Mohon tunggu...
Rakha N.P. Dhaniwijaya
Rakha N.P. Dhaniwijaya Mohon Tunggu... Penulis - Homo sapien, resident of Earth

calon pengabdi, pecandu belajar dan mengajar, literature enthusiast.......a happy man for sure!

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Arema, Dualisme, dan Krisis Identitas Fans Bola Malang

23 Maret 2020   16:45 Diperbarui: 24 Maret 2020   12:47 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suporter Arema FC, Aremania saat mendukung tim nya di Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang, Jawa Timur (KOMPAS.com/SUCI RAHAYU)

Ketika mendengar kata "Malang Raya", banyak sekali yang terbesit di pikiran. Mulai dari keindahan Kampung Warna-Warni Jodipan, berbagai wahana permainan di Batu yang sudah pasti ramai pengunjung di musim liburan, hingga pantai-pantai di Kabupaten Malang untuk berelaksasi bersama kolega. Selain itu semua, ada satu hal yang menjadi identitas warga Malang, baik di tempatnya sendiri ataupun diperantauan: Arema.

Selama 32 tahun, klub sepak bola ini tidak hanya berdomisili dan bermain di Malang, tetapi mampu menjadi identitas dan kebanggaan warga Malang Raya.

Tidak percaya?

Pergilah ke Malang, dan Anda akan menjumpai di kampung-kampung kecil ataupun di dinding bangunan dekat Alun-Alun Kota, patung singa kecil dan graffiti berlatar biru bertuliskan "PRIDEOF MALANG", "SALAM SATU JIWA", dan lainnya. 

Bahkan, saking cintanya dengan Arema, sampai dibangun kampung sendiri yang rumahnya berwarna biru. Namanya Kampung Arema, di samping Kampung Warna-Warni, di bawah Jembatan Brantas Malang.

Munculnya kebanggaan ini bukan hanya karena membela klub bola di kampung kelahiran. Faktanya, klub ini juga mampu membawa nama Malang di tingkat tertinggi sepak bola Indonesia. Jika berbicara sejarah, meskipun dalam kurun waktu yang singkat, Arema juga bisa "menang" dan "juara Indonesia". 

Di masa awal berdiri, Arema mampu menjadi Juara Galatama 1992/93. Zaman ketika masih ada klub yang namanya Pelita Jaya, Warna Agung, Niac Mitra, dan lainnya.

Saat itu liga terbagi dua, yaitu Galatama (semi-profesional) dan Perserikatan (amatir). (Agak mengherankan mengetahui fakta bahwa PSM, Persib, Persebaya, dan Persija dulu tergolong amatir). 

Gelarra mandek ndek kono tok. Trofi ISL berhasil diraih di musim 2009/10. Publik Malang mungkin masih ingat dengan tim luar biasa itu.

Terdiri dari pemain-pemain kelas internasioal seperti Pierre Njanka (kapten tim), Noh Alam Shah, dan M Ridhuan, dikombinasikan dengan pemain muda asli Malang dan dilatih dengan tangan dingin seorang Robert Rene Alberts. Benar-benar tidak diunggulkan, namun akhirnya sampai di peringkat satu. 

10 tahun berselang. Sekarang bisa kita lihat, di mana tempat Arema di kancah sepakbola Indonesia. Juara pramusim? Iya sih, juara. Liga? Masuk kompetitor liga saja seperti tidak bisa. Kalah saing dengan klub-klub, baik yang sudah berdiri lama maupun yang sudah diakuisisi dan pindah basecamp. Dahulu, orang berbicara tentang Arema yang "juara". Sekarang, orang berbicara tentang Arema yang "ala kadarnya."

Timbullah pertanyaan, "Sak dekade iki Arema nang ndi ae?" (Satu tahun ini, Arema ke mana saja?).

Selain karena gelar dan identitas, mungkin ada satu hal lagi yang muncul di pikiran fans bola Indonesia terutama para pengamat sepak bola tentang Arema, yaitu dualisme. 

Arema "membelah diri" layaknya Amoeba di tatanan biologis sepakbola Indonesia, sesuai dengan 2 liga utama di Indonesia kala itu. Satu di ISL, satu di IPL. Biang koreknya karena masalah kepemilikan.

Di saat itu, saya dan mungkin juga para Aremania lainnya, jadi kebingungan menunjukkan keberpihakan.

Akhirnya, seperti kita ketahui semua, liga mulai bermasalah, kisruh di tubuh PSSI. Perkembangan selanjutnya, akhirnya PSSI dibekukan. Sepak bola Indonesia mandek. Aremania masih bingung mau memilih yang mana.

Nyatanya, setelah PSSI dijalankan kembali dan masalah dualisme dicari jalan keluarnya, entah kenapa Arema masih ada "dua". Padahal Persebaya yang juga punya masalah dualisme (Persebaya Surabaya dan Persebaya 1927) dan bahkan dulurlawas e Arema, Persema akhirnya berhasil menyelesaikan masalahnya. Sekarang ada "satu" Persebaya dan "satu" Persema. Arema masih ada "dua".

Hal ini pastilah berefek pada berdiri dan tegaknya Arema sebagai identitas warga Malang, khususnya para pecinta bola Malang.

Tentu dengan masalah masa lalu yang belum selesai, yang mengemuka malah kekecewaan dan rendah diri akan persepakbolaan di Kota Malang.

"La aku dukung seng ndi mas? Klub e onokloro, jenenge podho podho Arema maneh." Arema ISL bertransformasi menjadi Arema Cronus (Apalah arti Cronus itu.....), lalu menjadi Arema FC yang tampil di Liga 1, dan Arema IPL menjadi Arema Indonesia, nama yang digunakan saat Arema juara ISL itu. Bingung kan?

Gelar yang sudah diraih pun diakui oleh masing-masing perusahaan. Akhirnya, Aremania semakin rancu. Mau memilih Arema yang "juara dan berprestasi", masing-masing mengaku juara. Mau memilih yang "ditempati para pemain juara", juga rancu. 

M Ridhuan dan Noh Alam Shah akhirnya menyeberang ke Arema IPL. Sunarto, JohanAlfarizie, dan lainnya kembali lagi ke Arema ISL. Masing-masing kubu sudah pernah dibela oleh para jawara.

Lalu, mana Arema yang "valid"? 

Saya sebagai Aremania, bahkan memercayai bahwa yang namanya Arema IPL itu sudah bubar dan tidak ada lagi.

Sampai suatu saat, saya berbincang-bincang dengan salah satu kakak kelas saya di SMA dan kebetulan salah satu penggemar sepakbola, lalu saya berkelakar,

"Sampean milih Arema seng liga siji opo Arema sing sijine."

Kakak kelas saya ini menjawab, "Sengndek liga elek, Ka. Aku milih seng sijine ae."

Saya pun tertawa, tapi saya ingin tahu, apakah Arema "satunya lagi" itu masih eksis?

Tidak perlu waktu lama saya menemukan jawabannya. Ternyata Arema "satunya lagi" ini yang menggunakan nama Arema Indonesia, masih ada dan berlaga di Liga 3 Jawa Timur.

Saya mengetahui fakta ini bukan karena saya menonton pertandingan mereka di Stadion Gajayana, tetapi karena mereka membuka akun Instagram sendiri. Mungkin untuk lebih menunjukkan eksistensi mereka di dunia maya.

Masalah lain yang muncul selain krisis identitas adalah krisis suporter itu sendiri. Kakak kelas saya di SMA memiliki pandangan berbeda dengan adek kelas saya yang beranggapan kalau Arema itu ya "yang di Kanjuruhan itu". 

Mau tidak mau, pecinta sepak bola Malang terpolarisasi menjadi dua kubu. Kubu Arema "liga atas" dan kubu Arema "liga bawah". Seakan-akan tidak ada satu kesatuan Arema yang mencakup seluruh Aremania di Indonesia.

Akhirnya, jumlah suporter yang hadir di Stadion Kanjuruhan menurun. Belakangan ini, fenomena tersebut banyak dibicarakan di media massa. 

Jika melihat asal-usulnya, Aremania itu sendiri dibentuk dari geng-geng pemuda Malang seperti Argom (Armada Gombal), Prem (Persatuan Residivis Malang), Aregrek (Arek Gang Gereja Kayutangan), dan lainnya yang awalnya melakukan hal-hal negatif. 

Setelah Arema berdiri, mereka meninggalkan kehidupan geng dan membangun persaudaraan dengan jargon "Salam Satu Jiwa".

Tidak percaya?

Silakan buka artikel Kompas tertanggal 24 Agustus 2011, "Jangan Sampai Hidupkan Geng-gengan Lagi".

Tentu sangat disayangkan, bahwa Aremania yang terdiri dari pecahan-pecahan, kemudian disatukan dengan panji Singo Edan, harus terpisah lagi.

Sangat menyedihkan bila Aremania yang meraih The Best Supporter pada Ligina tahun 2000 dan Copa Indonesia II tahun 2006, akhirnya kehilangan taji dan kreativitasnya. 

Sangat memprihatinkan apabila Aremania dengan rekor tur terbanyak (mencapai 50.000 orang, ditambah 7000-10.000 disekitar Jabodetabek, sampai meluber ke sentel ban GBK dan bahkan keluar stadiondi musim 2009/2010), menjadi Aremania yang bahkan mengisi kapasitas 40.000 Stadion Kanjuruhan saja mboh-mbohan.

Banyak sekali harapan dan impian dari Aremania agar kedua kubu "Arema" dapat bersatu menjadi satu klub lagi.

Janganlah harapan ini hanya sekadar harapan. Janganlah impian ini terkubur dalam-dalam.

Jika dualisme ini tidak segera diselesaikan apa yang akan Aremania pilih?

Dan bagaimana jika di kemudian hari, Arema "liga bawah" naik kasta menjadi "liga atas", mau pilih mana? "liga atas satu" atau "liga atas dua"?

Salam Satu Jiwa! Sasaji!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun