"Bisa saja besok. Atau lusa. Kalau masih bisa ketemu tahun depan ya syukur"
Teman saya ini adalah orang yang senang bercanda. Dia selalu tertawa untuk hal kecil bahkan yang dianggap tidak lucu. Dia selalu cerita. Namun tawa kali ini membuat saya miris dan teriris.
Tidak hanya sampai di situ, rupa-rupa kehidupannya pun pelik. Ada masalah hutang dan ekonomi, sejumlah besar uang yang ditahan pihak sana-sini. Ada juga perkara hubungannya apakah akan dilanjutkan menjadi serius. Belum masalah keluarganya. Dia tetap tersenyum.
"Ah aku sudah serahkan sama Tuhan, tenang saja"
Dia masih sanggup tertawa. Namun saya merasa malu. Seperti tertampar.
Saya berada dalam salah satu titik terendah hidup saya. Karir saya sedang jatuh, kehilangan pekerjaan dengan cara menyakitkan. Usahakan untuk cari sana sini, selalu gagal meskipun tinggal selangkah atau dua langkah. Saya terpaksa berpisah dengan kekasih saya. Dan banyak rupa-rupa kehidupan yang saya miliki.
Saya pikir, saya sudah cukup pelik. Saya kecewa. Tidak bersemangat pula tidak bersyukur. Semuanya saya anggap tidak adil. Ada kawan saya yang sudah berkembang kesana kemari. Ada yang segala sesuatunya dipermudah. Namun saya, selalu jatuh.
Teman saya tetap tertawa, dan saya semakin malu. Saya urungkan niat saya untuk mengeluh peliknya kehidupan saya. Kami tertawa menikmati malam. Kalau sekiranya ini yang terakhir, saya ingin menutup malam kawan saya dengan tertawa.
Dan berjanji pada hati kecil saya. Bertahan dan bangkit ya, diriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H