Mohon tunggu...
Andri Mastiyanto
Andri Mastiyanto Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Penyuluh Kesehatan

Kompasianer Of the Year 2022, 105 x Prestasi Digital Competition (70 writing competition, 25 Instagram Competition, 9 Twitter Competition, 1 Short Video Competition), Blogger terpilih Writingthon 2020, Best Story Telling Danone Blogger Academy 2, Best Member Backpacker Jakarta 2014, ASN, Email : mastiyan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tidak Ada Lagi "Too Big To Fail", Sudah Siapkah Kompasiana ?

24 Juni 2017   04:30 Diperbarui: 24 Juni 2017   22:03 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deskripsi : New Logo Kompasiana I Sumber Foto : Kompasiana

Hari ini di social media berhamburan status, share link, tweet, meme dan post menyangkut tutupnya 7 Eleven. Manajemen PT Modern Internasional Tbk akan menutup seluruh gerai 7-Eleven yang di bawah anak usaha perseroan yaitu PT Modern Sevel Indonesia. Penutupan seluruh gerai di Indonesia mulai dilakukan 30 Juni 2017.

Dalam beberapa tahun terakhir atau dekade terakhir, daku tidak pernah berfikir akan jatuhnya brand ternama ini. Kalau netizen bilang "Too Big To Fail" atau terlalu besar untuk gagal. 7 Elevan tiga tahun kebelakang merupakan lokasi yang ngehits untuk nongkrong bagi anak muda dan entepreneur bertemu urusan loby-loby kece. 

Menurut daku jatuhnya brand ini karena penggunaan strategi penjualan produk yang stuck on the midle tidak berjalan konsisten dari sisi penjualan. Layanan berupa makanan siap saji ala cafe seperti spagheti, nasi goreng instan, chicken katsu, japanese chicken curry dan lainnya  mungkin hanya diawal-awal beroperasinya 7 Eleven di Indonesia produk tersebut digemari. 

Tetapi beberapa tahun terakhir para anak muda hanya numpang nongkrong dengan membeli snack, dan minuman bersoda / mineral yang harganya masih cukup terjangkau bagi kebanyakan anak muda di kota besar. Sepertinya 7 Eleven nanggung dalam membranding diri di Indonesia, berniat seperti coffee shop premium yang memiliki brand image high class tetapi menjual pula produk masyarakat kebanyakan.

Pilihan strategi menjual layanan produk yang tidak sesuai dengan tingkat ekonomi masyarakat kebanyakan membuat brand ini berdarah-darah mempertahankan hidup. PT Modern Internasional Tbk mengalami penurunan penjualan 37,17 persen dari Rp 220,66 miliar menjadi Rp 138,62 miliar pada kuartal I 2017.

Selain 7 Eleven apabila masih ingat sepekan yang lalu menyangkut akuisisi search engine Yahoo oleh Verizon Communication Inc. Akuisisi tersebut bernilaUS$ 4,48 miliar (setara Rp 59,7 triliun). Tuntasnya akuisisi ini menandai akhir Yahoo sebagai perusahaan internet mandiri. Yahoo sebelumnya dikenal sebagai perusahaan pionir internet yang nilainya pernah menyentuh angka US$ 100 miliar (setara Rp 1.333 triliun).

Kita mengenal Yahoo sebagai brand layanan internet seperti mesin pencari, email, chat dan massanger. Sebelum begitu kuatnya Google di layanan internet, kita lebih dulu mengenal yahoo. Tua sebelum waktunya itu mungkin kata yang bisa daku ucapkan. Terlalu percaya diri dengan produk yang dimiliki dan enggan bertarung dengan microsoft di era pertengahan 90an dan periode 2000an.

Ketika era smartphone tubuh dan startup baru bermunculan, mengusung misi baru dalam mengenggam tehnologi, daku tidak melihat ada terobosan dari Yahoo di era 2000-an. Bisa daku katakan terlihat seperti tidak mampu beradaptasi di era smartphone. Yahoo terlihat kedodoran untuk menghadirkan ekosistem untuk mendatangkan trafik dari pengguna smartphone. 

Sebetulnya sebelumnya kita juga tau bahwa ada korban dari "Too Big To Fail" lainnya yang lebih dulu pensiun atau tertatih-tatih merintis kembali kejayaan. Friendster, Nokia dan Blackberry bisa menjadi contoh. Tidak banyak yang mengira friendster dan ke-2 raksasa ponsel ini akan terpuruk begitu dalamnya. 

Nokia percaya diri dengan sistem operasi Sybian dan Blackberry dengan Blackberry Massanger. Ketika Android dan touchscreen mulai digunakan oleh merk pesaing lainnya, ke 2 brand ini merasa sistem operasi yang mereka gunakan sudah cukup tangguh. Padahal para pengguna mulai beralih kepada tehnologi yang baru. Ketika mereka tersadar tetapi sudah terlambat dan berujung megalami luka yang sulit untuk disembuhkan.

Bagaimanakah dengan Kompasiana ???? ...... 

Semenjak ditinggal Kang Pepih dengan kapal barunya, Kompasiana terlihat mencoba merubah diri. Tagline "Media Warga" berubah menjadi "Beyond Blogging", ini salah satu bentuk perubahannya. Selain dari itu di awal bulan juni tampilan baru mulai diperkenalkan walaupun masih dalam bentuk beta.

Ada baiknya Kompasiana mulai membaca perkembangan prilaku dari para kompasianers / blogger kompasiana. Daku mengalami di tahun 2015 dimana banyak kompasianers yang sering ikut Kompasiana Nangkring masih setia dengan platform ini. Tetapi di tahun 2017 teman-teman daku tersebut lambat-laun hanya bisa dihitung dengan jari yang setia dan tidak mendua. Daku yakin para mimin memperhatikan hal tersebut di social media.

Brand - brand yg colaps tersebut bisa menjadi contoh bagaimana mereka begitu percaya diri dengan produknya dan tidak rela "tiru dan modifikasi" tetapi akhirnya keplesetan kulit pisang. Ketika Kompasiana merasa sebagai platform blog dengan tagline "Beyond Blogging" apakah di kerumunan blogger dianggap sebagai platform blog ????? ....... Para Blogger masih menyebut K dengan sebutannya blog keroyokan, belum menyebut sebagai personal blog.

Pada saat perkenalan perubahan logo Kompasiana dan tagline baru "Beyond Blogging" pada bulan januari 2017,  mas Isjed pun menyampaikan masyarakat masih melihat Kompasiana sebagai media mainstream belum personal blog. Berdasarkan hasil survey masih dibawah 1 % yang menganggap Kompasiana sebagai blog.

Menurut daku selain perubahan tampilan muka, Kompasiana sebaiknya berinovasi dengan engine nya. Daku beberapa kali coba berdiskusi dengan para kompasianers, ada yang berpendapat bahwa dahulu untuk mendapatkan 500 pembaca keatas seperti memejamkan mata. Tetapi saat ini untuk mendapatkan 100 pembaca saja butuh tenaga lebih. Untuk mendapatkan lebih dari 100 pembaca kita harus share ke berbagai social media dan group What Apps. 

Pengurangan jumlah pembaca ini semenjak tampilan 2015 dimana headline & highlight dari masing-masing kategori / rubrik  tidak muncul di tampilan muka. Harus mengklik dulu rubrik lalu mencari kategori yang dipilih baru terlihat Headline dan Highlight dari rubrik tersebut. 

Kenapa jumlah pembaca itu penting bagi kompasianers  ?? .... menurut daku itu yang membuat adrenalin para kompasianers untuk menulis kembali itu bagaikan api yang selalu menyala. Tidak semua kompasianers seperti penulis sejati seperti opa 'Tjiptadinata' , pak Djulianto, mbak syifa, mas Bambang dan beberapa lainnya. Mereka perlu pancingan untuk tetap menulis dan setia. 

Permasalahan log-in juga yang selalu jadi bahan obrolan. Salah satu contohnya ketika daku akan comment terhadap artikel yang dishare salah-satu teman di apps social media, kita harus log-in terlebih dahulu tetapi tidak bisa masuk. Jadi daku harus membuka dulu di browser mozila bukan melalui apps social media di smartphone lalu mencari artikel tersebut. 2 (dua) kali jalan kalau kata orang betawi bilang. 

Apabila Kompasiana mau mengadaptasi dari Wordpress atau Blogspot dimana bisa comment hanya dengan mencantumkan nama, akun email, nama blog dan tidak perlu log-in ke kompasiana akan menjadi nilai tambah menurut daku...... sampai hari ini Blogwalking merupakan cara pergaulan sesama blogger walaupun beda platform. Daku yakin apabila bila ini dilakukan oleh Kompasiana, maka  akan menjaring lebih banyak blogger menjadi user  K yang tulisannya nggak selalu curhat.....sesekali bolehlah curhat kayak daku sekarang....

Daku sebetulnya masih menunggu rahasia dari "v20106.kompasiana.com" apakah Kompasiana akan menjadi subdomain !!! .....

Ini akan lebih menarik karena bagi seorang blogger bila ditanya blognya apa ? ...... sejatinya ingin menjawab misal bloggerudik.kompasiana.com atau bloggerudik.com. Untuk menjawab blognya di 'Kompasiana', takutnya dianggap mewakili brand perusahaan Kompasiana. Keren juga kalau subdomain atau Kompasiana menjual domain dengan tampilan muka tetap di Kompasiana.

----ooo000ooo----

Facebook masih bisa bertahan karena selalu berinovasi dan meng'copy-paste produk pesaing. Friensdter gugur, Nokia & Blackberry ngap-ngapan walaupun hidup segan - mati tak mau, dan Yahoo diambil alih walaupun masih sadar belom pingsan. Ini bisa menjadi pembelajaran bagi para pebisnis.....apakah Kompasiana berikutnya ??? .... Semoga tidak... 

Too Much Love Your Product Will Kill You, mempertahankan produk ketika zaman berganti dan tidakaware terhadap pergerakan customer akan membuat luka yang sulit sembuh. 

Daku masih setia di Kompasiana "BELUM" menambah platform lain karena masih merasa nyaman dan males ribet ngurusin blog pribadi. Saat ini daku  masih ada aktifitas lain (Abdi Negara, Seller Online, Aktivis Pendidikan, Pensiunan Backpacker)  yang memakan waktu. 

Salam Hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto -

twitter : @AndrieGan , Instagram : @andrie_gan

blog : http://v20106.kompasiana.com/rakyatjelata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun