“Percepatan perputaran barang di Pelabuhan, adalah kunci dari efektifitas terbentuknya harga-harga murah di pasaran komoditi” itulah kredo pemerintahan Presiden Jokowi saat ini, segitiga pembangunan Jokowi yang diletakkan pada : infrastruktur, energy dan perputaran barang menjadi sangat penting dalam memahami cara kerja Pemerintahan Jokowi.
Saat meresmikan Terminal Peti Kemas Kalibaru di Pelindo II (13/9/2012), Presiden mengatakan “Belawan dan Tanjung Perak” amat lama dwelling time-nya (ukuran waktu yang dibutuhkan kontainer impor, sejak kontainer dibongkar dari kapal (berthing) sampai dengan keluar dari kawasan pelabuhan /gate out). Ucapan ini harus menjadi perhatian serius dari pihak-pihak terkait. Namun juga secara dingin dalam melihat persoalan, karena bagaimanapun juga persepsi atas pelabuhan-pelabuhan kita harus dijaga, agar jangan sampai muncul bad image atas pengelolaan pelabuhan, karena salah pengertian. Kemudian pernyataan Presiden tersebut diperkuat oleh Menko Maritim Luhut B Panjaitan, berdasarkan data-data laporan intelijen yang ia dapatkan bahkan angkanya mengerikan 8 sampai dengan 10 hari.
Adalah menarik ungkapan dari salah satu pengguna jasa Pelabuhan Belawan yang heran atas laporan intelijen itu, seperti dikutip, JPNN (19/9/2016) :
“Selama ini saya merasakan Pelindo I efektif kok, dwelling time 3-5 hari tidak sampai 10 hari. Saya menggunakan jasa pelabuhan di Medan sudah cukup lama, tapi kalau sampai 10 hari ya saya tidak merasakan itu, bisa dicek data-data arus barang kita kok,” ujar Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Surianto di Medan, Senin (19/9). (Pengguna Jasa Puji Pelayanan Pelindo I, JPNN)
Selain itu ada testimoni dari Khairul Mahalli, Kadin Sumut : Menyatakan dwelling time hanya 3-5 hari.
Testimoni dari pihak asosiasi atau pengguna jasa pelabuhan harusnya juga jadi ukuran tingkat kepuasan pelanggan, dan ini adalah bagian dari audit pelayanan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor jasa publik. Audit ini harusnya lebih transparan dan profesional bukan dari sumber laporan intelijen, audit dilakukan atas perintah evaluasi Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, karena efektifitas pelabuhan itu adalah wilayah kewenangan Kementerian BUMN dalam soal efektifitas manajemen, sementara dari wilayah arus gerak barang di sektor publik adalah wilayah Kementerian Perhubungan. Inilah yang harus jadi pegangan dalam sumber pelaporan perusahaan secara profesional.
Secara sofitri (pemikiran cepat tapi salah), pihak-pihak yang terkait dalam soal dwelling time adalah operator pelabuhan dalam hal ini Pelindo, inilah yang kemudian tertanam banyak pihak, seperti ada kementerian-kementerian yang terkait dalam urusan pelabuhan dimana perijinan berasal dari kementerian yang bersangkutan dalam arus masuk barang, pihak Bea Cukai dalam ini menentukan di jalur biru, hijau dan merah. Jadi membaca arus gerak barang itu harus memperhatikan siapa pihak terkait, sementara di Pelindo hanya pada saat penurunan kapal dan masuk ke Container Yard, setelah itu baru Customs masuk, namun persoalan sesungguhnya banyak pihak yang lebih terkait atas soal ini yaitu pihak Bea Cukai (customs) karena menyangkut masalah perijinan, di titik ini harus dievaluasi, sementara juga adanya pemeriksaan berapa lama pengguna jasa pelabuhan mengambil barangnya, soal perijinan menjadi amat penting diperhatikan, banyak kasus pihak importir baru mengurus ijin masuk barang, setelah barang masuk. Ini juga yang harus dikaji dan masuk ke dalam variabel arus gerak barang.
Dalam kasus Dwelling Time Pelindo I kena senggol, ini jadi menarik bagaimanapun wilayah operator Pelindo I adalah wilayah paling potensial. Karena disana ada Kuala Tanjung, pelabuhan besar yang sedang dibangun, dimana disebut-sebut akan jadi pesaing Pelabuhan Singapura dan Pelabuhan Tanjung Pelepas, Malaysia. Pelabuhan Kuala Tanjung, menjadi titik tolak kembalinya bangsa ini menghadapi lautan, menjadi bangsa dengan kekuatan pelabuhan seperti jaman sebelum kedatangan VOC.
Persepsi atas kekuatan manajemen pelabuhan kita harus dibangun oleh bangsa kita sendiri, jangan sampai kedaulatan pelabuhan kita dikelola oleh pihak asing, namun pembenahan itu perlu dilakukan dan mencermati kemarahan Presiden juga jangan sampai terkena siram pihak yang sebenarnya sudah bekerja dengan efektif, karena adanya problem-problem seperti “manajemen perijinan” dalam hal ini Bea Cukai.
Membaca Kemarahan Presiden
Kemarahan Presiden adalah sangat serius, karena ini menyangkut hidup orang banyak. Namun lamanya waktu dwelling time di pelabuhan Belawan, selama lebih dari 5 hari, atau Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan bilang 8 sampai dengan 10 hari, apakah didasarkan pada laporan intelijen?, apakah ini bisa dibuka by data, karena ini menyangkut pelayanan public dimana jangan sampai dibawa ke isu-isu politik, maka harus dibuka laporan itu kepada public secara by data dan siapa yang melaporkan.
Sementara untuk kasus pungli dimana ada laporan nego-nego soal angkut barang crane, harus tertangkap tangan, karena bagaimanapun juga setiap pengelola jasa pelabuhan dalam tahapan pengangkutan dari kapal ke CY (Container Yard), ada RKB (Rencana Kerja Bulanan), para operator dikejar target atas RKB itu, misalnya di Pelindo I harus ada 32 container diangkut dalam satu hari, dimana operatornya empat shift terdiri dari 80 operator. Setelah di CY, barulah masalah perijinan, dan disini pihak Pelindo tidak berwenang, karena ini wewenang pihak Bea Cukai.
Juga terkadang masalah perijinan, banyak kasus perijinan belum selesai, barang sudah sampai. Jadi pihak importir sendiri yang membuat lamanya barang terparkir, harus ada riset khusus soal ini sehingga semua ada dalam inventaris data yang bisa dijadikan bahan eksekusi dalam mengukur evaluasi efektifitas manajemen pelabuhan.
Dalam proses pergerakan barang dari kapal ke darat, masalah perijinan-lah yang kerap menghambat lamanya pergerakan barang, selain itu masalah “kemauan importir” mengeluarkan barangnya dari pelabuhan, mereka merasa lebih aman menaruh barangnya di pelabuhan, sebelum barangnya dibawa keluar, kalau dalam hal ini bisa saja seperti Pelindo II menerapkan denda 900% atas penalty keterlambatan barang, sehingga banyak faktor atas keterlambatan itu.
Jadi laporan Presiden itu harusnya dibuka saja dalam bahasan-bahasan publik, karena ini masuk ke dalam wilayah area public service, kemarin saat Presiden menyebutkan itu jelas, tidak hanya Pelindo yang harus juga menjawab secara professional, namun juga pihak-pihak terkait termasuk Dirjen Bea Cukai, selain itu pihak-pihak Asosiasi Importir diikut sertakan, sehingga persoalan bisa terbaca secara terintegrasi.
Bagaimana mengklarifikasi laporan intelijen Soal Belawan
Laporan yang diterima Presiden dan juga disuarakan oleh Menteri Luhut Binsar Panjaitan, adalah jenis laporan intelijen, namun laporan intelijen seharusnya tidak boleh mencuat ke public. Bila laporan sudah mencuat ke public, harusnya sudah dikategorikan sebagai “Laporan Publik” disinilah kemudian harus bermain by data. Apakah data yang diterima Presiden dan Menko Luhut sudah lengkap, dan memiliki keakuratan atas bukti-bukti laporan, karena sifatnya sudah muncul di media, maka laporan itu harusnya bisa dikaji dalam diskusi-diskusi public, sehingga bisa tahu persoalannya dimana. Rangkaian arus barang melibatkan banyak pihak sampai ke gudang-gudang pemiliknya, mulai dari pengangkatan barang, parkir barang, pemeriksaan ijin CIQ (Customs, Immigration, Quarantine), pengangkutan barang keluar pelabuhan. Nah, kemarin ada laporan pungli soal crane, harusnya ada data yang akurat, bahwa nego-nego soal crane, bila ini jadi laporan maka harus dibuka juga dan jadi tolok ukur pembenahan manajemen di Pelindo, tapi bila laporan ini tidak benar dan hanya tebak-tebak manggis, justru berita-berita kemarin amat merugikan Pelindo.
Teknik komunikasi Pelindo I juga harus diperbaiki, ketika ada laporan yang sifatnya belum jelas dan belum terbuka data-nya jangan bertindak menjawab karena untuk menghindari “kegaduhan” bagaimanapun pelabuhan adalah urat nadi penting perekonomian, kegaduhan akan membuat kebingungan para pengusaha yang memiliki kepentingan bisnis di pelabuhan, dan menjadikan pesaing-pesaing pelabuhan seperti di Singapura dan Malaysia bisa merebut pangsa pasar pelabuhan di Belawan, sikap responsive harus dilakukan dalam titik mencari kebenaran. Karena manajemen yang professional tidak bisa bekerja berdasarkan arus data gelap, bila memang ada “management fraud” di lapangan tentunya ini bisa jadi bahan alur evaluasi, tapi juga bersiap menyiapkan data-data arus barang secara terbuka di BICT (Belawan International Container Terminal). Juga yang terkait dengan masalah barang-barang yang tertahan masalah perijinan yang terkait dengan pihak Customs, ataupun pihak pengguna jasa pelabuhan dalam hal ini importir menahan-nahan barangnya di Pelabuhan.
Perlu menjadi catatan juga, kenapa Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Singapura misalnya, Indonesia adalah final destination, sementara Singapura itu hanya pindah barang di kapal (transshipment), jadi wajar bila tidak terjadi penumpukan barang, karena barang harus cepat keluar. Fakta-fakta di lapangan inilah yang harus jadi bahan kajian serius para stakeholder pelabuhan.
Langkah-langkah pembenahan
Setelah naiknya berita dwelling time, yang ngerinya menjadi santapan politik, ternyata bisa diredam dengan kemampuan komunikasi manajerial Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Pemanggilan Menhub ke jajaran direksi Pelindo, lalu melakukan pembicaraan ke Dirjen Bea Cukai, akan menjadikan kasus Dwelling Time yang sempat mencuat ke media bisa diredam, karena isu hanya berhenti pada persoalan profesionalitas dan persoalan pemeriksaan bagaimana kelancaran ijin-ijin yang menyangkut persoalan customs, bekerja. Namun kemudian terjadi tindakan tindakan yang berakibat bisa sangat fatal dalam persepsi pelabuhan di Belawan.
Bila persoalan itu ada di pihak pengguna jasa pelabuhan yang enggan mengeluarkan barang, maka perlu kebijakan yang keras seperti yang ada di Pelindo II, Permen I/77 soal lamanya waktu barang tunggu di pelabuhan dan denda 900%. Maka pemilik barang akan pikir seribu kali menginapkan barangnya setelah barang dinyatakan oke untuk dibawa keluar.
Diadakan "Situation Room" modern sebagai pengendali arus barang, sekaligus pengawas di lapangan. Situation Room inilah yang bisa dijadikan sebagai basis indikator adanya penyimpangan-penyimpangan di lapangan. Sekaligus mencatat perbaikan-perbaikan dan percepatan barang di ruang lingkup kerja Pelindo.
Selain pembenahan di internal perusahaan lewat kerja-kerja rasional, indikator untuk menilai Pelindo, jangan menggunakan data-data intelijen seperti yang dilakukan Menko Maritim Luhut, gunakanlah audit profesional dengan ukuran-ukuran yang rasional, dalam hal ini ukuran yang bisa dinilai adalah ukuran yang resmi dikeluarkan Kementerian BUMN. Biasakanlah menggunakan aturan SOP yang benar dalam melakukan indikator penilaian terhadap perusahaan BUMN bukan laporan yang sifatnya intelijen, bila kemudian laporan-laporan gelap yang jadi ukuran maka ini akan jadi preseden buruk bagi penilaian kinerja BUMN lainnya, sehingga akan memungkinkan intrik politik menjadi pegangan penentuan kebijakan bukan audit yang sifatnya terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan secara profesional.
Dari sinilah kita menganalisa masalah, dan melihat akibat yang terjadi dari kegaduhan yang sebenarnya tak perlu ini. Lalu menganatomi permasalahannya ada apa sebenarnya yang terjadi di Belawan, dan apa yang kemudian terjadi di baliknya.
A. Kenapa Menggunakan Laporan Intelijen yang pada akhirnya jadi konsumsi publik ?
Keanehan pertama dalam peristiwa Belawan adalah menggunakan "Laporan Intelijen" sebagai alat bukti adanya ketidakberesan di persoalan manajemen pelabuhan. Penggunaan laporan intelijen ini sesungguhnya bukan untuk melakukan tindakan tindakan perbaikan, tapi melakukan sebuah tindakan persepsi "dimana kemudian" semua mata tertuju pada Pelindo I dan Pelindo III. Namun kemudian berita-berita setelah mencuatnya isu "dwelling time" malah sasarannya hanya Pelindo I. Ada apa dengan Pelindo I ?, Padahal bila objektif permasalahan lamanya dwelling time pelabuhan justru terletak pada dua hal : Masalah Perijinan dan Masalah Kemauan Pengguna Jasa mengambil barangnya. Masalah Perijinan ini terkait dengan Bea Cukai, kenapa dalam isu "Dwelling Time" pihak Bea Cukai sama sekali tidak bersuara. Bagi publik yang awam maka persoalan dwelling time hanya jadi persoalan pengelola terminal pelabuhan dalam hal ini Pelindo, bukan lagi persoalan yang terkait dengan ijin keluarnya barang. Jadi kenapa Bea Cukai tidak dipertanyakan.
B. Indikator Kinerja Harus Dari Kementerian Terkait, Bukan Berdasarkan Isu
Pelindo adalah salah satu BUMN besar, mereka sekarang punya posisi penting sebagai pengembang wilayah-wilayah pelabuhan dalam hal ini juga wilayah ikutan. Potensi utamanya selain terletak pada pengembangan jasa pelabuhan, juga secara tak langsung pada pengembangan "Port City", Pelindo I contohnya sedang mengembangkan Pelabuhan terbesar di Selat Malaka yang bernama "Kuala Tanjung". Pelabuhan ini menjadi amat penting, bahkan apabila Thailand diasumsikan membuka tanah genting Kra, pelabuhan Kuala Tanjung tetap lancar, akan menjadi pelabuhan Hub Internasional di Indonesia Bagian Barat. Karena porsi Selat Malaka akan dipegang Kuala Tanjung ketimbang Pelabuhan Tanjung Pelepas, Port Klang dan Pelabuhan Singapura
Adalah sangat rentan apabila kemudian keadaan diperkeruh dengan "laporan data gelap", seharusnya BUMN dan Kementerian Perhubungan-lah yang menggunakan jasa independen dalam melakukan audit profesional untuk melihat perkembangan kinerja pelabuhan, termasuk soal Dwelling Time. Lalu melihat persoalan Dwelling Time dari keseluruhan, dengan menyederhanakan seluruh unsur dalam kemudahan perijinan dari beberapa elemen: Otoritas Pelabuhan, Syahbandar, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Karantina Kementerian Pertanian, BPOM, Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Imigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Industri dan lainnya, merancang sistem terpadu yang bisa mempersingkat waktu pemeriksaan. Kegiatan lainnya untuk memangkas dwelling time adalah peningkatan kapasitas alat bongkar muat, yang tentunya diiringi program perbaikan kinerja para operator. Pemerintah pun harus melakukan kerjasama dan koordinasi dengan para pelaku ekspor-impor sehingga dapat melakukan sinergi yang baik.
Mereka harus duduk bersama dan merumuskan keadaan-keadaan, dalam memenuhi permintaan Presiden. Jelas ini akan menjadi sinyal yang baik dalam manajemen dwelling time, tapi bila kemudian menyalahkan satu pihak saja, dengan adanya tanda-tanda kepentingan tersembunyi yang tak terkait dengan itikad baik membenahi dwelling time, tentunya ini akan jadi preseden tak baik bagi perkembangan manajemen pelabuhan di Indonesia.
C. Usulan Swasta Tidak Dikeluarkan Atas Suatu Isu ataupun "Menari Diatas Gelombang", Masuknya Swasta Harusnya Terkait Dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan.
Profesionalitas BUMN yang jauh dari intervensi kepentingan bisnis, apalagi kepentingan bisnis yang terkait dengan pihak yang "berkuasa" sudah bukan jamannya lagi. Pihak pejabat yang menyuarakan satu proyek, atau menyuarakan suatu perbaikan harus memastikan dirinya jauh dari itikad "menggolkan" proyek terselubung dibalik "framing media" atau adanya indikasi jual pengaruh. Adanya usulan agar swasta yang masuk, harus dikaji lebih dalam dan dibawa ke diskusi publik yang terbuka. Sementara laporan-laporan perbaikan manajemen, revitalisasi "Manajemen Satu Atap" dan segala bentuk efisiensinya, harus didalami secara serius, tidak dengan laporan "mata-mata" tapi harus dengan audit berkala yang dijalankan dengan profesional. Indikator inilah yang kemudian dikeluarkan oleh Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan dalam Kasus Pelindo, bila memang ada kekurangan dalam perbaikan kinerja.
D. Buatlah "Kendali Situasi" dan Berikan Pada Satu Otoritas Pelabuhan
Ada yang menarik dalam pengelolaan pelabuhan di masa Hindia Belanda, dimana seluruh kendali pelabuhan adalah "persoalan-persoalan negara", di masa Hindia Belanda Syahbandar berhak menangkap di wilayah kendalinya, bahkan berhak memegang senjata. "Pelabuhan adalah wilayah negara yang sakral" ini menjadi pedoman sampai sekarang, jangan kemudian pelabuhan dijadikan wilayah yang tak tersentuh pemerintah dengan intervensi swasta dari mulai jual beli konsesi sampai menekankan pembelian alat alat kerja pelabuhan.
Di masa Pemerintahan Sukarno hal ini dilanjutkan, begitu juga di masa Presiden Suharto, bahkan Presiden Suharto di tahun 1995 sudah melakukan pembenahan seluruh pelabuhan dibawah kendali negara secara utuh, peran BUMN disini dihidupkan dan diberdayakan. Karena dengan adanya BUMN yang kuat di sektor pelabuhan akan membentuk akumulasi kekayaan negara yang cepat.
Keberhasilan penangkapan yang dilakukan polisi perlu diapresiasi, karena pada nyatanya praktek lapangan itu terjadi namun jangan sampai ini kemudian dijadikan "framing media" untuk melabur satu pihak dan menggolkan kepentingan tertentu, untunglah ada pernyataan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang mampu membaca masalah dengan lugas,Menhub menyatakan "Diindikasikan bukan terjadi di Medan saja. Di Samarinda contohnya, katakan ada kenakalan-kenakal itu, di Jaya Pura, itu (kenakalan oknum) terjadi," kata dia ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (7/10/2016) /(Sumber : Detik.com) .
Apa yang diucapkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, adalah ucapan amat bijak dan cerdas. Di satu sisi Menhub ingin suatu perubahan radikal di ruang lingkup pelabuhan tapi di satu sisi lain Menhub berhasil membaca agar "peristiwa Belawan" tidak dijadikan framing media dari pihak pihak tertentu dalam melebur satu pihak saja kemudian dilakukan aksi yang tidak fair.
E. Menjaga Persepsi
Pelabuhan adalah persoalan persepsi. Peristiwa isu Dwelling Time diharapkan tidak boleh menjadi "kehebohan publik" dikemudian waktu, tapi lakukanlah lewat pembenahan internal, karena bila kemudian ada isu diledakkan soal inefesiensi pelabuhan kita, maka yang bersorak adalah Pelabuhan-Pelabuhan Negara tetangga sebagai kompetitor mereka bisa dengan cepat melobi prinsipal kapal kapal logistik untuk merapat ke pelabuhan mereka dan meninggalkan pelabuhan kita yang dipersepsi berantakan manajemennya karena kegaduhan media. Harus dibangun kecerdasan dalam mengelola isu sehingga tidak merugikan kepentingan nasional.
Niat Presiden jelas, karena selama ini Presiden Jokowi bekerja dengan tulus membangun Republik ini, namun juga masukan masukan harus dipilih secara bijak. Jangan sampai karena adanya pembisik yang menggunakan laporan gelap, kemudian ada pihak yang dikorbankan, apalagi secara objektif pihak tersebut sudah berprestasi. Dalam manajemen profesional, transparansi dalam masukan masukan kebijakan publik iu amat perlu, untuk melakukan evaluasi, biasakan menggunakan indikator audit yang profesional dan menjadi masukan menteri menteri terkait. Sehingga perbaikan menjadi terstrktur kemudian hindari dari para pembisik atau ring satu Presiden memanfaatkan masukan proyek tanpa prosedur jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H