Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 105 x Prestasi Digital Competition (70 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bung! Panggilan yang Perlu Dibangkitkan Kembali

3 November 2021   19:43 Diperbarui: 3 November 2021   20:19 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Awal pemanggilan Bung merupakan panggilan Ibu Fatmawati kepada Soekarno I Sumber Foto : dokpri design by Canva

Panggilan “Bung” mungkin terasa old / tua banget bagi generasi saat ini. Seperti halnya anak-anak generasi sandwitch bila bersosial media dengan menggunakan facebook yang terasa platform yang old school (pantesan ganti nama/rebranding), klo Kompasiana mah belum termasuk !!

Setiap kali kita mendengar panggilan tersebut yang terbayang adalah para pejuang bangsa mengingatkan bait lagu "mari Bung ! rebut kembali". Keengganan anak zaman sekarang menggunakan panggilan ini karena merupakan istilah zaman old, dan dianggap tidak ngehits.

Bila kita menyebut kata Bung ! bagi generasi x, generasi y dan generasi sandwitch yang ada dipikiran ialah Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir dan Bung Tomo. Sebutan "Bung" begitu agung, sehingga memanggil kata "Bung" bagaikan orang Jawa memanggil dengan sebutan Den (Raden) atau Ndoro (Tuan).

Zaman sekarang memang terasa janggal untuk menyebut kata "Bung". Mungkin di Jakarta bila ada kejadian tidak sengaja bertabrakan badan dengan orang lain yang terucap dari orang sekarang  “Mas! / Bang ! jalan lihat-lihat, hati-hati kalau di jalan ya !”

Panggilan "Bung" kelihatannya tergeser oleh panggilan mas atau bang. Nah, penyebutan mas atau bang menunjukkan pengaruh bahasa Jawa dan Sumatera yang kuat. Bisa jadi karena pemimpin Indonesia setelah Bung Karno yakni Pak Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun merupakan keturunan Jawa. 

Dilanjutkan dengan dengan pemimpin selanjutnya sebagian besar wong Jowo, bahkan termasuk Pak B J Habibie juga memiliki darah Jawa. Puteri Bung Karno saat berkuasa pun tidak mampu mengembalikan panggilan Bung. Nadiem Makarim saja minta dipanggil Mas Menteri.

Selain panggilan Mas dan Bang, kita juga akan menemukan sapaan Bro (brother), Mas Bro (gabungan mas + bro), Bray ( bahasa Sunda baraya yang berarti saudara), Cuy/Coy (anak tongkrongan), Lur (dari kata dalam bahasa Jawa sedulur artinya saudara), pren ( singkatan dari friend / teman), Guy's (yang lagi hits dipakai saat ngeVlog), kak (sebutan di sosmed atau infotaiment) dan ada yang lebih parah tapi sebaiknya jangan diparaktekkan yaitu Nyed/Nyet (dari kata monyet karena sudah super akrab).

Panggilan “Bung” acapkali dipakai untuk bahan candaan misal “Bro, elu kalau dilihat dari kanan, kaya Bung Karno. Dari kiri, kaya Bung Hatta. Tapi dari depan, kaya bungkusan". Mungkin candaan di atas menyebabkan generasi muda kurang respect dengan panggilan “Bung” daripada mereka diledek

Awal pemanggilan Bung merupakan panggilan Ibu Fatmawati kepada Soekarno I Sumber Foto : dokpri design by Canva
Awal pemanggilan Bung merupakan panggilan Ibu Fatmawati kepada Soekarno I Sumber Foto : dokpri design by Canva

Kata “Bung” sendiri berasal dari bahasa Bengkulu, yang artinya “kakak”. Panggilan ini sudah mulai dipakai oleh para keluarga di Bengkulu sekitar tahun 1850, jauh sebelum populer dipakai oleh para penggerak kebangkitan bangsa.

Di samping itu, kata “Bung” oleh keluarga di Bengkulu digunakan oleh seorang istri untuk memanggil suaminya. Terutama, bila keluarga si istri tidak memiliki kakak laki-laki dalam keluarganya. 

Ibu Fatmawati saat menikah dengan Ir. Soekarno memanggil Presiden Pertama RI ini dengan panggilan “Bung Karno”. Sejak itu panggilan "Bung" menjadi populer.

Kata “Bung” pun menjadi alat perjuangan. Pada saat perjuangan dibuat poster propaganda yang terlukis sebagai gambar orang yang dirantai, tetapi rantai itu sudah putus. Lalu, seorang penyair, Chairil Anwar memberi kata “Boeng, Ajo Boeng

Agus R. Sardjono dalam buku Bahasa dan Bonafiditas Hantu (2001) menjelaskan sapaan "Bung" menjadi lebih populer pada awal kemerdekaan menunjukkan kesetaraan. Sapaan "Bung" tersebut dapat digunakan kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan untuk siapa saja. 

Saat itu panggilan "Bung" digunakan oleh para pemimpin bangsa dan rakyat jelata sehingga tidak ada jarak diantara mereka. Penggunaan sapaan "Bung" tidak mengenal usia, orang tua bisa memanggil yang lebih muda dengan panggilan Bung dan orang muda dapat menyapa orang tua dengan panggilan "Bung".

Sepertinya sudah saatnya panggilan "Bung" diperkenalkan kembali, kalau populer memang butuh waktu. Panggilan ini bagaikan tidak ada jarak satu dengan yang lain. Entah kenapa lebih terdengar terhormat.

---

Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto

Twitter I Instagram I mastiyan@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun