Mohon tunggu...
Raka Siwi
Raka Siwi Mohon Tunggu... Editor - Professional Couch Potato

Ya, jadi begini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menertawakan Kehidupan Pelik

1 November 2018   21:39 Diperbarui: 2 November 2018   13:19 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rupa-rupa kehidupan manusia sangatlah unik. Masing-masing hadir sebagai suatu pribadi, dengan tampak muka yang tetap berbeda meskipun kembar, sifat yang bisa saja bertolak belakang dengan orang-tua atau intelegensia yang tentu tidak dapat disama ratakan. 

Hadir pula warna yang melekat pada kulit, identitas keturunan suatu bangsa, dan berbagai nilai-nilai yang diyakini. Saya percaya, bahwa setiap pribadi membawa pesan dan peran khusus. Setiap manusia selalu berbeda. Tak akan sama.

Namun, ada satu kesamaan yang dimiliki oleh saya, anda, dan seluruh insan manusia. Beban, tekanan, masalah, pasti mengiringi kehidupan setiap kita. Mustahil untuk hidup tanpa elemen tersebut. 

Pun, rupa-rupa beban, tekanan dan masalah tiap insan selalu unik. Ada seseorang yang tidak pernah pulang ke rumah, berharap untuk ditemukan. Ada yang berjuang untuk tetap tegar dengan caci maki benci dan pukulan pada saat di rumah. 

Ada yang selalu bekerja dan berusaha namun belumlah cukup. Ada pula yang ditinggal pasangan yang lebih memilih insan lain. Ada yang memasang topeng di cermin setiap pagi, untuk menutup luka. Ada juga yang tetap bertahan untuk tidak makan hampir tiga hari, asalkan anak dapat jatah untuk makan. Saya rasa, ada banyak sekali permasalahan dan beban di setiap orang. Dan semua orang mengalami hal yang berbeda.

Suatu malam, saya pergi menemui teman saya. Lama tak jumpa, kami bertemu di suatu kafe yang tak jauh dari rumah, dengan harga yang biasa-biasa saja. Kami berbincang banyak, apa kabarnya, kerja dimana, masih dengan itu atau sudah dengan yang lain, keluarga baik baik saja, handphone terbaru, video gim yang sedang dimainkan, isu politik dan banyak hal lain. 

Tiba-tiba, teman saya merubah mimkc muka menjadi serius. Aku punya masalah, katanya. Saya, sebagai kawan karib, bersiap mendengarkan. Berbagai rupa topik muncul di kepala saya. Pasti pekerjaan, oh bukan dia sudah membuka usaha baru. Apakah putus? Rasa-rasanya kemarin masih sempat pergi berdua. Pinjam uang? Ah mungkin saja.

Ternyata saya salah.

Dia mengawali cerita dengan kalimat yang tak akan pernah saya duga. "Kalau aku besok dipanggil Tuhan, tolong hadir tanpa muka sedih, ya" dengan senyum lebar dan tertawa kecil. Tak terima, saya kesal. Dikiranya omongan hidup mati itu bercanda. Teman saya tetap tersenyum. Saya diam. Tidak ada yang bersuara. Hanya sayup-sayup Bossa Nova penghias kafe. Saya memberanikan diri untuk membuka mulut, yang selanjutnya dipotong ucapan teman saya.

"Jantung. Ternyata jantungku kelainan. Sejak lahir. Aku baru sadar kemarin".

Kemudian, dilanjutkan dengan berbagai obrolan di meja Dokter. Bilik kanan dan bilik kirinya tertukar, begitu pula fungsi kedua ruang tersebut. Apabila dibentuk perumpamaan, jantung kawan saya adalah pompa sepeda, yang memaksa untuk mendorong sebuah truk. Dokter katakana mustahil. Nyawa adalah kehendak Ilahi, namun Dokter pastikan waktunya dekat.

"Bisa saja besok. Atau lusa. Kalau masih bisa ketemu tahun depan ya syukur"

Teman saya ini adalah orang yang senang bercanda. Dia selalu tertawa untuk hal kecil bahkan yang dianggap tidak lucu. Dia selalu cerita. Namun tawa kali ini membuat saya miris dan teriris.

Tidak hanya sampai di situ, rupa-rupa kehidupannya pun pelik. Ada masalah hutang dan ekonomi, sejumlah besar uang yang ditahan pihak sana-sini. Ada juga perkara hubungannya apakah akan dilanjutkan menjadi serius. Belum masalah keluarganya. Dia tetap tersenyum.

"Ah aku sudah serahkan sama Tuhan, tenang saja"

Dia masih sanggup tertawa. Namun saya merasa malu. Seperti tertampar.

Saya berada dalam salah satu titik terendah hidup saya. Karir saya sedang jatuh, kehilangan pekerjaan dengan cara menyakitkan. Usahakan untuk cari sana sini, selalu gagal meskipun tinggal selangkah atau dua langkah. Saya terpaksa berpisah dengan kekasih saya. Dan banyak rupa-rupa kehidupan yang saya miliki.

Saya pikir, saya sudah cukup pelik. Saya kecewa. Tidak bersemangat pula tidak bersyukur. Semuanya saya anggap tidak adil. Ada kawan saya yang sudah berkembang kesana kemari. Ada yang segala sesuatunya dipermudah. Namun saya, selalu jatuh.

Teman saya tetap tertawa, dan saya semakin malu. Saya urungkan niat saya untuk mengeluh peliknya kehidupan saya. Kami tertawa menikmati malam. Kalau sekiranya ini yang terakhir, saya ingin menutup malam kawan saya dengan tertawa.

Dan berjanji pada hati kecil saya. Bertahan dan bangkit ya, diriku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun