Saru merupakan salah-satu karakter pendidikan sex Orang Jawa dengan menggunakan banyak simbol Bahasa. Saru digunakan untuk ungkapan menghaluskan penyebutan, yang  dalam ilmu linguistik disebut sebagai kramanisasi seksual.
Banyak orang Jawa menyadari bahwa alat kelamin adalah tanda yang menunjukkan perbedaan antara laki-laki atau perempuan. Tetapi penyebutan untuk alat kelamin bukan sesuatu yang pantas untuk diucapkan atau dijadikan bahan guyonan.
Para orang tua yang masih memegang tradisi Jawa akan melarang keturunannya berbicara kotor / jorok, seorang laki-laki bercanda dengan menyentuh bagian tubuhnya dengan bagian tubuh wanita yang bukan mukhrimnya termasuk sepupu.
Saru juga digunakan untuk mengungkapkan sesuatu perilaku yang membuat seseorang akan berfikir buruk tentang Kita, misal memasukkan makanan yang disajikan di lantai ke berkat (Box Makanan) yang kita terima, tangan kanan masih memegang makanan sedangkan tangan kiri meraih makanan yang lain (celamitan), duduk mengangkang sehingga aurat Kita terkuak.
Sedangkan Ora Elok merupakan istilah Bahasa Jawa yang berarti tidak baik, tidak bagus, dan tidak etis. Ora elok lebih tegas daripada Saru karena berisi larangan dan akibatnya.
Ungkapan tersebut dimaksudkan agar seseorang tidak melanggar unggah-ungguh. Masyarakat Jawa merupakan kumpulan individu yang memiliki aturan kesopanan yang tidak tertulis tetapi dipegang sangat kuat.
'Ora Elok' digunakan untuk mengingatkan sesuatu hal kepada anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Rangkaian kata ini mengandung nasihat-nasihat berisi pelajaran unggah-ungguh, etika, atau budi pekerti. Rangkaian kata Ora Elok sangat dekat dengan ajaran Agama.
Ada edukasi dibalik kata Ora Elok, tetapi para tetua memberikan kata yang membuat pelaku Ora Elok akan menerima sesuatu yang negatif pada fisik / jiwanya. Padahal dibalik pelarangan itu ada hal yang amat penting bagi kehidupan.