tahankan budaya patriarki, anak laki-laki diajarkan untuk menjadi pemimpin dan pelindung, sementara emosi dan kelembutan sering kali dianggap sebagai kelemahan. Di sinilah letak tantangan, karena ketika nilai-nilai ini diterima tanpa kritik, mereka dapat berubah menjadi pola toxic masculinity yang membatasi ekspresi emosi dan merugikan kesehatan mental.
Lingkungan Sosial dan Pendidikan sebagai Penguat atau Pelengkap
Lingkungan sosial dan pendidikan juga memainkan peran penting dalam pembentukan norma maskulinitas. Di sekolah, misalnya, interaksi dengan teman sebaya dapat memperkuat atau bahkan menantang nilai-nilai yang diajarkan di rumah.Â
Dalam beberapa kasus, lingkungan sosial dapat menjadi penguat norma maskulinitas yang ekstrem, seperti penindasan terhadap teman yang menunjukkan kelemahan atau tidak sesuai dengan standar maskulinitas tradisional.Â
Sebaliknya, beberapa teman dan guru dapat membuka ruang bagi pemahaman yang lebih inklusif, mendorong anak laki-laki untuk mengekspresikan emosi mereka dan memandang maskulinitas dengan cara yang lebih fleksibel.
Digitalisasi dan Tantangan Baru dalam Konsep Maskulinitas
Era digital membawa dimensi baru dalam transmisi nilai maskulinitas. Anak-anak dan remaja kini terpapar oleh berbagai representasi maskulinitas melalui media sosial, film, dan berita online yang menunjukkan perspektif berbeda.Â
Akses ini memungkinkan mereka untuk melihat model maskulinitas yang lebih inklusif dan adaptif, yang mungkin tidak mereka dapatkan dari lingkungan keluarga tradisional.Â
Di sisi lain, media digital juga dapat memperkuat stereotip maskulinitas melalui konten yang menekankan kekuatan fisik dan agresivitas sebagai standar maskulin.
Kesimpulan dan Implikasi bagi Generasi Mendatang
Penelitian ini menekankan bahwa konsep maskulinitas di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh norma-norma tradisional yang diteruskan melalui keluarga dan lingkungan sosial.Â