Sekumpulan pria menunggangi kuda dengan pakaian bergaya koboi. Kuda pun berlari dengan kencangnya melewati ngarai, bukit yang berada di gurun yang berlokasi di benua Amerika. Pria-pria itu terlihat gagah tanpa memegang dan menghisap rokok. Muka dihiasi debu pasir gurun tampak terlihat sehat diatas kuda peranakan arab. Ini merupakan salah satu iklan di televisi yang pernah ditampilkan oleh salah-satu produsen rokok.
Tidak hanya di televisi iklan rokok acapkali muncul ruang publik yang dapat dilihat masyarakat umum termasuk anak-anak. Billboard, banner, spanduk bahkan mendompleng acara musik dan olahraga. Gambar yang ditampilkan dengan citra keren, gaul, macho, persahabatan, bahagia, meningkatkan percaya diri dan gue banget. Apabila ini dilihat terus menerus tanpa pembatasan maka dapat di anggap oleh anak-anak ini merupakan hal yang wajar, mencari tau apa yang diiklankan kemudian mengkomsumsinya.
Berdasarkan studi Universitas Uhamka yang berkerjasama dengan Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2007 di jabodetabek menunjukkan 46,3% remaja mengaku mulai merokok terpengaruh oleh iklan rokok. 50 % remaja perokok merasa dirinya seperti yang dicitrakan iklan rokok. 29 % remaja perokok menyalakan rokoknya ketika melihat iklan rokok pada saat remaja melihat iklan rokok.
Hasil kajian lain melalui Survey Sosial Ekonomi Nasional 2004 menunjukkan 70 % perokok mulai merokok sebelum usia 19 tahun. Dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun perokok remaja usia antara 10-14 tahun meningkat hampir 2 kali lipat, yaitu 9,5 % pada tahun 2001 menjadi 17,5 % pada tahun 2010. Lemahnya pengaturan iklan rokok dan agresifitas promosi dimedia penyiaran berdampak pada peningkatan prevalensi perokok anak.
Berarti pengaturan iklan rokok di media penyiaran yang ada saat ini hanya bersifat pembatasan. Iklan rokok yang dapat ditayangkan pada jam 21.30 sampai dengan 05.00 sangatlah TIDAK EFEKTIF. Lima tahun lalu Komisi Perlindungan Anak melakukan survey cepat di 10 kota menunjukkan 92 % remaja usia 13 - 15 tahun melihat rokok di televisi. Hasil tersebut mirip dengan Global Youth Tobaco Survey 2009 yang mendampatkan hasil remaja melihat iklan rokok 90 % dari televisi, 84 % melihat Billboard, dan 76 % dibaca di media cetak.
Talkshow 'Stop Iklan Rokok' Komnas Pengendalian Tembakau
Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) pada Jumat (10/2) mengundang blogger dan media dalam talkshow “Mengapa Iklan Rokok Seharusnya Tidak Ada?”. Selain blogger dan segelintir media beberapa public figure pun hadir antara lain Moza Pramitha sebagai moderator, Sarah Sechan, RST. Masli, Ekki Soekarno dan M. Joni sebagai Pengurus Komnas PT Bidang Hukum dan Advokasi. Talkshow ini bertempat di Wyl’s Kitchen, Veranda Hotel, Jakarta Selatan.
Sarah Sechan menanggapi apa yang disampaikan Moza "Anak ku 13 tahun , beruntungnya saya bukan keluarga perokok. saya pernah coba-coba walaupun akhirnya saya tidak merokok. saya takutkan anak saya coba-coba. Anak sekarang cara berkomunikasinya bukan dengan larangan tetapi dikasih tau dan berdiskusi. Problemnya dan mengkhawatirkan adalah iklan rokok menjual lifestyle".
Dari dua selebritis ini daku melihat ke khawatiran seorang ibu terhadap fenomena rokok yang berkembang saat ini walaupun iklan sudah dibatasi waktunya. Rokok merajalela bahkan dapat dibeli ketengan / satuan perbatang. Mozza pun memberikan pertanyaan kepada RTS Masli yang sudah berkecimpung selama 40 tahun di dunia periklanan "bagaimana mencegah agar tidak digoda iklan super keren dari rokok ???....".
Praktisi iklan 40 tahun itu menjawab dengan panjang lebar "Iklan itu perannya menyampaikan informasi dimana harus ada informasi produk. Iklan dibungkus secara persuasif. Dalam iklan rokok, pesan / informasi apa yang disampaikan !!!!!! ... sebuah pertanyaan besar. Iklan rokok menampilkan ketangguhan, gagah, koboi berharap seseorang yang melihat iklan tersebut membayangkan seperti koboi. Padahal iklan tersebut pesannya kosong"
lalu RTS Masli melanjutkan ucapannya "Rokok itu belum haram, kalau rokok masih kategori halal berarti masih boleh diproduksi. Kalau boleh diproduksi berarti boleh dipasarkan. Salah satu kaki dari pemasaran adalah promosi. Promosi adalah cara / iklan untuk membujuk. Persoalan nya pesan nya apa yang disampaikan 'Nggak ada'. Pembatasan iklan rokok dengan waktu penayangan dimana target iklan 18 tahun keatas meski dibatasi waktu tayang pada pukul 21.30 - 05.00, hal itu tetap berpotensi memapar anak-anak. Siapa yang berani menjamin tidak ada anak dibawah 18 tahun tidak menonton ??? .... berarti ini tanggung jawab semua termasuk stake holder" bicara lantang.
Praktisi hukum Muhamad Joni dengan nada tinggi bersikeras agar pelarangan tayangan iklan rokok harus dilakukan. Tidak lah cukup hanya dengan membatasi penayangan iklan rokok. Harus dengan pelarangan tegas. Anak dan remaja akan menjadi perokok yang loyal. Ia mengharapkan konsistensi Komisi I DPR yang melarang penyiaran iklan rokok.
Musisi Ekki Soekarno menyarankan kepada seluruh musisi tidak perlu khawatir kekurangan sponsor di luar perusahaan rokok ketika menyelenggarakan event musik. Ia sudah mencontohkan dengan melakukan penolakan sponsor rokok dan minuman keras dalam festival musik sudah dimulai dalam sebuah festival drumer dan perkusi. Ternyata bisa walaupun untuk mencari sponsor tunggal seperti biasa yang dilakukan oleh perusahaan rokok perlu effort / usaha untuk meyakinkan jenis usaha lainnya.
-----oooo000000oooo--------
Saatnya bagi kita masyarakat mendorong dan memaksa stake holder bertindak berani agar iklan rokok tidak hanya pembatasan waktu tayang saja tetapi juga NIHIL iklan rokok.
Salam hangat Blogger Rusuh berambut Undercut - Andri Mastiyanto
Twitter : @Andriegan , Instagram : @andrie_gan , email : mastiyan@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H