Fatwa DSN-MUI Nomor: 77/DSN-MUI/V/2010 tentang kebolehan jual beli emas secara tidak tunai, karena saat ini transaksi jual beli emas kebanyakan dilakukan dengan tidak tunai. Maka DSN-MUI mengeluarkan fatwa No 77 Tahun 2010 yang isinya adalah kebolehan bertransaksi jual beli emas secara tangguh/tidak tunai. Yang diresmikan pada tanggal 03 Juni 2010 yang merupakan bentuk surat dari Bank Mega Syariah No. 001/BMS/DPS/1/10 tanggal 5 Januari 2010 perihal permohonan Fatwa Murabahah Emas.
Di Indonesia saat ini praktik jual beli emas tidak tunai dikalangan masyarakat meningkat seiring dengan perkembangan teknologi dan inovasi keuangan. Karena ada beberapa faktor yang mempengarui peningkatan tersebut, pertama karena berkembangnya platform online shop. Adanya platfoorm online shop sangat memudahkan kita bahkan salah satunya adalah menyediakan juall beli emas tidak tunai serta menyediakan fitur investasi emas yang itu menarik minat masyarakat untuk berinvestasi emas dengan modal yang terjangkau. Kedua Investaasi emas dalam instrumen keuangan, contohnnya Reksadana Emas yang  dapat  dibeli  dan diperdagangkan secara non-tunai melalui perantaraan lembaga keuangan. Ini merupakan produk yang memungkinkan setiap orang untuk berinvestasi emas tanpa harus memiliko fisik emas secara langsung. Ketiga meningkatnya literasi keuangan, ini merupakan faktor meiningkatnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya manfaat akan investasi emas. Maka dari itu sangat memperngaruhi meningkatnya praktik jual belie mas secara tidak tunai.
Akan tetapi jual beli emas secara tidak tunai menimbulkan perbedaan dikalangan umat islam sehingga ada yang berpendapat bahwa jual beli emas itu haram dengan alasan bahwa 'illat (alasan) adalah Alat tukar (tsaman) sama seperti uang. Tetapi ada juga yang membolehkan yaitu ulama kontemporer yang berpendapat bahwa ems dan perak saat ini tidak dijadikan sebagai alat tukar lagi tetapi sebagai komoditas biasa (sil'ah) sehingga 'illat stamaniyah pada emas itu hilang. Sesuai kaidah ushul :
"Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya 'illat."
Para ulama yang mengharamkan jual beli emas secara tidak tunai adalah para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad Hanbali) . Dinyatakan dalam hadis 'Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
Artinya: Aku mendengar Rasulullah Saw melarangemas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bulat ditukar dengan gandum bulat, gandum panjang ditukar dengan gandum panjang, kurma ditukar dengan kurma, garam ditukar dengan garam dan harus serupa dan sama utkurannya serta tunai. Apabila jenisnya berbeda, maka juallah semau kalian dengan syarat tunai".(HR. Muslim).
Hadits diatas dijelaskan bahwa ada 6 harta barang ribawi yang dimana emas dan perak merupakan harta barang ribawi yang dikategorikan sebagai uang berdasarkan qiyas, dengan 'illat sebagai alat tukar (stamaniyah). Menurut Imam Malik dan Imam Syafi'i juga yang menjadi patokan harga maka barang itu bisa disamakan dengan uang. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa illat keharaman menjual emas dengan emas dan perak dengan perak secara tidak tunai, ialah benda-benda itu adalah benda-benda yang ditimbang, di samping kesamaan jenisnya, dan haram terhadap empat jenis barang lainnya pula karena benda-benda itu benda-benda yang disukat, dan sama hukumnya.
Hadis Nabi riwayat riwayat Muslim, at-Tirmidziy, an-Nasaiy, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin al-Khattab, Nabi SAW bersabda:
Artinya: "(Jual Beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai".
Kemudian hadis Nabi Saw tentang keberadaan sebab(illat) yang juga dijadikan dalil oleh imam Ahmad bin Hanbal yaitu berdasarkan riwayat Ibnu Umar, bahwasannya RasulullahSaw bersabda:
Artinya: "jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula menjual satu dirham dengan dua dirham, dan jangan pula satu sha' dengan dua sha'."(HR. Ahmad)Â
sehingga dalam hadis diatas emas diangap sebagai takaran atau timbangan dalam jenis yang sama karena terwujudnya sebab. Menurut jumhur ulama, bahwa emas dan perak memiliki kesamaan illat, sedangkan kurma, gandum, sya'ir, dan garam juga memiliki illat tersendiri.
Berbeda hal nya dengan pendapat yang kemukakan oleh Ibnu Taimiyah (w: 728 H) dan Ibnu Qayyim (w: 751 H) berpendapat dibolehkan jual beli emas yang sudah diolah (al-musawwag) dengan angsuran.
Ibnu Taimiyah Mengatakan:
Artinya: "Boleh melakukan jual-beli emas dan perak yang sudah diolah dengan semisalnya (emas/perak), tanpa adanya syarat kesamaan (tamatsul), kelebihan tersebut sebagai upah pembuatan, tidak ada beda apakah jual-beli tersebut kontan ataupun secara kredit selama emas (olahan) tersebut tidak dimaksudkan sebagai alat tukar"
Adapun Ibnu Qayyim menyatakan:
Artinya: "Jelas bahwa perhiasan yang diperbolehkan dan dibuat dengan cara yang diperbolehkan juga, termasuk seperti baju dan barang, bukan sebagai alat-tukar. Maka dari itu, tidak diwajibkan pada perhiasan zakat, dan tidak terjadi riba antara perhiasan dan alat-tukar, sebagaimana tidak terjadi riba antara alat-tukar dan harta benda"
Kesimpulan dari pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim bahwa dalil memperbolehkan jual beli perhiasan dengan tidak tunai yaitu sudah hilangnya 'illat hukum pada emsa sebagai alat tukar (stamaniyah) yang saat ini menjadikanya hanya sebagai komoditas biasa (sil'ah), hal ini sesuai dengan kaidah ushul: "Hukum berputar (berlaku) bersama ada atau tidak adanya 'illat."
Dapat dilihat dalam fatwa DSN-MUI No. 77 Tahun 2010 menggunakan pendapat dari Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim menjadikan sebagai salah satu dasar dalam merumuskan fatwa tersebut, bahkan memperluas cakupannya kedua pendapat ulama diatas dengan memperbolehkan angsuran emas dalam bentuk Batangan.
Secara keseluruhan pendapat para ulama tentang jual belie mas tidak tunai berpendapat haram. Hal ini merupakan pendapat para mayoritas para ulama dengan argument bahwa uang kertas dan emas merupakan alat tukar (stamaniyah) sedangkan alat tukar tidak boleh ditransaksikan kecuali secara tunai. Ini merujuk kepada pendapat hadits 'Ubadah bin al_Shamit bahwa Nabi SAW pernah bersabda "Jika jenis (harta ribawi) ini berbeda, maka jualbelikanlah sesuai kehendakmu apabila dilakukan secara tunai."
Meskipun para ulama memberikan argumen yang bervariasi pada pandangan tersebut, hanya saja argumen yang menjadi landasan paling utama yang dugunakan DSN-MUI adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syeikh al-Islam Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qayyim mengenai kebolehan jual beli perhiasan (terbuat emas) dengan emas, dengan pembayaran tangguh. Mengenai hal ini Ibnu Taymiyyah menyatakan dalam kitab al-Ikhtiyarat ''Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan sebagai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang).
Â
Referensi
G M Sa'adi, "Analisa Kritis Hukum Kredit Emas (Kajian Kritis Terhadap Fatwa DSNMUI Nomor 77 Tahun 2010 Tentang Murabahah Emas)," At-Taradhi: Jurnal Studi Ekonomi, 2019.
Herawan, J., Al Hakim, S., & Setiawan, I. (2023). Jual Beli Emas Tidak Tunai dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah. Al Mashalih-Journal of Islamic Law, 4(1), 23-34.
A A Mukhti, "Analisis Kesesuaian Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai Dengan Fatwa Jual Beli Emas Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010," Repository.Uinjkt.Ac.Id, n.d., https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/71291.
Ramli, Abdul Rahman, M. Muhtarom, and M. Ag Syarafuddin. Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai (Telaah Fatwa DSN-MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010). Diss. Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015.
W Susiawati, "Jual Beli Dan Dalam Konteks Kekinian," Jurnal Ekonomi Islam, 2017, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1482629%5C&val=11427%5C&title=JUAL BELI DAN DALAM KONTEKS KEKINIAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H