Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 104 x Prestasi Digital Competition (69 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sri Sultan Hamengku Buwono X Ternyata Tidak Ingin Hidup Mulyo, Kenapa?

22 April 2021   11:47 Diperbarui: 22 April 2021   22:13 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deskripsi : Sri Sultan HB X lebih memilik Mukti dibandingkan Mulyo I Sumber Foto : kumparan

Sebuah kata acapkali memiliki arti yang berbeda disetiap daerah atau bangsa walaupun diucapkan atau terdengar sama. Daku (saya) acapkali mendengar pernyataan seseorang ingin hidup mulia / mulyo. 

Bila mendengar pernyataan tersebut daku pun berfikir bahwa orang tersebut tidak hanya memikirkan duniawi tapi juga fokus pada kehidupan spiritual.

Bagi daku yang beragama Islam cita-cita manusia yang paling tinggi adalah agar menjadi orang yang hidupnya mulia dan dimuliakan serta memuliakan Allah SWT. Hidup mulia bagi orang Islam berhubungan erat dengan mati syahid.

Namun pengertian Mulia / Mulyo menurut Sultan Hamengku Buwono X tidak seperti arti mulia yang daku pikirkan dan gambarkan. Pemahaman Mulyo menurut Sri Sultan Hamengku Buwono terdokumentasikan dari wawancara antara Kumparan dengan Raja Jawa ini, pada 11 April 2018 dengan judul "Sri Sultan HB X, Menjaga Keraton di Tengah Arus Perubahan"


Apa yang dimaksud dengan Mulyo oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X terdokumentasikan dalam video tersebut ketika Ngarso Dalem menceritakan Bapaknya ( Sri Sultan HB IX) bertanya kepada dirinya.

Sri Sultan HB IX bertanya "Mas Jun, Kowe pengin urip mukti apa urip mulyo?" (Mas Jun, dalam hidup, kamu ingin mukti atau kaya?)

Dijawab oleh Sri Sultan HB X yang saat itu masih menjadi Pangeran Mangkubumi (Pangeran Mahkota) "Saya memilih Mukti tidak ingin Mulyo"

Sri Sultan HB X menambahkan dalam jawabannya "Dengan hidup Mukti itu saya bisa saja kaya atau tidak bisa kaya, tapi dapat bermanfaat bagi orang banyak sehingga saya masih bisa hidup, karena dihargai orang. Saya tidak mau Mulyo, karena dengan hidup Mulyo, saya mungkin bisa kaya tapi belum tentu memberi manfaat bagi orang lain, bisa saja malah memberi mudorot bagi orang lain"

Sri Sultan HB IX pun meminta janji dari Sri Sultan HB X "kalau kamu ingin hidup mukti, saya ingin kamu berjanji, kamu sanggup ?". Sri Sultan HB X pun menyatakan sanggup.

Pertanyaan berupa janji itu pun diucapkan oleh Sri Sultan HB IX ;

Pertama, kamu harus berjanji sama saya ; kamu harus bisa mengayomi semua orang walaupun orang tersebut tidak senang dengan diri kamu, kamu sanggup mengayomi dia ?

Kedua, kamu harus berjanji, jangan melanggar aturan negara.

Ketiga, kamu berjanji bisa lebih berani menyatakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Sri Sultan HB IX menceritakan bahwa dirinya mengalami kepemimpinan 2 (dua) Presiden RI yaitu Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. 

Pada saat itu, Sri Sultan HB IX jika berbeda pendapat lebih memilih diam. Diamnya Sri Sultan HB IX karena tidak ingin rakyat Indonesia itu hancur. Tapi dirinya merasa keliru, karena diamnya Sri Sultan HB IX membuat dirinya masih melihat masyarakat bodoh dan miskin.

Keempat, kamu berjanji untuk tidak berambisi apapun kecuali hanya demi mensejahterahkan rakyat.

Setelah meminta janji dari Sri Sultan HB X, terucap dari mulut Sri Sultan HB IX "kalau 4 hal itu kamu jaga untuk meraih mukti, kamu tidak perlu mencari saya karena saya akan disamping kamu". 

Sri sultan HB X pun menyanggupi janjinya kepada Bapaknya, karenanya beliau sampai mati akan tunduk kepada 4 (empat) janji tersebut. Janjinya ini yang menjadi pengawas Ngarso Dalem dalam mengabdi dan memimpin Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bila menyimak dari apa yang disampaikan oleh Sri Sultan HB X sepertinya Mukti menunjuk kepada hidup untuk mengabdi sehingga bisa berguna bagi orang lain. 

Adapun Mulyo menunjuk pada kekayaan atau derajat. Bila kita melihat / menonton / mendengar seorang Raja / Ratu / Pangeran diberbagai belahan dunia dipanggil dengan sebutan Yang Mulia. 

Dapat diartikan orang Mulyo yang berdasarkan pandangan Sri Sultan HB X, berarti orang yang hidupnya mengejar kekayaan atau derajat. Itu kenapa Kesultanan Yogyakarta untuk Sultan di panggil dengan sebutan Ngarso Dalem (Didepan Raja) bukan Yang Mulia.

Mungkin gambaran Mulyo ini tepat untuk menunjuk kepada hedonisme dalam pengertian Jawa. Sebuah paham yang mengagungkan tujuan atau kepuasan pribadi memperoleh kekayaan. Hidup Mulyo ini akan mendapatkan tantangan duniawi 'Tahta-Harta dan Wanita'. 

Tetapi hidup Mulyo juga bukan berarti tidak peduli kepada orang lain. Mungkin saat ini bila dihubungkan dengan gaya hidup modern ialah orang yang mengejar karir / usaha yang berujung pada kepemilikan harta benda dan jabatan. 

Hidup Mulyo bukan sesuatu yang jahat hanya saja lebih mengejar cita-cita pribadi. Seperti bagaimana Maha Patih Gajah Mada bercita-cita ingin menaklukkan Nusantara untuk menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Majapahit.

Dari sisi spiritual, hidup Mukti membantu kita untuk memahami apa artinya hidup berarti bagi orang lain. Mukti tidak pernah membuat orang hanya berpikir tentang dirinya sendiri. 

Itulah sebabnya orang yang masuk kategori menjalani hidup Mukti yang mendalam adalah orang yang semakin mudah peduli kepada orang lain. Hidup Mukti membantu kita untuk menyadari bahwa kebahagiaan hidup tidak pernah hanya menjadi milik pribadi. Di dalamnya diberi ruang untuk orang lain.

Akhirnya saya teringat akan pesan Almarhum Bapak yang merupakan keturunan Yogyakarta yang pernah berpesan "Hidup ini bukan hanya untuk mencari selamat/sukses/berhasil. Hidup juga jangan hanya untuk diri sendiri, melainkan berupaya untuk semakin hari semakin berguna bagi yang lain"

Daku baru sadar bagaimana Bapak sebagai orang Yogyakarta tidak ngoyo (memaksakan diri) mengejar harta dan mengerti arti cukup, dan menjalani diri sebagai pengurus RT di Pondok-Pinang walaupun tanpa imbalan saat itu. Pesan yang disampaikan Almarhum Bapak itu mirip seperti Mukti yang disampaikan Sri Sultan HB X.

Di kehidupan dimana daku bergaul, daku melihat individu-individu yang menjalankan Mukti. Ternyata tidak hanya ahli agama yang menjalankan Mukti. 

Dilingkungan Rumah, daku melihat ada tetangga yang mengumpulkan sampah plastik tapi ternyata sampah plastik itu tidak untuk dirinya tetapi diberikan ke seorang nenek pemulung sampah. Ada juga tetangga yang setiap akhir pekan merawat taman RT, marbot Masjid, dan ada warga yang ringan tangan membantu tetangga yang membutuhkan tenaga.

Daku pun melihat individu-individu Mukti di tempat kerja ku di RSKO Jakarta. Ada Individu yang menggagas bank sampah, pembimbing karang taruna, pengurus Mushola, menjalankan aksi membantu anak-anak dengan atresia billier, donatur bila ada aksi sosial, pemberi edukasi kesehatan perwakilan unit kerja, dan masih banyak lagi.

Paling tidak sebagai pribadi, tulisan ini menjadi pengingat diri daku bagaimana hidup kita tak semata-mata untuk mencari "Mulyo/Kaya" tetapi "Mukti/Berarti." Sebab kalau tidak, hidup ini hanya akan mengejar cita-cita dunia atau spiritual sekalipun tapi melupakan diri kita sebagai mahluk sosial.

"Orang Mukti dalam pengertian Jawa bukanlah orang yang mencari / mengejar surga, mereka orang yang terpilih masuk surga"

--

Salam hangat  Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto
Instagram I Twitter I web I Email: mastiyan@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun