Sementara untuk kasus pungli dimana ada laporan nego-nego soal angkut barang crane, harus tertangkap tangan, karena bagaimanapun juga setiap pengelola jasa pelabuhan dalam tahapan pengangkutan dari kapal ke CY (Container Yard), ada RKB (Rencana Kerja Bulanan), para operator dikejar target atas RKB itu, misalnya di Pelindo I harus ada 32 container diangkut dalam satu hari, dimana operatornya empat shift terdiri dari 80 operator. Setelah di CY, barulah masalah perijinan, dan disini pihak Pelindo tidak berwenang, karena ini wewenang pihak Bea Cukai.
Juga terkadang masalah perijinan, banyak kasus perijinan belum selesai, barang sudah sampai. Jadi pihak importir sendiri yang membuat lamanya barang terparkir, harus ada riset khusus soal ini sehingga semua ada dalam inventaris data yang bisa dijadikan bahan eksekusi dalam mengukur evaluasi efektifitas manajemen pelabuhan.
Dalam proses pergerakan barang dari kapal ke darat, masalah perijinan-lah yang kerap menghambat lamanya pergerakan barang, selain itu masalah “kemauan importir” mengeluarkan barangnya dari pelabuhan, mereka merasa lebih aman menaruh barangnya di pelabuhan, sebelum barangnya dibawa keluar, kalau dalam hal ini bisa saja seperti Pelindo II menerapkan denda 900% atas penalty keterlambatan barang, sehingga banyak faktor atas keterlambatan itu.
Jadi laporan Presiden itu harusnya dibuka saja dalam bahasan-bahasan publik, karena ini masuk ke dalam wilayah area public service, kemarin saat Presiden menyebutkan itu jelas, tidak hanya Pelindo yang harus juga menjawab secara professional, namun juga pihak-pihak terkait termasuk Dirjen Bea Cukai, selain itu pihak-pihak Asosiasi Importir diikut sertakan, sehingga persoalan bisa terbaca secara terintegrasi.
Bagaimana mengklarifikasi laporan intelijen Soal Belawan
Laporan yang diterima Presiden dan juga disuarakan oleh Menteri Luhut Binsar Panjaitan, adalah jenis laporan intelijen, namun laporan intelijen seharusnya tidak boleh mencuat ke public. Bila laporan sudah mencuat ke public, harusnya sudah dikategorikan sebagai “Laporan Publik” disinilah kemudian harus bermain by data. Apakah data yang diterima Presiden dan Menko Luhut sudah lengkap, dan memiliki keakuratan atas bukti-bukti laporan, karena sifatnya sudah muncul di media, maka laporan itu harusnya bisa dikaji dalam diskusi-diskusi public, sehingga bisa tahu persoalannya dimana. Rangkaian arus barang melibatkan banyak pihak sampai ke gudang-gudang pemiliknya, mulai dari pengangkatan barang, parkir barang, pemeriksaan ijin CIQ (Customs, Immigration, Quarantine), pengangkutan barang keluar pelabuhan. Nah, kemarin ada laporan pungli soal crane, harusnya ada data yang akurat, bahwa nego-nego soal crane, bila ini jadi laporan maka harus dibuka juga dan jadi tolok ukur pembenahan manajemen di Pelindo, tapi bila laporan ini tidak benar dan hanya tebak-tebak manggis, justru berita-berita kemarin amat merugikan Pelindo.
Teknik komunikasi Pelindo I juga harus diperbaiki, ketika ada laporan yang sifatnya belum jelas dan belum terbuka data-nya jangan bertindak menjawab karena untuk menghindari “kegaduhan” bagaimanapun pelabuhan adalah urat nadi penting perekonomian, kegaduhan akan membuat kebingungan para pengusaha yang memiliki kepentingan bisnis di pelabuhan, dan menjadikan pesaing-pesaing pelabuhan seperti di Singapura dan Malaysia bisa merebut pangsa pasar pelabuhan di Belawan, sikap responsive harus dilakukan dalam titik mencari kebenaran. Karena manajemen yang professional tidak bisa bekerja berdasarkan arus data gelap, bila memang ada “management fraud” di lapangan tentunya ini bisa jadi bahan alur evaluasi, tapi juga bersiap menyiapkan data-data arus barang secara terbuka di BICT (Belawan International Container Terminal). Juga yang terkait dengan masalah barang-barang yang tertahan masalah perijinan yang terkait dengan pihak Customs, ataupun pihak pengguna jasa pelabuhan dalam hal ini importir menahan-nahan barangnya di Pelabuhan.
Perlu menjadi catatan juga, kenapa Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Singapura misalnya, Indonesia adalah final destination, sementara Singapura itu hanya pindah barang di kapal (transshipment), jadi wajar bila tidak terjadi penumpukan barang, karena barang harus cepat keluar. Fakta-fakta di lapangan inilah yang harus jadi bahan kajian serius para stakeholder pelabuhan.
Langkah-langkah pembenahan
Setelah naiknya berita dwelling time, yang ngerinya menjadi santapan politik, ternyata bisa diredam dengan kemampuan komunikasi manajerial Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Pemanggilan Menhub ke jajaran direksi Pelindo, lalu melakukan pembicaraan ke Dirjen Bea Cukai, akan menjadikan kasus Dwelling Time yang sempat mencuat ke media bisa diredam, karena isu hanya berhenti pada persoalan profesionalitas dan persoalan pemeriksaan bagaimana kelancaran ijin-ijin yang menyangkut persoalan customs, bekerja. Namun kemudian terjadi tindakan tindakan yang berakibat bisa sangat fatal dalam persepsi pelabuhan di Belawan.
Bila persoalan itu ada di pihak pengguna jasa pelabuhan yang enggan mengeluarkan barang, maka perlu kebijakan yang keras seperti yang ada di Pelindo II, Permen I/77 soal lamanya waktu barang tunggu di pelabuhan dan denda 900%. Maka pemilik barang akan pikir seribu kali menginapkan barangnya setelah barang dinyatakan oke untuk dibawa keluar.