"Dek, saya lihat kamu suka membaca. Mau tidak Mamas ajari menulis ? " tawaran Almarhum kakak Satria Adhi saat dirinya berkerja di Trans 7 tahun 2009.
Saya ingat sekali bagaimana almarhum Kakak (Satria Adhi / Mamas) mengarahkan untuk saya menulis 300 kata seminggu sekali. Dirinya memahami bahwa bagi penulis pemula tidak bisa dipaksa untuk menulis panjang.Â
Hal yang membuat seseorang sulit untuk membangun budaya menulis karena bingung memulai paragaraf pertama. Para penulis pemula ketika akan menulis kesulitan menemukan kalimat pertama karena terlalu menggunakan logika (otak kiri). Belum membiasakan menggunakan otak kanan.
Pada tahun 2009 Almarhum Kakak sudah berkerja di Trans 7 yang mengerti bahwa dalam beberapa tahun kedepan budaya literasi di era gawai (android) akan bersinar. Pada era gawai tulisan yang enak dibaca dikisaran 300 s/d 1500 kata, tidak lagi tulisan dengan jumlah kata yang panjang seperti pada media cetak.
Almarhum kakak memberikan sarana untuk memancing saya menulis dengan membelikan sebuah novel. Saya ingat sekali novel yang dibelikan yaitu Ketika Cinta Bertasbih. Sebuah novel roman Indonesia yang dikarang oleh Habiburrahman El Shirazy dan diterbitkan pada tahun 2007 oleh Republika-Basmallah. Dirinya yakin saya tidak akan kesulitan menyelesaikan membaca novel ini karena saya suka membaca dan traveling.
Sebagai mantan jurnalis cetak majalah Kartini ( 2004 s/d 2005 ) di tahun 2009, dirinya mengajari bagaimana menghasilkan tulisan story telling, terstruktur, enak dibaca (minimal untuk diri sendiri), dan memberi nilai pesan.
Apa yang Almarhum Kakak pupuk membuahkan hasil dan saya rasakan saat ini. Â Saya telah menjuarai 42 lomba blog (juara 1,2,3, harapan dan favorit) dari tahun 2015 s/d 2019, dan mendapatkan pekerjaan menulis dari beberapa agency dan komunitas blogger. Bahkan saat ini di RSKO Jakarta saya ditugaskan sebagai content writer.
Baca juga : Dibalik Rahasia Rezeki Menang Lomba Blog 40 Kali
Budaya literasi sejatinya sudah dimulai sejak kecil oleh kedua orang tua. Saya ingat sekali bagaimana Almarhum Bapak terbiasa mendongeng sebelum tidur. Bapak dan Ibu suka membelikan kami (saya dan Almarhum Kakak) bacaan bergambar. Bahkan saat kami masih sekolah, Almarhum Bapak berlangganan koran.
Ibu adalah peletak dasar peradaban. Ibu yang cerdas akan mewariskan generasi cerdas, untuk itu Ibu ku menanamkan gemar membaca pada anak-anaknya. Ini terkait erat dengan proses belajar. Manusia dikatakan unggul apabila senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilannya.Â
Pondasi literasi oleh Bapak, Ibu dan Kakak membuat saya gemar mengoleksi buku dan rutin menulis di platform blog Kompasiana. Terdapat 2 lemari di rumah saya di Cikeas Udik berisi buku-buku dari buku pengetahuan, biografi, sejarah, novel, teknologi dan budaya.
Budaya literasi pada diri saya juga terbangun karena mengikuti perkumpulan minat/hobi yakni komunitas backpacker dan komunitas narablog (blogger). Saya merupakan seseorang yang menyenangi traveling sejak tahun 2009.Â
Komunitas Backpacker Jakarta mempertemukan saya dengan traveler yang suka menulis. Pertemuan dan perbincangan dengan traveler blogger di komunitas Backpacker Jakarta membuat saya akhirnya memulai menulis perjalanan di blog.
Kemampuan menulis saya makin meningkat ketika masuk dalam komunitas blogger Kompasiana. Diri saya sering bercakap dan belajar dari para senior mengenai penulisan di blog. Berdampak kualitas menulis saya makin terasah dan makin baik dari sebelumnya.
Perlu diketahui hampir 80-90 persen pengetahuan berasal dari membaca. Menurut Tilaar (1999), membaca adalah proses memberikan arti kepada dunia. Dengan demikian, masyarakat yang gemar membaca akan melahirkan generasi yang belajar (learning society).
Literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Budaya literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berpikir yang diikuti proses membaca menulis, yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam proses kegiatan tersebut menciptakan karya.
Era gawai yang lebih dikenal dengan sebutan era industri 4.0 membuat masyarakat lebih senang melihat foto dan video dibandingkan membaca dan menulis. Namun, mesin pencari (google dan yahoo) masih menempatkan narasi lebih mudah ditemukan dibandingkan foto / video, kecuali menggunakan pencarian platform youtube.
Membangun budaya literasi di era gawai itu mudah, kok bisa? ... karena saat ini berbagai informasi bisa kita dapatkan di genggaman bagaimana kita memilah agar tidak mengkomsumsi berita hoaks. Ada cara agar kita, keluarga dan masyarakat mencintai budaya literasi, yaitu ;
.
1. Membangun Budaya Literasi Sejak Dini
Budaya membaca tidak dapat dibangun secara cepat bagaikan membalikkan telapak tangan. Budaya membaca harus sudah dimulai sejak anak berusia dini. Untuk melahirkan learning society peran ibu sangat besar, karena ibu pelatak dasar budaya literasi #literasikeluarga #sahabatkeluarga .
15 menit sebelum anak-anak tidur usahakan dibacakan buku dongeng bergambar dimana anak terlibat membaca. Sehinga budaya membaca sudah lahir sejak dini yang berdampak saat bertambah umur minat baca tinggi. Hal ini yang saya terima manfaatnya ketika sudah besar, keinginan untuk membaca selalu ada.
Dengan hadirnya telepon pintar (smartphone) layar lebar / tablet dan internet para orang tua dapat menggunakan teknologi ini. Informasi yang didapat dari internet perlu diselingi dengan buku agar anak terbiasa mencari referensi dan membaca buku. Mencari referensi amat penting dimana saat ini banyak informasi hoaks.
Diskusikan pula buku-buku yang sudah dibaca oleh anak-anak. Berdiskusi membuat Ibu akan tahu sejauh mana pemahaman dan aksi nyata anak dari buku yang dibaca. Hal yang penting dalam membangun budaya literasi adalah bahagiakan anak dengan buku.
Sesekali ajaklah anak berlibur ke perpustakaan, rumah baca, toko buku, atau bazar buku. Berikan hadiah buku pada momen-momen spesial anak misal ulang tahun. Berikan pesan bahwa di buku semua ada dan kita akan mengawali kesuksesan melalui buku.
.
2. Â Membangun Literasi Dapat Dilahirkan dengan Menjadi Bagian dari KomunitasÂ
Manusia merupakan mahluk sosial. Jika kita memiliki minat terhadap hobi / kegiatan tertentu sebaiknya kita mengikuti komunitas. Misal komunitas traveling, komunitas burung berkicau, komunitas blog, dll.
Bergaul di komunitas sesuai hobi kita akan memancing untuk membaca. Untuk meningkatkan pengetahuan dari hobi pastinya diri kita akan mendapatkan referensi dari komunitas berupa bahan bacaan / video. Ini akan meningkatkan budaya literasi bagi diri kita dan komunitas.
.
3. Memancing Literasi dengan Membeli Bahan Bacaan Yang Digemari
Seseorang akan senang membaca / melihat sesuatu yang dia sukai atau gemari. Untuk itu agar minat baca muncul bagi diri kita, keluarga dan anak maka belikanlah bahan bacaan yang digemari.
Misal diri kita / salah satu anggota keluarga gemar melihat dan mendengar berita sepakbola jika dibelikan bahan bacaan / koran / tabloid mengenai berita sepakbola yang terjadi bahan bacaan itu akan dibaca. Bila minat baca sudah ada ketika harus mencari referensi topik diluar kegemaran akan mudah memulai membaca.Â
.
4. Memulai Literasi Menulis dari Hobi / Kegemaran
Menulis bagi banyak orang dibilang sulit. Maka mulailah dari apa yang kita suka / gemari atau hobi maka narasi itu akan timbul. Kumpulan kata-kata akan muncul dikepala dengan tidak perlu berfikir keras.Â
Bahkan ketika kita menulis sesuatu yang digemari, diri kita akan sangat senang mencari referensi dari tulisan kita tersebut tanpa paksaan. Mencari referensi dari topik yang kita gemari itu sesuatu yang menyenangkan. Selain menghasilkan tulisan, kita akan menambah jumlah perbendaharaan kata saat membaca referensi.
Jangan lupakan setelah selesai menulis untuk dibagikan (share) ke media sosial dan pecinta hobi yang sama. Bagi seorang penulis non komersial dan komersial, mendapatkan apresiasi (view, like, comment, dibagikan) dari tulisan kita itu sudah memberikan kebahagian tersendiri.
.
5. Biasakan Literasi Menulis Menggunakan Otak Kanan
Saya pernah bertanya kepada beberapa teman yang merasa sulit untuk menulis "kenapa tidak mau mencoba menulis ?". Salah-satu jawabannya ialah kesulitan memulai di paragraf pertama / awal tulisan. Â
Pernah saya coba dengan memberikan secarik kertas dan saya berikan kata kunci sesuai minat teman saya tersebut yakni traveling. Dalam kurun waktu 15 menit tidak ada satu kata pun yang ditulis dikertas tersebut. Ia berucap ia bingung memikirkan mau menuliskan apa.
Kemudian saya sampaikan "sekarang tulis yang mau kamu curhatin kepada saya tentang perjalanan terakhir kamu". Ternyata 15 menit waktu yang saya berikan 2 paragraf sudah dihasilkan.
Masih banyak individu yang dalam tahap menulis acapkali menggunakan otak kiri, belum menggunakan otak kanan. Menurut saya, bila dalam menulis kita bagaikan curhat maka kata dan narasi kan hadir di otak kita.Â
Anggap saja kertas, telepon pintar, layar laptop / komputer merupakan teman ngobrol sehingga seluruh isi dalam pikiran kita akan muncul. Apakah tulisan kita sudah benar atau belum, bisa kita edit setelah tulisan itu selesai.Â
.
6. Literasi Menulis Jadikan Bagian Melepaskan Stres
Pada periode 2011 s/d 2016 merupakan periode cobaan hidup bagi diri saya. Banyak cobaan yang hadir, dari usaha bangkrut berkali-kali, mengurus dan membiayai keluarga yang sakit berat (Almarhum Bapak dan Almarhum Kakak) kemudian meninggal, masalah di tempat kerja, dan menutup hutang-hutang usaha dan keluarga.
Alloh SWT, keluarga, sahabat, tulisan dan traveling membuat saya bertahan dan tidak mengalami masalah kejiwaan. Saat saya menunggu almarhum kakak selama 86 hari di rumah sakit saya melahirkan puluhan tulisan. Bahkan tulisan itu curhatan saya menunggu di rumah sakit tidak pulang-pulang ke rumah. Saya pun menulis fasilitas rumah sakit dimana kakak di rawat.
Baca juga : Pembelajaran 86 Hari Menunggu Panggilan Alloh SWT
Bagi saya menulis dapat menjadi sarana melepaskan stres. Jadikan tulisan kita di secarik kertas atau blog menjadi buku harian kita. Seperti buku harian, kita bisa meluapkan permasalahan kita dengan cara yang proporsional dan benar. Bagaikan kendi yang diisi air terus menerus, diperlukan sebuah kran agar kendi tidak pecah dan air bisa keluar.
.
7. Membangun Budaya Literasi Dengan RileksÂ
Membuat sebuah tulisan mengenai hal yang kita nikmati tidak perlu diberi batas waktu (deadline), rileks saja. Biarkan kata-kata itu mengalir dari otak kita tanpa diberi perintah. Kecuali bila diri kita penulis komersial, diri kita harus membuat jadwal agar tidak melewati batas waktu.
Temukan tempat di mana kamu bisa menggali ide dengan optimal. Buatlah kerangka tulisan yang telah kamu buat di tempat tersebut. Tidak perlu terburu-buru seperti dikejar hewan buas.
Apabila kamu kehilangan inspirasi, berhentilah sejenak dan lakukan aktivitas yang mampu menaikkan mood. Jika butuh istirahat, lakukanlah. Mendengarkan musik, mengkomsumsi makanan ringan, main game atau menonton film di youtube bisa menjadi pilihan.Â
Setelah mood itu datang, kamu bisa kembali melanjutkan tulisanmu. Jangan lupa bila sudah selesai dibagikan di media sosial. Mungkin saja tulisan kita bermanfaat bagi orang lain.
---------------------------------------------
Membangun budaya literasi di era gawai bisa dibilang mudah dan bisa dibilang sulit. Namun kita harus bisa berkata mudah walaupun tantangan yang dihadapi ialah games online, video youtube, dan film online. Budaya itu harus dibangun sejak dini, dan dapat dibangun oleh kita yang sudah dewasa agar mencintai literasi. #literasikeluarga #sahabatkeluarga
Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto
Instagram I Twitter I Kompasiana I Email : mastiyan@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H