Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 105 x Prestasi Digital Competition (70 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kampung Naga Adopsi Hutan Adat demi Menjaga Keseimbangan Alam

23 Agustus 2020   07:50 Diperbarui: 25 Agustus 2020   18:56 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deskripsi : Padi lokal yang ditanam oleh warga Kampung Naga memberi ciri khas pada kampung adat ini I Sumber Foto : dokpri

"Kami hidup berdampingan dengan alam, menjadi sebuah kepercayaan yang terpatri oleh orang-orang di Kampung Naga . Warga Kampung Naga akan terus bertahan menjaga adat tradisi karuhun (leluhur) yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Salah satu adat yang dipertahankan yakni melestarikan hutan di hulu sungai. Jika tak dilestarikan, kami percaya hidup tidak selamat" ucap Uria saat memandu kami para traveller dari Backpacker Jakarta pada oktober 2015

Saya diingatkan bahwa 7 Agustus merupakan Hari Hutan Indonesia. Bila mengingat hari tersebut yang ada di kepala saya ialah kenangan melihat langsung kontribusi masyarakat adat dalam menjaga hutan. Dari pengalaman saya itu ternyata hutan itu bukan hanya tentang pohon saja, juga tentang bagaimana hutan menjaga keseimbangan kehidupan manusia dan alam.

Lima tahun lalu saya pernah menjejakkan kaki di Kampung Naga. Kampung yang asri dan lestari dimana warganya menjaga adat istiadat dan pesan-pesan leluhur, itu yang saya sangat ingat dari kampung ini. Setelah 5 tahun, ketika saya melihat video youtube dan berbagai kisah tentang kondisi terkini Kampung Naga ternyata masih tetap sama seperti saat saya mengunjungi dibulan oktober 2015.

Sebuah liputan dari media mainstream TV ONE dengan channel youtube Amazing Indonesia membahas Kampung Naga dengan judul "Menjaga Tradisi Leluhur Ala Kampung Naga" yang tayang pada 28 Juli 2020 menunjukkan Kampung Naga masih seperti yang dulu saya lihat.

Kampung Naga masih melestarikan hutan dengan adopsi hutan demi menjaga keseimbangan alam. Ditengah pesatnya arus modernisasi masih banyak warga yang mempertahankan budaya leluhur mereka di negeri ini, dimana kampung adat memiliki kemiripan satu sama lain. Seperti menjunjung norma serta adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhurnya, salah-satunya jaga hutan adat / desa.

Deskripsi : Rumah Adat Kampung Naga tanpa peralatan elektronik I Sumber Foto : dokpri
Deskripsi : Rumah Adat Kampung Naga tanpa peralatan elektronik I Sumber Foto : dokpri
Ternyata di era modern ini masih ada kampung yang menolak menggunakan alat-alat elektronik dan modern dalam keseharian mereka dan masih memiliki rumah-rumah adat yang masih terjaga keasriannya. Biasanya letak pemukiman kampung adat jauh dari hiruk pikuk kota. Karena inilah kemudian kampung / pemukiman warga seperti ini mencuri perhatian seperti Kampung Naga.

_

Kisah Kenapa Kampung Naga Adopsi Hutan

Kini bagi banyak orang berlibur ke kampung adat seperti Kampung Naga. Menurut saya ini adalah pilihan yang tepat untuk mengenal kekayaan leluhur tanah air, salah-satunya mengenal Kampung Naga. Sebuah pemukiman yang masih bersinergi dengan alam, jaga hutan desa dan menjalankan adat istiadat sehingga masyarakatnya hidup sehat fisik dan mental.

Kampung Naga terletak di desa Neglasari di Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dimana letaknya dekat dengan jalan raya yang menghubungkan antara Garut dan Tasikmalaya.

Deskripsi : letak Kampung Naga di lembah yang subur I Sumber Foto : dokpri
Deskripsi : letak Kampung Naga di lembah yang subur I Sumber Foto : dokpri
Letaknya yang berada di sebuah lembah bukit membuat akses ke Kampung Naga membutuhkan cukup waktu. Terdapat 439 (empat ratus tiga Puluh Sembilan) anak tangga. 

Di titik terakhir anak tangga kami para travellers dihadapkan dengan pemandangan hamparan sawah dengan padi-padi yang hijau royo-royo. Bila dilihat dari kejauhan pun sudah terlihat bahwa Kampung Naga merupakan kampung yang masih lestari dengan hutan berada disekitarnya.

Deskripsi : 38 traveller Backpacker Jakarta yang mengunjungi Kampung Naga I Sumber Foto : dokpri
Deskripsi : 38 traveller Backpacker Jakarta yang mengunjungi Kampung Naga I Sumber Foto : dokpri
Pada saat 38 (tiga puluh delapan) traveller komunitas Backpacker Jakarta berkumpul, di ujung anak tangga, kami diperkenalkan pria muda pemandu wisata berpakaian adat berwarna hitam dengan ikat kepala. 

Saya masih ingat dan catatannya masih saya simpan, pria muda itu pun memperkenalkan dirinya "Nama saya Uria, saya yang akan memandu teman-teman Backpacker Jakarta ke Kampung Naga" Uria memperkenalkan diri.

Uria memberikan penjelasan tentang kenapa dinamakan Kampung Naga "Kampung Naga sangat berbeda dengan namanya, dan jangan dihubungkan tentang hal-hal yang berbau naga, karena tak satupun naga yang pernah berada di sana. Nama Kampung Naga berasal singkatan kata dari Kampung diNa Gawir ( bahasa sunda ) yang artinya kampung yang berada di lembah yang subur. Yang kemudian disingkat menjadi Kampung Naga" ucapnya. 

Deskripsi : Pemandu wisata Kampung Naga yang memiliki panggilan Uria I Sumber Foto : dokpri
Deskripsi : Pemandu wisata Kampung Naga yang memiliki panggilan Uria I Sumber Foto : dokpri
Uria melanjutkan ceritanya tentang kampung Naga kenapa hampir semua warga tidak mengenal asal-asul Kampung Naga "Sejarah asal mula Kampung Naga hilang, pada tahun 1956 Kampung naga dibakar DI / TII karena warga kampung memilih NKRI. Pembakaran yang dilakukan DI / TII juga menghanguskan catatan-catatan sejarah Kampung naga" jelasnya.

Lanjutnya disini penduduknya kebanyakan beragama Islam. Tetapi bagaimana kampung adat lainnya mereka sangat taat memegang adat istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Ketidaktauan asal-usul ini istilahnya pareum obor atau matinya penerangan sehingga membuat ketidaktauan warga nya sendiri mengenai asal-usul Kampung ini.

Pria muda ini menyampaikan bahwa tetua adat memberi pesan bahwa sejarah asal-asul Kampung Naga tidak begitu penting yang terpenting ialah tradisi atau apa yang dilakukan oleh leluhur itu harus dijaga dan harus terus dilakukan. Untuk menjaga eksistensi atau keberadaan Kampung Naga itu harus menjaga kearifan lokalnya.

Salah-satu kearifan lokal, warga Kampung Naga  adopsi hutan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dan keseimbangan alam. Masyarakat yang tinggal di Kampung Naga jaga hutan secara turun-temurun.

_

Kampung Naga Hidup Tentram Dengan Adopsi Hutan Menghindari Peralatan Modern

Uria memberikan informasi bahwa masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat yang masih menggunakan peralatan ataupun perlengkapan hidup yang tradisonal, kebutuhan hidup diusahakan tersedia di alam. Kami bersinergi dengan alam disekitar kita termasuk dari hutan adat / desa namun tidak berlebihan.

Tambahnya, seperti untuk memasak, warga Kampung Naga masih menggunakan tungku dengan bahan bakar menggunakan kayu bakar dan untuk membajak sawah menggunakan cangkul kayu. Itu semua berasal dari alam kampung naga dan hutan adat.

Hal lainnya, masayarakat Kampung Naga tidak menggunakan peralatan modern, mereka pun tidak memasang instalasi listrik di rumah. Maksud dari para tetua adat tidak ada nya listrik agar warga Kampung Naga tetap harmonis dan dapat dikontrol.

Adanya listrik ditakutkan memancing rasa iri dan kesenjangan sosial. Aturan ini yang membuat kampung ini unik dan berbeda dengan desa disekitarnya. Tidak salah jika Kampung Naga yang seluas 1,5 hektar ini menjadi salah satu warisan budaya Bangsa dan Pesona Indonesia yang patut dilestarikan.

Deskripsi : Padi lokal yang ditanam oleh warga Kampung Naga memberi ciri khas pada kampung adat ini I Sumber Foto : dokpri
Deskripsi : Padi lokal yang ditanam oleh warga Kampung Naga memberi ciri khas pada kampung adat ini I Sumber Foto : dokpri
Uria mengatakan bahwa padi yang ditanam adalah padi lokal (Padi Gugun) yang panen setahun dua kali. Persawahan di Kampung Naga ada yang membentuk mendatar mengelilingi perkampungan dan ada yang berundak-undak atau kita kenal dengan terasering. Bentuk persawahan terasering ini mengingatkan saya pada bentuk persawahan di Ubud Bali yang begitu terkenal di mancanegara. 

Hamparan sawah pun kami lewati, ketika saya menoleh kesebelah kanan, terlihat mengalir sungai dengan airnya yang jernih dan dipenuhi oleh batu gunung dengan disisinya terlihat bentang alam yang merupakan hutan desa yang secara alami sebagai pembatas Kampung Naga. 

Deskripsi : Sungai yang berada disisi perkampungan memberi pembatas antara Kampung Naga dan Hutan Adat I Sumber Foto : dokpri
Deskripsi : Sungai yang berada disisi perkampungan memberi pembatas antara Kampung Naga dan Hutan Adat I Sumber Foto : dokpri
Terlihat sungai tersebut sudah diberi pembatas pondasi batu dan semen yang diplester dan terdapat pintu air. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah barat dibatasi oleh hutan keramat dimana terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. 

Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang bermata air dari Gunung Cikuray. 

_

Warga Kampung Naga Adopsi Hutan Demi Mematuhi Pesan Leluhur

Kampung Naga adopsi dua hutan, yaitu hutan keramat dan hutan larangan. Hutan keramat merupakan hutan yang bila masuk ke dalamnya harus melalui ijin ketua kampung. Di dalamnya ada banyak terdapat kuburan leluhur Kampung Naga.

Sedangkan hutan larangan, sama sekali tidak ada yang boleh masuk sekalipun itu ketua adat. Para tetua adat ketika memasuki hutan larangan harus memenuhi syarat tertentu. Hutan larangan ini menjadi hutan yang terjaga dari tangan manusia. Ranting yang jatuh pun tidak boleh diambil, apalagi dipatahkan. Adat istiadat ternyata jaga hutan ini tetap lestari.

Ada hal yang menjadi penetapan keterjagaan lingkungan alam Kampung Naga adalah kepatuhan warganya pada adat. Pamali, adalah kata yang sakral dan tidak boleh dilakukan oleh siapa pun. Sekali pamali, maka tidak boleh dilakukan. Pelarangan atau pamali ini lahir secara turun temurun menjadi kesadaran warga untuk menjaga lingkungan kampung Naga.

Deskripsi : Lingkungan yang Asri Kampung Naga yang berdampingan dengan Hutan I Sumber Foto : dokpri
Deskripsi : Lingkungan yang Asri Kampung Naga yang berdampingan dengan Hutan I Sumber Foto : dokpri
Kesadaran dan kearifan lokal yang tetap dijaga ialah membiarkan berdirinya pohon-pohon pada tempatnya. Terdapat mitos jika ada yang mematahkan ranting hutan larangan yang jatuh ke luar area hutan, dirinya akan mendapatkan musibah dan dapat jatuh sakit.

Mitos yang beredar bukan penduduk kampung yang menghukum pelanggar norma adat, tetapi perbuatan nya sendiri yang akan menimbulkan musibah. Demikian keterangan Uria ketika saya mencari tau apa yang akan dilakukan oleh warga Kampung Naga apabila ada orang yang melanggar ketetapan adat. 

_

Bangunan Kampung Naga Yang Tidak Hanya Sekedar Susunan Material

Ketika diri saya tiba di Kampung Naga, bangunan-bangunan atapnya berbentuk segitiga dengan berbahan ijuk, dan menghadap ke arah yang sama atau saling berhadap-hadapan kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Sepertinya ini ditujukan untuk menjaga kerukunan antar warga.

Uria memberi keterangan "terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari 110 rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat balai pertemuan dan lumbung padi (Leuit) dan Bumi Ageung. Ada satu buah bangunan yang dianggap keramat yaitu 'Bumi Ageung' yaitu tempat pelaksanaan rutinitas upacara adat, tempat ini tidak boleh dimasuki kecuali oleh Ketua Adat atau Kuncen"  dia pun kemudian mengajak kami masuk ke area perkampungan. 

Deskripsi : bangunan Rumah Kampung Naga yang saling berhadapan I Sumber Foto : dokpri
Deskripsi : bangunan Rumah Kampung Naga yang saling berhadapan I Sumber Foto : dokpri
Apabila saya perhatikan kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik anyaman bambu, kayu-kayu, tidak menggunakan semen atau pasir. Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga berupa rumah panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu albo. 

Atap rumah dari daun nipah / tepus, ijuk, atau alang-alang. Lantai rumah terbuat dari bambu atau papan kayu. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasak. Rumah tidak diperkenankan dicat, kecuali dikapur atau dimeni serta bahan rumah tidak boleh menggunakan dari tembok. Penduduk yang ingin memiliki tembok harus dibangun diluar Kampung Naga.

Ada yang khas dari rumah-rumah di Kampung Naga yaitu di buat berundak-undak mengikuti kontur tanah dengan pembatas tumpukan batu sungai yang disusun sedemikian rupa hingga membuat  bangunannya tidak mudah longsor. 

Sekeliling kampung pun dipagari dengan tanaman (pohon bambu) hingga membentuk pagar alam. Semua bentuk, ukuran, dan bahan bangunan semuanya sama, hal ini menunjukkan adanya keselarasan dan keharmonisan yang ada di Kampung Naga. 

Terdapat pantangan-pantangan menyangkut Rumah di kampung Naga. Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. 

Karena menurut budaya masyarakat Kampung Naga, rizeki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus. 

Yang cukup berbeda dengan rumah-rumah di pulau jawa, dapur berada di depan rumah dengan menggunakan anyaman bambu dengan design agar bisa dilihat dari luar. Design dapur seperti itu agar para warga yang meronda pada saat malam dapat melihat kondisi dapur, apakah masih ada api yang menyala atau tidak. 

Tata desa pun mempunyai wawasan lingkungan yang baik secara fisik dan kesehatan lingkungan, dimana lingkungan begitu bersih tanpa sampah yang berserakan. 

Deskripsi : Warga Kampung Naga sedang merajut anyaman bambu I Sumber Foto : dokpri
Deskripsi : Warga Kampung Naga sedang merajut anyaman bambu I Sumber Foto : dokpri
Ternyata ketika saya menyusuri perkampungan sambil melakukan observasi, saya mendapatkan mata pencaharian warga Kampung Naga tidak hanya  bertani, menanam padi , terdapat mata pencaharian lainnya seperti membuat kerajinan tangan, beternak dan berdagang dari hasil kerajinan tangan.

Ketika saya tiba di tengah-tengah pemukiman yang terdapat sebuah lapangan bertanah liat, saya mendapati seorang remaja Kampung Naga menjual es kelapa. Saya pun membelinya sambil mengajak yang lain "Ayooo kemari, beli es kelapa...biar seger. berdayakan ekonomi pedesaan".

----

Manusia, alam dan hutan dapat hidup bersinergi. Tanpa melakukan pengerusakan dan penebangan pohon membuat Kampung Naga menjadi kampung yang nyaman, asri, sejuk dan tentunya berdamai dengan Alam. 

Hutan kita juara,  salah-satu contohnya bagaimana warga Kampung Naga adopsi hutan yang dilakukan secara turun menurun sehingga mereka dapat hidup sehat fisik dan mental. Bagi pejuang keseimbangan alam selamat merayakan Hari Hutan Indonesia 2020 di tanggal 7 Agustus.

Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto

Instagram I Twitter I web I Email : mastiyan@gmail.com

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun