Ketika berkenalan atau berkumpul dengan orang baru / teman-teman pasti ada partanyaan mengenai identitas, domisili, pekerjaan, dll. Yaks, pertanyaan itu salah-satunya pastinya dimana daku tinggal. Sebetulnya rada berat menyebutkan karena bagi teman-teman yang hidup dikota besar akan membuat mereka senyum-senyum. Daku hanya bisa menjawab sambil garuk-garuk kepala dengan menyebutkan "Tinggal di Cikeas Udik".
Itu dia Cikeas Udik, sebuah nama daerah yang begitu familier tetapi tanpa embel-embel Udik dibelakangnya. Cikeas merupakan tempat tinggal dari Presiden ke 6 Indonesia yakni Bapak Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Tetapi Cikeas yang daku tinggali berada 3 (tiga) kilometer dari tempat tinggal mantan Presiden Indonesia tersebut. Beliau tinggal di Cikeas Nagrak sedangkan daku tinggal di Cikeas Udik.
Ketua komunitas Kompasianers Penggila Kuliner, mas Rahab Garendra agak berbeda dengan yang lain ketika memanggil daku. Ia selalu memanggil daku dengan sebutan "Udik". Ya jadilah daku "Orang Udik". Untung daku tidak tinggal di Kampung Utan bisa dipanggil "Orang Utan".....hua...hua......, Mau bagaimana lagi harus terima nasib karena tinggal di Udik. Sebutan Cikeas Udik sepertinya masih pantas, karena didaerah ini masih banyak masyarakat yang berladang, seperti Lengkuas, Sereh, Jagung dan Singkong.
Para Pendatang Bikin Macet
Setibanya orang udik di Stasiun Solo Balapan (27/6/2017) pukul 17.00 WIB, orang udik dijemput oleh sepupu  "Mbak Amin" menuju rumahnya. Orang udik ini merasakan atmosfir yang berbeda dibandingkan di Jakarta yakni berasa 'tentrem' kalau orang jawa bilang. Entah kenapa disaat pulang mudik ini malamnya diberi hujan yang deras sehingga paginya terasa sejuk dan suasana makin membuat adem ayem.
Pukul 07.00 WIB (28/6/2017) orang udik ini ditawarkan oleh suami dari mbak Amin untuk menongok keluarga yang ada di Jogjakarta. Mas Warno namanya, ia seorang tentara yang bertugas di Solo. Ibu orang udik ini pun terasa bahagia lalu menyampaikan  untuk beres-beres. Perjalanan safari lebaran pun dimulai. Kami berangkat pukul 09.00 WIB menggunakan kendaraan roda empat milik mas Warno.
Tak diduga dari perkiraan mas Warno yang menurut perhitungan dirinya bahwa lama perjalanan antara Solo - Jogjakarta dapat ditempuh dalam kurun waktu 1 1/2 jam  ternyata molor sampai dengan 5 jam. Mungkin bagi orang yang tinggal, kerja atau beraktifitas di Jakarta kemacetan merupakan hal yang biasa tetapi bagi orang Solo seperti mas Warno ini membuat dirinya kesal.
Para pendatang yang sedang mudik lah menjadi penyebab. Antrian kendaraan di lampu merah ternyata banyak ditemui merupakan kendaraan ber plat selain AD dan AB. Pada saat itu pula bersamaan Presiden Amerika Barack Obama juga mudik mengunjungi Candi Prambanan. Lengkap sudah penderitaan, para pendatang yang ingin mengunjungi Prambanan terjebak macet di jalan akses menuju Jogjakarta.
Suasana & Bangunan Arsitektur Lampau Masih Banyak Ditemui.
Ketika berada di rumah Sepupu di Solo yang berada di komplek Angkatan Bersenjata, suasananya begitu tentrem. Salah satunya bentuk bangunan terasa tempoe doloe dengan pepohonan yang berada didepan rumah. Jalan perumahan yang lebar dan sedikit kendaraan roda empat yang lalu lalang membuat rasa mudik ini begitu terasa. Orang dewasa dan anak-anak yang menggunakan sepeda dan jalan kaki terlihat dalam pandangan berkali-kali.
Pada saat orang udik di Bolali-Klaten dan Wirogunan-Jogjakarta, orang udik menemukan bangunan-bangunan rumah yang masih menggunakan model rumah tempo doloe. Dengan genteng, gebyok, dinding kayu dan rumah yang berteras. Ini yang membuat orang udik seperti menggunakan mesin waktu kembali ke masa lalu.
Anak Baru Gede Melampaui Umurnya
Orang udik ingat betul sewaktu masih di usia belasan ketika berada di Bolali, Klaten tempat tinggal sepupu orang udik ini, yaitu mas Wied. Dia lah yang saat ini bagaikan kakak sendiri, karena pernah tinggal bersama keluarga kami dari semenjak orang udik ini dibangku SMP sampai dengan lulus perguruan tinggi.Â
Pada masa itu, saat orang udik pulang mudik para sepupu yang masih seusia telah membantu orang tuanya di sawah. Kira-kira usia mereka masih belasan tahun. Ketika mesin waktu membawa orang udik ini kembali ke masa kini saat pulang mudik di tahun 2017 ternyata para ponakan yang berada di Solo juga membantu orang tuanya. Yang masih SMP menjadi juru masak & pelayan resto milik sepupu'nya, sedangkan yang telah lulus SMA menjadi administrasi di sebuah hotel ternama di SOLO.
Muka-muka mereka terlihat lebih tua. Bagaimana mereka berbicara dan berprilaku melewati umurnya bila dibandingkan dengan anak baru gede di kota Jakarta. Ponakan orang udik yang di Jakarta masih terlihat sangat manja dengan orang tuanya sedangkan mereka yang didaerah lebih terlihat matang dan mandiri.
Mereka berkerja bukan karena orang tuanya tidak mampu membiayai kehidupannya. Tetapi lebih pada culture disana dimana anak di usia Sekolah Menegah Pertama (SMP) sudah bisa mendapatkan tanggung jawab lebih.Â
Krisis Penerus Para Petani.
Orang udik bersama sepupu 'mas Jaiz', dan Ibu berjalan menuju makam mbah putri. Lokasi makam mbah putri berada di Bolali, Klaten. Dalam perjalan itu orang udik berbincang dengan mas Jaiz menyangkut sepinya desa Bolali. Ketika berada disana bagaikan disebuah desa dimana amat jarang terlihat penduduknya berada di luar rumah.
Sunyi, senyap, tetapi sejuk. Orang-orang yang hadir terlihat sepertinya bukan penduduk desa tersebut. Sebetulnya termasuk salah-satunya orang udik ini. Sejatinya para manusia yang berada disaat bersamaan dengan orang udik disana ialah para penghuni desa yang diperantauan. Mereka meninggalkan desa demi mendapatkan rezeki di tempat lain.
Contohnya ya keluarga dari bude Warti sendiri dari lima orang anak laki-lakinya, empat orang sudah tidak berada di desa Bolali. Mereka mencari sesuap nasi dan segenggam berlian di tempat lain. Menurut mas Jaiz trend para anak muda di sana dalam mencari rezeki lebih memilih berkerja di pabrik atau merantau seperti dirinya. Pekerjaan menjadi petani disana hanya sebatas masa teenegers / belia.
Apa yang daku potret di desa Bolali, sama seperti yang daku lihat di desa Pare, Klaten. Desa ini terlihat begitu sepi tidak seperti hiruk-pikuk di Jabodetabek tempat dimana orang udik ini beraktifitas. Itu bisa daku lihat ketika sholat di Masjid Pare yang didirikan oleh mbah buyut "Haji Abdul Salam". Amat jarang orang udik temui anak muda, sebagian jamaah sudah berumur. Orang udik merasa paling ganteng sendiri...he...he....
Pantes saja IPB saat ini diguyonkan "Institut Perbankan Bogor", karena dari bahan obrolan di warteg, para mahasiswa pertanian aja sekarang lebih memilih berkerja di Bank udah nggak ke sawah ....wuih.....
----oo000oo----------
Salam Hangat Blogger Udik - Andri Mastiyanto
Blog | twitter | Instagram | email
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H