiri merupakan penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film ataupun iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.
LSF juga memiliki anggota keterwakilan pemerintah dari Kominfo, Sub Komisi Media Baru, Andi Muslim, S.Ds., M.Si (Anggota/Ketua Subkomisi Media Baru).Â
Andi membuka informasi bahwa penduduk Indonesia saat ini berjumlah 280 juta jiwa dengan pengguna internet 170 juta jiwa. Berarti sudah 70 % warga mengakses internet.Â
"Konsepnya, karena tontonan sudah tidak terbendung lagi, maka memang investasi ke manusianya. Filter pertama tontonan itu dari lingkungan terkecil yaitu keluarga" Harap Andi di kantor LSF (30/6/2022)
Lanjutnya, komsumsi informasi saat ini terbesar di media sosial, disitu LSF hadir dengan mencerdaskan penonton. Perkembangan teknologi IT hitungannya menit, harapannya LSF senantiasa relevan dengan perkembangan jaman. Untuk itu LSF memiliki Sahabat Sensor Mandiri.
Turut hadir Perwakilan Pemerintah dari Kemendikbudristek, Roseri Rosdy Putri, M.Hun (Anggota/Sekretaris Komisi II)Â menyampaikan prinsipnya semua film-film yang masuk ke LSF dan telah memberikan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) tidak hanya kita lepas, tapi LSF juga ikut memonitor pada saat penanyangan.Â
_
Bila daku perhatikan fungsi blur dari media visual memiliki maksud untuk menghilangkan pesan yang ingin disampaikan kepada audiens. Ada saja kejadian pemilik film atau lembaga penyiaran tetap melakukan blur walaupun tidak mendapatkan catatan LSF. Bisa jadi hal ini mungkin saja takut terkena teguran atau sanksi (dari pihak selain LSF) jika tidak melakukan sensor internal dengan ketat.
Salam Hangat Blogger Udik dari Cikeas
Bro Agan Aka Andri Mastiyanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H