Seorang teman serius memandangi gawainya dan membaca sejumlah pesan sambil bergumam.
"Duh... ramai lagi ini.."katanya.
"Kenapa?"
"Ini nih pak bos... Sama anak baru.Dari kemarin berdebat terus."
Saya terdiam dan tidak berusaha melanjutkan pembicaraan. Sekilas saya sudah tahu apa yang dimaksud dan tidak mau terlibat lebih jauh karena memang kebetulan kami bukan satu bagian.
Saya melanjutkan pekerjaan namun dengan pikiran yang sudah sedikit terkontaminasi dengan percakapan yang cuma sesaat tadi.Â
Perbedaan pendapat dalam suatu diskusi adalah hal yang wajar. Entah itu dalam situasi formal ataupun non formal. Antar sesama rekan kerja atau antara atasan dan bawahan.Â
egiatan diskusi dalam proses pengambilan keputusan tentu melibatkan banyak kepala dengan isi yang berbeda. Selisih paham adalah kejadian yang lumrah.
Suasana akan menjadi tidak sehat jika perbedaan pendapat kemudian dilatarbelakangi sentimen pribadi. Masing-masing pihak menjadi tidak objektif dalam menerima masukan dan mencerna pendapat lain yang berbeda sudut pandang.
Dalam beberapa kasus, ketimpangan kebebasan aktualisasi diri dalam forum diskusi disebabkan karena perbedaan usia atau perbedaan generasi yang kalau istilah sekarang generation gap. Masih ada beberapa senior yang tidak cukup terbuka untuk menerima masukan dari rekan kerja yang secara usia ataupun masa kerja masuk kategori junior.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, saat ini generasi Y atau generasi milenial dan generasi Z mendominasi jumlah angkatan kerja. Kemudian, diikuti oleh generasi X dan baby boomer.
Dari data tersebut bisa tergambar bahwa komposisi pekerja di kantor pun akan didominasi oleh anak muda.
Perkembangan zaman tentu saja akan diikuti dengan perubahan yang membentuk pola pikir dan karakter manusia.
Bagi generasi senior, mereka terbiasa dengan budaya workaholic dan kompetitif yang dimiliki dengan tetap menjaga loyalitas dan nilai-nilai etika dalam dunia kerja.
Anak zaman sekarang yang sejak lahir hidupnya sudah dikelilingi dengan hal-hal modern dan kemudahan teknologi, memunculkan pola pikir terbuka dan praktis.
Mereka juga melewati masa krisis ekonomi,PHK massal dan pandemi. Pengalaman ini membentuk mereka menjadi pribadi yang harus fokus pada diri sendiri dan menjaga keseimbangan antara karir dan pribadi.
Lantas bagaimana cara meminimalisir rasa kekurangnyamanan satu sama lain dalam berinteraksi?
Kalau kita amati, pola komunikasi lah yang paling banyak memberi andil dalam perbedaan atmosfer penerimaan dalam interaksi.
Anak muda sekarang lebih mengedepankan kepraktisan dan efisiensi bahasa dalam berbicara. Mungkin jadi terkesan kurang sopan bagi segelintir orang.
Suatu situasi antara dua orang yang masing-masing ingin menjadi dominan dalam satu pola komunikasi tidak akan memberikan kenyamanan. Masing-masing harus menyadari bahwa menurunkan standar adalah yang terbaik yang bisa diupayakan.
Bagi para senior, tidak ada salahnya untuk mengikuti pola pikir dan komunikasi anak milenial yang lebih praktis dan efisien. Sepanjang masih dalam koridor wajar dan normal secara etika, cara mereka berinteraksi terkadang bisa membuat suasana diskusi menjadi lebih rileks.Â
Pemilihan kata yang jauh dari makna diktator, menggurui atau menghakimi akan lebih bisa diterima. Posisikan diri tetap sebagai partner yang saling membutuhkan dan mendukung. Istilah-istilah zaman sekarang pun tidak ada salahnya dipakai untuk menjadi bridging komunikasi dengan anak milenial.Â
Sedangkan bagi anak milenial, berusaha sedikit bersabar untuk mengemukakan pendapat. Seringkali semangat untuk mengaktualisasikan diri jadi mengesampingkan rasa respect kepada senior.Â
Pada akhirnya, berusaha memahami ekspektasi masing-masing dapat menyelaraskan proses mencapai tujuan bersama. Tanpa menurunkan ego dan berusaha menerima perbedaan, selamanya tidak akan tercapai hubungan yang baik antar rekan kerja yang berbeda generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H