Di samping itu, kata “Bung” oleh keluarga di Bengkulu digunakan oleh seorang istri untuk memanggil suaminya. Terutama, bila keluarga si istri tidak memiliki kakak laki-laki dalam keluarganya.
Ibu Fatmawati saat menikah dengan Ir. Soekarno memanggil Presiden Pertama RI ini dengan panggilan “Bung Karno”. Sejak itu panggilan "Bung" menjadi populer.
Kata “Bung” pun menjadi alat perjuangan. Pada saat perjuangan dibuat poster propaganda yang terlukis sebagai gambar orang yang dirantai, tetapi rantai itu sudah putus. Lalu, seorang penyair, Chairil Anwar memberi kata “Boeng, Ajo Boeng”
Agus R. Sardjono dalam buku Bahasa dan Bonafiditas Hantu (2001) menjelaskan sapaan "Bung" menjadi lebih populer pada awal kemerdekaan menunjukkan kesetaraan. Sapaan "Bung" tersebut dapat digunakan kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan untuk siapa saja.
Saat itu panggilan "Bung" digunakan oleh para pemimpin bangsa dan rakyat jelata sehingga tidak ada jarak diantara mereka. Penggunaan sapaan "Bung" tidak mengenal usia, orang tua bisa memanggil yang lebih muda dengan panggilan Bung dan orang muda dapat menyapa orang tua dengan panggilan "Bung".
Sepertinya sudah saatnya panggilan "Bung" diperkenalkan kembali, kalau populer memang butuh waktu. Panggilan ini bagaikan tidak ada jarak satu dengan yang lain. Entah kenapa lebih terdengar terhormat.
---
Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto
Twitter I Instagram I mastiyan@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H